Asal-Usul Kebatinan dan Kepercayaan:
Disorot dari Kaca-Mata Terminologi dan
Tinjauan History
Takdir Ali Syahbana٭
Abstrak
Ketenangan jiwa merupakan impian setiap
manusia, oleh karena intulah manusia berupaya dan berusaha dengan sekuat tenaga
baik dari sisi intelektual maupun dari sisi spiritual dalam rangka mencari jati
diri siapa sebenarnya yang mempunyai sumber ketenagan, muncullah paham yang
mendiskripsikan nama dengan Kebatinan, inilah asal-usul manusia
mencari jati diri meraka dengan menfokuskan diri kepada satu bidang ketekunan dengan
sang Tuhan, lantas tercipta pulalah kepercayaan dalam rangka menjajal
pola pikir yang terpacu dalam jurnal doktrin per-kepercayaan.
Kata kunci: Kebatinan, Asal usul, Kepercayaan.
A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang Allah ciptakan
paling sempurna di bandingkan dengan makhluk yang lain, baik dalam bentuuk fisik maupn dalam bentuk
intelektual, namun perbedaan yang sangat signifikan adalah tertumpu pada
intelektual (akal).[1] Dari akal sinilah
manusia dibebani perintah dan di hujani dengan peraturan , gara-gara faktor
akal pulalah manusia diberikan agama[2]
untuk menata struktur kehidupan agar tetap sebadan dengan inteletual manusai
sendiri. Kecerdasan intelektual, emosional, spiritual adalah inti dari manusia
sendiri.
Agama merupakan tempat pacu manusia untuk
berbuat kebaikan, dari agama pulalah manusia mendapatkan hakikat kebahagiaan
dan dari agama pulalah manusia mendapatkan ketenangan, namun, ketika manusia
tidak mendapatakan ketenangan dan kepuasan dalam beragama (Agnotesisime)
maka manusia akan mencari solusi lain yang lebih meyakinkan dibandingkan dengan
sebelumya. Bukan berarti pancariyan manusia tercantum pada sekte-sekte di dalam
Islam saja,[3]
namun lebih jauh dari hal tersebut yaitu kepercayaan dan kebatinan. Dari
sinilah berangkat kembali manusia menuju kepada sebuah kenyataan yang ada di
sekitar kita ketika manusia hendak mendapatkan hal yang lebih menarik dan
membahagiakan maka, manusia mencari jalan-jalan dianggap itu adalah jalanyan
terbaik bagi dirinya yang di sebut dengan Kebatinan atau bisa juga disebut
dengan kepercayaan, dari sinilah kita meberangkat untuk memaham lebih jauh apa
sebenarnya kebatinan dan dari mana asal-usul kebatinan tersebut?
B. Asal Usul Kebatianan dari Sorotan Termenologi dan Etimologi
Tidak asing lagi bagi cendikiauan agama yang
mencoba memikirkan agamanya dengan nalar dari dasar standar hal yang mereka yakini, begitu juga cendikiauan
agama yang suka menilik hal-hal yang ada di sekelilingnya termasuk juga
kebatinan, ada beberapa pondasi dasar mengenai kebatinan yan ditinjaudari sisi
kalimatnya;
a. Dalam KBBI tercantum beberapa devinisi yag
mengatakan dan menjelaskan tentang ‘Batin’. Pertama, sesuatu yang
terdapat di dalam hati, baik perasaan atau yang lain sebagainya,baik menyangkut
dengan jiwa atau kondisi di balik jiwa itu sendiri. Kedua, sesuatu yang
tidak dapat dicerna oleh panca indra, (Gaib).[4]
b. Kalimat “kebatinan” merupakan sebuah terjemah
dari bahsa inggris: “approfondissement de la vie interiure” (memperdalam
hidup) berangkat dari sini pula maka dapatlah dikatakan sebagai kunci pemahaman
bahwa kebatinan itu adalah manifestasi dari sebuah keyakinan “theosophie”[5]
c. Kemungkinan besar lagi bahwa kalimat kebatinan
merupakan infestasi dari kalimat “Okultisme”[6]
hal ini dikarenakan bahwa kebanyakan aliran kebatinan memanfaatkan kekuatan
lain dari dalam dirinya untuk mencapai hakikat yang mereka inginkan, ini di
karenakan bahwa kekuatan gaib yang mereka yakini mampu menolong diri meraka
untuk menuju ketenangan.[7]
d. Jika kalