Doktrin Sekte Murji’ah dan Sempalangnya: Di Tinjau dari Persamaan dan Perbedaan

author photo April 14, 2013

Doktrin Sekte Murji’ah dan Sempalangnya:
Di Tinjau dari Persamaan dan Perbedaan
Takdir Ali Syahbana٭
Ar-Rahman٭
A.    Pendahuluan
Agama Islam adalah agama yang terlahir sebagai penyempurna dari agama-agama yang lain, sumber agama islam yang menjadi rujukan semua umat muslim adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist, dari dua rujukan inilah umat Islam meniti karir untuk menjadi seseorang yang berguna untuk yang lain, dengan menafsirkan AL-Qur’an dari sudut pandang Hukum, Sosial dan lain-lain, bergitu juga Al-Hadist yang di jadikan umat Islam sebagai sumber kedua ini mempunyai pemehaman-pemahaman yang dalam. Dari dua sumber dasar inilah di Masa setelah Rasulullah wafat terjadi perbedaan-perbedaan pemahaman dengan masing-masing arguman secara tekstual dan subtansial menerangkan maksut dari teks Al-Qur’an dan teks Al-Hadist.
Selain perbedaan-perbedaan tafsiran mengenai subtansi dari Al-Qu’an dan Al-Hadist tersebut yang menjadikan sebuah sekte dalam islam maka muncul pula suatu historis yang mengatakan bahwa Sekte dalam Islam itu meuncul karena adanya perpolitikan[1] yang berhujung dengan perbedaan mendevinisikan Iman, Syari’at dan yang paling utama adalah mendevinisikan Tuhan.[2]  Islam sendiri adalah agama yang mengandung berbagai macam pemikiran di dalamnya baik dalam bidang Syari’at,Tasawwuf dan juga Teologi, dalam teologi inilah akan terlahir yang namnya ilmu kalam, dan dalam ilmu kalam inilah akan terdapat perbedaan-perbedaan yang berlatar belakang politik ataupun perbedaan dari segi pemahaman akar islam sendiri (Al-Qur’an dan Al-hadist).
Selain demekian agama Islam juga memberi alternatif yang berupa tawaran yang berfungsi untuk mempermudah penganutnya dalam memaham paradigma-paradigma yang menyangkut agama (Religi) yang bisa juga dikatakan dengan bahasa filsafatnya dengan Pendekatan Epestemologi Dalam Islam cara alternatif tawaran dalam islam untuk memperoleh ilmu pengetahuan mengenai dunia dan sang penciptanya, yaitu: Pertama, Indra, Kedua, Akal dan yang Ketiga, Wahyu.[3]
Salah satu sekte dalam agama Islam adalah Murji’ah yang terlahir di wilayah Damaskus sekitar abad pertama yang di pimpin oleh Hasan bin Bilal Al-Muzni, Salat As-Samman, Tsauban Dliror bin Umar.[4] Lantas bagaimana pemikiran Murji’ah yang lainnya, baik tentang dosa besar, konsep Iman, dan bagaimana literatur sejarahnya yang menyebabkan aliran ini muncul dan apa-apa saja sempalan yang ada di dalam Murji’ah? Berikut adalah urain tentang permasalahan yang penulis akan coba jelaskan di bawah ini.
B.     Tinjaun Umum Tentang Murji’ah
Kebiasaan Orang Timur sebuah nama itu adalah sangat berharga dan dari nama itu pulalah lambang dari subtansi tersebut terlihat, begitu juga dalam Murji’ah. Murji’ah adalah nama dari sebuah sekte yang terlahir di Damaskus ketika khlalifah Bani Umayyah, asal kata dari Murji’ah  adalah; أرجأ atau  ارجىyang berarti dengan تأخر[5] Mendudikan atau dengan arti dari teksnya adalah memberi harapan.[6] Mengenai kelahiran Murji’ah ada beberapa faktor, politik dan kedamain. Selain faktor politik Murji’ah lahir juga dengan faktor yang lain; untuk menjaga kesatun umat islam pada waktu itu yang saling tuding—menuding kafir mengkarirkan, maka kehadiran Murji’ah saat itu menjadi ranah yang enak untuk umat muslim.[7] Kelahiran Murji’ah Berdasarkan Politik
Perbedaan pendapat dalam umat beragama memanglah hal sudah wajar karena manusia mempunyai akal perindividu dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lainnya,[8] tetapi tidak hanya akal yang menyebabkan perbedaan pemahaman tetapi politik juga mengakibatkan pecahnya satu runtun menjadi runtun yang lain (Sekte) begitulah kondisi dasar dalam sekte Murji’ah.
Sekte Murji’ah terlahir dari sebuah politik dengan sebuah sejarah (History) yang mengatakan bahwa saat Damaskus menjadi tempat trans pusat pemerintahan maka tidak lama kemudian terlihat ada hal-hal yang tidak enak di pandang terhadap penguasa saat itu yaitu Bani Umayyah karena pemirinthana Bani Umayyah mereka anggap sebabagi orang yang zalim dan berdosa besar, dengan kondisi yang seperti ini maka timbullah pertanyaan bagi umat muslim yang lainnya yang berstatuskan diluar dari pemerintahan Bani Umayyah “Bolehkah umat islam berdiam saja terhadap kezaliman yang dilakukan oleh pemerintahan dan bolehkan taat terhadap orang-oarang yang zalim seperti itu” ini adalah pertanyaan yang akan menimbulkan lahirnya aliran Murji’ah.[9]
Sebagian orang yang terkemuda pda saat itu mengeluarkan argumen dengan mengatakan bahwa: “seeoarang Muslim boleh saja sholat di belakang orang yang sholeh ataupun di belakang orang yang fasiq sebab penilaian baik dan buruk itu addalah urusan Allah” dari argumen yang di lontarkan oleh orang-oarang inilah yang merupakan cikal-bakal terlahirnya Mur’jiah.[10] Disorot dengan penduduk Damaskus saat itu sebagian ada yang memprotes dengan Bani Umayyah yang mereka nilai dengan orang yang zalim dan berdosa besar maka laihirlah di antara mereka orang yang menatakan bahwa itu boleh saja untuk diikuti maka golongan ini mulai disorot oleh pemerintahan Bani Umayyah yang disangka dengan orang-orang yang tidak memberontak dengan pemerintahan Bani Umayyah.[11]
Sikap netral yang dimiliki oleh sekte Murji’ah merupakan refleksi dari keadaan politik saat itu, setelah peristiwa Tahkim maka ada yang memposisiklan dirinya sebagai pendukung Ali maka disebutlah dengan Syi’ah dan ada yang memposisikan dirinya sebagai orang yang tidak sependapat dengan sekte Syiah (tidak mendukung Ali) maka mereka menamakan dengan Khawarij dan ada juga sebagai pengikut Muawiyah, sungguh aneh jika di teliti dari sejarah bahwa ketiga perpecahan ini saling tuding-menuding, Syi’ah menuding Khawarij dan keduanya ini juga menuding Mu’awiyah dengan tudingan bahwa Muawiyah telah merampas hak Ali, sedangkan Khawarij menuding Mu’awiyah sebagai sekte yang terkeluar dari norma Islam.[12]
C.     Kaca-Mata Murji’ah tentang kafir
Kehadiran Murji’ah sebagai sekte dalam Islam bukanlah hal yang percuma atau sia-sia saja, kehadiran Murji’ah merupakan refleksi atas argumen yang diproklamasikan oleh sekte Khawarij yang mengatakan bahwa semua orang yang mempunyai atau semua orang yang berbuat dosa besar hukumnya adalah kafir,[13] kehadiran khawarij dalam situasi yang eztrim seperi ini merupakan kesempatan bagi pemahaman-pemahaman yang yang lebih moderat yaitu Murji’ah yang mengatakan bahawa orang berbuat dosa besar bukanlah kafir tetapi masih mukmin dan ketika masuk ke dalam neraka tidak ada yang namanya kekekalan di dalamnya sangat berbeda dari tinjaun khawarij.[14]
Selain demikian dikarenakan munculnya Murji’ah di antara pergoncangan politik maka berbagai macam lontaran tuduhun yang juga di lontarkan oleh lawan politiknya contoh: Khawarij mengatakan bahwa semua orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah kafir, teramsuk di dalamnya adalah Ali dan Usman sedangkan Syi’ah mengatakan bahwa Abu Bakar, Umar dan Usaman telah menjadi kafir,[15] antara Syi’ah dan Khawarij kedua ini menentang dengan Muawiyah dengan mengatakan bahwa “muawiyah ini juga kafir”. Di antara seteru ini kemudian lahirlah Murjiah yang berfilsafat santai dan alun, dia tidak ikut serta mengatakan kafit mengkafirkan seperti Khawarij dan Syi’ah namun murji’ah agak santai dibandingkan yang lain, semuanya terserah Tuhan saja nanti, terserah mereka mau baik atau berdosa besar kafir atau tidak semuanya terserah kepada Allah saja nanti pada hari kiamat nanti.[16]
Perbedaan yang semakin jelas dalam tudingan-tudingan antara Khawarij dan Murji’ah, jika Khhawarij mengatakan bahwa orang yang berdosa berdosa besar itu adalah kafir (keluar dari agama Islam) maka Murji’ah membantah dogma tersebut dengan mengatakan bahwa orang yang berdosa besar masih saja dikatakan mukmin.[17]

D.    Doktrin Teologi Murji’ah
Setelah ada kehangatan pendapat antara Khawarij dan Syi’ah dan Murji’ah yang ketegangannya ini saling tuding menuding dengan mengeluarkan argumen secara implisit. Jika Syi’ah mengatakan bahwa mempercayai imam itu adalah salah satu dari rukun Iman, dan jika Khawarij menagtakan bahwa semua orang yang berdosa besar itu adalah kafir keluar dari islam, maka kehadiran Murjiah membarikan solusi yang baru di antara hangatnya ke-ekstriman argumen syiah dan Khawarij.[18]
Lag-lagi hangatnya situasi terjadi dengan perbedaan doktrin iman antara Khawarij dan Murji’ah, Murji’ah mengatakan bahwa Iman itu hanya dalam hati saja, siapa yang mengakaui dalam hatinya bahwa Allah adalah Tuhan, Rasulullah adalah Rasul maka itu sudah cukup untuk dikatakan orang yang beriman,[19] pendapat ini sangat berbeda di bandingkan dengan sekte yang seusia dia yaitu khawarij; Iman tidak cukup jika hanya di yakini dalam hati saja, tetapi harus ada pengorbanan raga dengan menjalankan perintah agama dan menghindari diri dari perbuatan-perbuatan yang mampu menjadikan dosa besar.[20]
Jika dikontrol dari segi doktrin teologinya, maka sekte Murji’ah dapat dibagi dalam dua kategori; Moderat dan ekstrim.[21]
E.     Beberapa sempalang dalam Murji’ah
Kontrol murji’’ah dari segi teologinya baik yang bersumber dasar dari kata kafir atau dari permasalahan iman maka sekte murji’ah terbagi kepada dua;
a.       Moderat
Pada sempalang ini muncullah nama yang berkarisma di zamannya dan sekarang yaitu; Al-Hasan bin Muhammad Ibn ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan bebrapa ahli hadist lagi.[22] Muncul lagi permasalahan yang bertumpu pada dosa besar dengan argumennya bahwa; seoarang muslim yang mempunyai iman dalalm hatinya lantas mengerjakan dosa besar maka tidaklah kafir, seoarang pelaku besar tidak ditetatapkan sebagai oirang yang kafir sangat berbeda dengan doktrin yang ada pada sekte Khawarij, jika nanti seoarang mukmin masuk ke dalam Neraka maka dia tidak akan kekal di dalamnya hanya beberapa waktu saja untuk membersihkan dosa-dosa dalam dirinya.[23] Bisa juga Tuhan mengampuni semua dosa-dosanya maka tidak akan masuk neraka.[24]
b.      Ekstrim
Pelopor dari sempang ini adalah; Jahm bin Safwan,[25] dengan dotrinnya adalah; Kembali lagi pada permasalahan Iman, pada aliran ini mereka mengatakan bahwa iman adalah keyakinan dalam hati yang meyakini adanya Allah dan mempercayai Nabi Muhammad utusan Allah, maka itu adalah Iman yang sempurna, meskipun dia mengatakan dalam lisannya hal-hal yang tidak layak dalam Islam, seperti memuja Yesus, mengikuti Yahudi, memuja salib, lantas dia mati, maka dia tetap masuk surga dan dihukumkan sebgai orang mukmin bukan orang kafir,[26] karena iman yang benar adalah iman yang ada di dalam hati bukan yang ada pada lisan.[27]
Jika disorot dari segi ke-ekstrimannya maka sekte Murji’ah terbagi lagi dalam beberapa sempalang:[28]
1.      Al-Yunusiyyah[29]
Sempalang ini di ketuai oleh yunus bin ‘aun an-Numairi, dengan doktrin tentang iman, dikatakan bahwa iman adalah ketaatan terhadap Allah dengan meninggalkan rencana-renacana yang bersifat pribadi dengan menyerahkan segala-galanya kepada Allah, selain itu cinta kepada allah juga merupakan hal yang sangat penting, perbuatan taat apapun selain apa yang menyangkut di atas tersebut maka bukanlah termasuk dalam kategori iman, karena bahwa jika di tinggalkanpun tidak merusak iman, kecuali perbuatan di atas tersebut ditinggalkan baru merusak iman.[30] Selain doktrin demikian tersebut, sempalang ini juga mengatakan bahwa Iblispun termasuk orang yang ‘arif dengan Allah namun, karena kesombongannyalah yang membuat dia kafir.
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ  
34. dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah[31] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Siapa yang meyakini bahkan memesrakan Allah dalam konsep keyakinan di dalam hatinya dan hanya kepada Allah semata dengan sepenuh hatinya dengan peresapan yang luar biasa, maka jika seseorang sudah merasakan keyakinan yang luar biasa dalam hatinya meskipun dia berbuat maksiat maka tetap tidak akan mengurangi rasa keimanan, orang yang masuk kedalam surga bukan karena amalnya, namun karena ke taatannya  kepada Allah tapi karena keimanannya dan kecintaannya dan juga keikhlasannya kepada Allah.[32]
2.      Al-‘Ubudiyyah
Sempalang ini mengikuti alur pikirnya ‘Ubaid al-Mukta’ib, di riwayatakn juga secara historis bahwa dia pernah mengatakan “Perbuatan syirik itu akan di ampuni oleh Allah” seseorang yang meninggal dunia namun dia masih memiliki ke-tauhidan dalam hatinya maka tidak akan pernah luntur dengan perbuatan-perbuatan jahat, sekalipun dosa besar yang dia lakukan.[33] Selain demikian ada doktrin juga yang bersumber dari Al-Yaman yang meriwayatkan dari ‘Ubaid al-Mukta’ib dan juga pengikut-pengikutnya bahwa ilmu Allah bukan kitab Allah, dan Allah juga tidak bersifat, agama Allah bukan yang lainnya.[34] yang paling menarik dari doktrin di atas adalah bahwa Allah berwujud seperti wujud manusia dengan dalil hadist yang berbunyi “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dengan bentuk Tuhan yang bernama Ar-Rahman)[35]
3.      Al-Ghassāniyyah[36]
Sempalang ini di pelopori oleh Ghasan al-Kaffi, dengan doktrin bahwa; Iman adalah makrifat kepada Allah dan juga Rasul, mengakui dengan apa-apa yang telah Allah ciptakan untuknya secara lisan namun tidak diperlukan kerincian yang akurat, tetap hati juga yang menjadi landasan utama, iman tidak seperti matematika yang bisa ditambah dan bisa berkurang, tetapi iman adalah pasti, tidak bisa bertambah dan berkurang. Contoh besar: apabila seseorang mengatakan bahwa allah mengaharamkan daging babi namun tidak tahu babi itu yang mana, apa yang kecil ataukah yang besar, lantas dia makan, maka orang tersebut masih dikatakan sebagai orang yang beriman.[37]
Perlu juga diketahui bahwa Ghassan ini mengatakan bahwa Abu Hanifah termasuk golongan Murji’ah sunnah. Argumennya bahwa Abu Hanifah di katakan sebagai salah seorang dari Murjiah bahwa Abu Hanifah pernah mengatakan; “Iman itu hanya di dalam hati saja dan iman juga tidak akan pernah berkurang” inilah argumen Ghasan yang mengatakan bahwa Abu Hanifah adalah salah satu sosok sekte dari Murji’ah.[38]
4.      Ats-Tsaubaniyyah
Pemproklamasi sempalang ini adalah Abu Tauban al-Murji’i dnegan doktrin Iman itu adalah makrifat dengan Allah dan harus di akui dengan lisan baik kepada Allah, rasul, baik perbuatan yang berlatar belakang akal baik yang boleh dikerajakan maupun yang tidak boleh dikerjakan, ini bukanlah termasuk iman, karena iman lebih dahulu dari pada amal. Ada beberapa sosok pendukung yang menjadi latar belakang dari sempalang ini adalah: Abu Marwan Ghailan ibn Marwan al-Damisqi, Abu Tsamar, Muwis ibn Umran, Al-fadhal-Raqasyi, Muhammad ibn Syu’aib, Al-‘Arabi dan yang terakhir adalah Shaleh Qubbah.
Doktrin dari sempalang ini adalah bahwa perbuatan baik dan buruk itu bersumber dari manusia sendiri, mengenai Imamah boleh saja dari suku yang bukan dari Quraisy asalkan mampu memahami Al-Qur’’an dan Al-hadist dan disepakati oleh banyak umat, maka sah lah menjadi imamah tersebut, hal inipun juga di sepakati oleh orang anshar dengan bukuti sebuah perkataan; “bagi kami seoarang pemimpin dan bagi kamu seoarang pemimpin” dari sekte ini juga mengatakan bahwa jika Tuhan mengeluarkan seseorang dalam neraka maka Allah juga akan mengelaurkan yang lainnya dalam neraka tetapi eroninya sekte ini mala ragu bahwa jika seoarang ahli tauhid masuk neraka akan di keluarkan dari neraka.[39]
            Ada satu riwayat yang bersumber dari Muqail ibn Sulaiman; “Kemaksiatan tida akan pernah mempengaruhi kadar iman seseoarang dan tauhid seseorang, oarang yang mempunyai iman di dalam hatinya tidak akan pernah di masukkan Tuhan ke dalam neraka” sekalian ada sebuah riwayat lain yang bunyinya berlawanan dengan riwayat di atas tersebut bahwa; “seorang mukmin yang berbuat dosa akan masuk ke dalam neraka dan di azab di atas shirat yang terbentang di atas neraka dan merekapun mencium bau neraka, namun jika dosa yang meraka miliki sudah habis maka mereka akan di masukan ke dalam surga” begitu juga bunyi nukilan dari Bisyar ibn Gayath Al-Muraisi.[40]
            Ada yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali menganut ajaran Murji’ah adalah sosok yang bernama al-Hasan bin Muhammad ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, dengan argumentasi bahwa dia pernah menulis surat yang berisikan tentang penundaan masalah iman dari segi perbuatannya.[41]
5.      At-Tuminiyyah
Sempalang ini dipelopori oleh Abu Muaz At-Tumini, dengan doktrin yang mereka yakini sebagai berikut; mereka mengatakan bahwa iman itu terpelihara dari kekufuran, malahan mereka mengatakan bahwa iman itu berupa perbuatan yang jika di tinggalkan maka orang tersebut akan menjadi kafir dengannya, oleh karena itulah mereka mengatakan bahwa jika beriman itu harus berbentuk global bukan hanya dalam sekala kecil saja,jika beriman dengan Allah maka tidak boleh di tinggal beriman dnegan Nabi Muhammad begitu juga rukun iman yang lainnya, jika ditinggalkan maka kan menjadi kafir,[42] mengenai dosa besar ataupun dosa kecil mereka tidak sepakat apakah kadfir atau fasiq, namun meraka sepakat bahwa pelaku dosa tersebut bisa dikatakan sebagai orang yang berbuat maskiat.[43]
            Mengenai iman meraka mengatakan bahwa dalam iman terdapat unsur-unsur yang perlu di pertegak baik dari segi tasdiq, makrifah, mahabbah dan juga iikhlas dan juga mengakuidengan lisan terhadp apa saja yang tellah di sampaikan oleh Rasul. Selain itu mereka juga megatakan bahwa setiap muslim yang tidak mengerjakan sholat dan puasa maka langsung oorang tersebut di justifikasi sebgai orang yang kafir, tetapi jika dia meninggalkan sholat dengan alasan-alasan tertentu seperti qodho maka tidak dikatakan kafir. Selain itu mereka juga mengatakan bahwa sisapa yang membunuh Nabi atau memukulnya itu juga tergolong sebagai orang yang kafir, baik menghina atau memusuhi atau yang lainnya.[44]
            Ada sebuah perkataan yang menurut penulis ini sangat menarik untuk di katakan yaitu perkataannya Bisyar ibn Al-Muraisi: “Iman adalah tasdiq dalam hati dan juga lisan, yang namanya kafir adalah seseorang yang keras kepala dan juga inkar, bahkan orang yang sujud kepada matahari, api, patung dan bulan mereka tidak di katakan kafir, tetapi perbuatan merekalah yang termasuk tanda-tanda kekafiran”
6.      Ash-shalihiyyah
Pelopor sempalang ini adalah Shalih ibn ‘Umar ash-Shalihi, Muh̲ammad ibn Syu’aib, Abu Syamar dan juga Ghaila, dikatakan juga bahwa semua pelopor pada sempalang ini adalah pengikut sekte Qadariyyah dan Murji’ah. Doktrinnya bahwa; iman yang sebenar-benarnya adalah mengenal dengan Allah dan juga mengakui bahwa Allahlah pencipta alam semesta ini, orang yang tidak tahu dengan Allah maka orang itu adalah kafir, yang menarik adalah menurut sekte ini, orang-orang yang mengatakan bahwa Tuhan itu tiga (trinitas) bukanlah kafir, tetapi ucapan itu tidak akan pernah keluar kecuali dari orang kafir (sama saja toh hanya permainan kata saja). Selain itu sempalang ini juga mengatakan bahwa sebenar-benar makrifah dengan Allah adalah Tunduk dengan Allah.[45]
            Iman itu tumbuh berdasarkan pemberian Rasul, seseorang mungkin saja beriman kepada Allah dan mungkin saja juga tidak beriman dengan Rasulullah secara akal, namun Rasulullah pernah bersabada; “Barangsia yang tidak beriman denganku maka dia juga tidak beriman dnegan Allah swt.” selain demekian ada juga doktrin dari sempakang ini yang sangat menarik yaitu sholat itu bukanlah ‘ibadah, tidak terkecuali terhadap orang yang beriman kepadanya secara benar di karenakan dia telah mengenal dengan Tuhan, iman juga dikatan tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang, begitu juga kekafiran juga tidak bertambah dan juga tidak berkurang.[46]
            Begitu juga Abu Syamar tidak jauh beda dengan pendapat di atas selain mempercayai apa yang belum datang dari Nabi dan jika datang dari nabi maka yakinkanlah dengan lisan, dan makrifah dengan Allah dengan melihat keadilannya bahwa yang baik dan buruk jangan di kaitkan dengan Allah.[47] Ada sebuah info yang sangat menarik bagi kita pada sempalang kali ini, bahwa Ghailan adalah penganut Qadariyyah maka itu dia mengatakan bahwa iman itu adalah makrifah kedua setelah makrifah dengan naluri manusia sendiri.[48] Pada akhirnya dia menyimpulkan bahwa makrifah itu ada dua; Pertama, makrifah Fitriyah (Naluriyah) yaitu megathui bahwa bentangan alam yang luas ini adlah ciptaanya termasuk dirinya dan juga binatang-binatang lainnya, anehnya makrifah seperti ini tidak dikategorikan sebagai iman karena dia hadir secara tidak sengaja sedangkan makrifah yang kedua ini berdasarkan rasio empirik (Burhani) inilah yang disebut dengan iman.[49]
7.      Al-Jahmiyah
Sempalang ini dipelopori oleh Jahm Ibn Safwan, sempalang ini mempunyai sekte bahwa orang yang percaya dengan Tuhan lantas dia mengatakan kekafiran secara lisan maka hukum bagi seseorang tersebut tidaklah kafir, argumennya bahwa iman terletak dalam hati seseorang bukan terletak pada anggota tubuh yang lain.[50] Bukan hanya menyatakan secara lisan saja tetapi juga seseorang yang menyembah berhala namun dalam hatinya beriman dengan Allah bukanlah dinyatakan kafir.

F.      Kesimpulan
Dari ulasan mengenai Mu’tazilah di atas dapat ditarik kesimpulan, ternyata; sekte Murji’ah muncul karena ada pergautan politik antara kelompok mu’awiyyah dan ‘Ali, lantas lahirlah Syi’ah dan Khawarij dan ditengahani oleh Murji’ah. Mengenai doktrin dari murji’ah adalah siapa yang berbuat dosa besar bukanlah kafir, yang penting iman didalam hati, iman lebih penting dibandingkan amal, memberi kesempatan bagi muslim yang lain untuk bertaubat karena Allah maha pengampun, iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Inti  dari ajaran murji’ah yang paling utama adalah Iman yang terletak dalam hati merupakan sumber pegangan mereka, sesorang boleh saja melakukan dosa besar lantas dia mati kemudian dia akan masuk neraka dan akan di azab oleh Allah tetapi hanya sebentar sesuai kadar dosanya asalkan ada iman di dalam hatinya.
Mengenai sempalang dari sekte Murjiah sangatlah banyak, namun kesimpulan secara garis besarnya adalah Iman didalam hati adalah figur utama untuk mencapai keselamatan yang haikiki di hadapan Allah swt. dengan cara iman inilah mereka mengambangkan pemikiran-pemikiran yang luas namun tidak kabur dari dasr sektenya sendiri yaitu Iman yang kuat, ikhlas, dan rendah diri dengan Tuhan.










[1] H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 137.
[2] Sebuah cerita yang sangat menarik mengenai sebuah cerita manusia yang mencari hakikat Tuhan yang sebenarnya yang jauh sebelum abad 5000 SM, pada abad ini pulalah umat manusia memaham abahw ada kekuatan yang lain dari dirinya sendiri yaitu Animisme dan Dinamisme setelah manusia mulai berpikir dengan rasionalnya setelah paham dengan situasikeadaan manusia pada umunya maka mereka mengemukakan lagi dengan Pholitisme yang di yakini oleh agama Hindu dengan berbagai macam Dewa-dewa (Brahmanisme), kemudian pada abad ke 1500-1300 SM muncullah konsep ketuhanan yang satu (Monoteisme) dengan agama yang di bawa oleh Nabi Musa dengan agama yang di sebut Yahudi dengan Tuhan Yahwe (Esa) ketiga tingkatan pemahamanan manusia mengenai tahap mencari Tuhan ternyata dapat dibuktikan melalui Situs-situs kuno, peradaban China kuno, peradaban sungai Eufrat dan Tigris dan banyak lagi. Lihat: Dedy Supriadi, Mustofa Hasan, Filsafat Agama, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), h. 71-73. Selain argumen demikian manusia munculnya agama juga di katakan oleh salah satu tokoh Antropologi Agama E.B. Tylor mengatakan bahwa kesadaran manusialah yang membuat agama itu hadir dengan argumen bahwa adanya roh dan alam selian alam manusia sendiri (Tuhan). Untuk lebih jelas lihat: H. Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), h. 44-45.
[3] Dedy Supriadi, Mustofa Hasan, Filsafat Agama, . . . h. 51.
[4] H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, . . . h. 139.
[5] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, (Libanon, Daru-al-fakr, 1997), h. 112.
[6] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam  dalam Sejarah pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2010), h. 58. Lihat juga: Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 112. Dan: Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 33-34. Dan: H.M. Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 159. Lihat juga: Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, ( Bandung: Cv. Pustaka Setia.2012), h. 56. Selain pendapat demikian penulis juga menemukan sebuah perdapat yang sangat menarik yaitu Arja’a yang menjdi dasar dari Murji’ah adalah sebuah paham yang berangkat dari mendudi-dudikan beramal, yang penting niat sedangkanamal urusan belakangan. Untuk lebih Jelas sialahkan lihat: tgk. H.Z.A. Syihab, Aqidah Ahlu-al-Sunnah Versi Salaf, Khalaf, dan Versi Asy’Ariyyah di antara keduanya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 71.
[7] Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, . . . h. 56.
[8] Untuk lebih jelas mengenai permasalahan perbedaan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, mari kita tengok beberapa cuplikan ayat Al-qur’an yang menyinggung pada kasus ini. Lihat: (QS, 3: 164). (QS, 4: 165). (QS, 7: 52). (QS, 7: 179). (QS, 13: 37). (QS, 17: 15). (QS, 17: 70). (QS, 25: 41-42). (QS, 64: 2-3). (QS, 95: 4-6). (QS, 98: 6-8). Kesemua ayat inilah manusia di tuding sebagai makhluk yang mempunyai beban dasar sebagai makhluk yang sempurna yang mampu memeikirkan baik dan buruk, sekarang dan masa depan, dari ayat-ayat di atas pulalah manusa di jelsakan bahwa kecerdasan yang manusia  miliki itu adalah butuh kinerja yang maksimal, bukan hanya menunngu hidayah dari Tuhan tapi juga harus berusaha mencari ilmu. Lihat: M. Brar Harun, sistematika Al-Qur’an dan Penjelasannya, (Banjarmasin: PT. Garfika Wangi Kalimantan, 2007), hlm. 10-15.
[9] H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, . . . h. 137.
[10] H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, . . . h. 138. Lihat juga: Ahmad Amȋn, Fajr al-Islam, (Beirut: Dār al-Kitab al-‘Arabi, 1969), h. 279-280.
[11] H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, . . . h. 138.
[12] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 59.
[13] H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, . . . h. 145.
[14] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 59.
[15] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 60.
[16] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 60.
[17] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 61. Lihat juga: H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, . . . h. 145.
[18] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 61.
[19] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 62. Pemekiran seperti ini lantas dikatakan oleh H. Sahilun bahwa, seandainya konsep Iman yang di katakan oleh sekte Murji’ah hanya diyakini dalam hati saja maka apa bisa di katakan orang Yahudi dan Nasrani itu beriman, keran sebagaian mereka juga ada yang memeprcanyai dengan Nabi Muhammad begitu juga nenek moyang mereka yang mengetahui informasi tentang Nabi Muhammda darii Kitab taurat dan Injil yang asli. Lihat: H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, . . . h. 144.
[20] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 62, lihat juga: H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, . . . h. 142.
[21] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 62.
[22] Lihat: Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf, . . . h. 34. Lihat juga: Harun Nasution, teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta; UI Press, 1986), h.  25.
[23] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 62.
[24] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 63.
[25] Ada perbedaan yang penulis temukan antara tulisan Abuddin nata dengan Tulisan Harun Nasution, Abuddin mengatakan bahw  Jahm bin Safwan adalah pemimpin sekte ekstrim, dan di dukung juga oleh tulisan H.M. Ahmad. Untuk lebih jelas Lihat: H.M. Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, . . . h. 160. namun jika di bandingkan dengan tulisan Harun maka Jaham dalah sempalang dari sekte ekstrim dengan nama Al-Jahmiyah, lihat: Lihat juga: Harun Nasution, teologi Islam, . . . h. 26. Dengan: Abuddin Nata, Ilmu Kalam, . . . h. 35. Namun pendapat Harun Nasution didukung oleh tulisan Hadariyansyah, Teologi Islam. Lihat: H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 64. Namun jika ditinjau kembali dalam bukunya Abdul Razak, Rosihon Anwar, Jahm bin Shafwan adalah sempalang dari sekete Ektrim, dengan nama Jahamiyah. Untuk lebih jelas lihat: Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, . . . h. 61.
[26] Lebih jelas lihat: Ahmad Amȋn, Fajr al-Islam, . . . h. 281.
[27] H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 63. Lihat juga: H.M. Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam,. . . h. 160.
[28]Kalo ditinjau secara global kemunculan sempalang dalam sekte Murjiah di akibatkan karena perbedaan pemahaman saja, penulis makah ini menemukan beberapa sempalang yang ada di dalam sekte Murji’ah,  Murji’ah Khawarij, Murji’ah Qadariyyah, Murji’ah jabbariyyah, Murji’ah Murni, Murji’ah Sunni, sedangkan dalam versi lain di sebutkan: Al-jahamiyyah (Jahm bin Shufwan). Ash-Salihiyyah (Abu Musa Ash-Shalahi). Al-Yunisiyyah (Yunus As-Samary). As-samriyah (Abu Samr dan Yunus). Asy-Syaubaiyyah (Abu Syauban). Al-Ghalaniyyah,(Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan al-Damsiqy). An-najariyyah (Al-Husain bin Muhammad An-Najr). Al-Hanafiyyah (Abu Haifah Al-Nu’man).  Asy-Syabibiyah, (Muhammad bin Syabib). Al-Mu’aziyyah, (Mu’adz Ath-Thaumi).  Al-Murisyiyah, (basr Al-Murisyi). Al-karamiyah, (Muhammad bin Karam As-Sijistany). Lihat: Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, . . . h. 60. Namun penulsi hanya menemukan beberapa di antarany asaja yang cukup jelas keterangnnya.
[29] Lihat juga: Harun Nasution, teologi Islam, . . . h. 27.
[30] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 112. Lihat juga: H.M. Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam,. . . h. 160.
[31]Sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah. M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan bahwa; mengenai malaikat yang sujud ini ada perbedaan pendapat, ada yangmengatakan bahwa hanya sebgaian saja malaikat yang sujud sesuai tugasnya, dan ada juga yag mengatakan semunya, kalimat Iblis itu di ambil dari kata bahasa arab “ablasa” yang berartikan “Putus asa”  atau dari kata “balasa” yang arinya adalah “Tidak ada kebaikan”  yang kemudian di beri nama dengan Azza’il (ketuadari para Malaikat) namun M. Quraish mengatakan lagi yang snagat menarik bahwa kalimat illā pada penggalan ayat di atas bukanlah berhakikatkan kecuali tetapi hakikat makna tersebut adalah tetapi, seandainya di maknai dengan kecuali maka masih ada iblis yang sujud, tetapi makna yang pas dalam ilmu sorof adalah kecuali dan ini menandakan bahwa iblis bukannlah seoarang malaikat karena dia tidak sujud dalam kalimat illā tersebut. Dengan keengganannyalah Iblis tidak mau sujud dengan Adam, dia merasa dia adalah lebih baik dari adam, ini juga sebagai pelajaran bagi kita bahwa hormat dengan orang yang lebih tua adalah salah satu kewajiaban manusia. Untuk lebih jelas silahkan lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, pesan kesan dan keserasian Al-Qur’an, jilid ke- 1, (Ciputat, Lentera Hati, 2000), h. 149-152. Sujut yang di lakuakan Malaikat bukanlah sujud penyembahan, tetapi adalah sujut penghormatan, jangan salah artikan sujutnya Malaikat sebagai sujut penyembahan. Lihat: ‘Aish al-Qarni, Tafsir Muyassar, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 34. Ditambahkan lagi oleh Syaikh M. Abdul Aziz Al-Khalidi bahwa jika seorang manusia menolak nash-nash yang bersumber dari wahyu dengan argumentasi qiyas-qiyas maka orang tersebut adalah Iblis, maksut qiyas di sini adalah qiyas yang rusak, qiyas yang bertentangan dengan norma islam, rasio. Lebih jelas lihat: Syaikh M. Abdul Aziz Al-Khalidi, Adhwa’u al-bayan, Tafsir Al-Qur’an dengan Teks Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 168-169. Lihat juga: Muh̲ammad ‘Ali as-Subȗnȋ, Safwatu al-Tafāsȋr, (Libanon: Daru al-fakr,1997), juz ke-1, h. 42.
[32] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 113. Lihat juga: H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 65. Penulis juga menemukan antara Yunusiyyah dan ‘Ubudiyyah adalah sama ( satu Sempalang saja bukan dua)  silahkan Lihat: Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, . . . h. 61.
[33] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 113.
[34] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 113.
[35] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 113. Lihat juga: H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 65.
[36] Dalam buku Harun Nasution sekte ini di sebut juga dengan al-Khasaniyyah, penulis coba teliti dari pemahaman yang ada di dalam doktrin dari sekte ini. Untuk lebih jelas lihat: Harun Nasution, teologi Islam, . . . h. 27. Lihat juga: H.M. Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam,. . . h. 160. Penulis juga meneliti pada tulisan Abdul Razak, Rosihon Anwar, ternyata didalam buku beliyau sempalang ini jugda di beri nama dengan Al-Hasaniyyah , berdasarkan penelitian dari pemahaman doktrinya, lebih jelas lihat: Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Ilmu Kalam, . . .61.
[37] Lihat juga: H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 65.
[38] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 113-114.
[39] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 115.
[40] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 115.
[41] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 115.
[42] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 116.
[43] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 116.
[44] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 116.
[45] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 116. Lihat juga: H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam , . . . h. 64.
[46] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 116.
[47] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 117.
[48] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 117.
[49] Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, . . . h. 117.
[50] Harun Nasution, teologi Islam, . . . h. 26.  Lihat juga: Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, . . . h. 61.

This post have 0 komentar


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
Previous article Previous Post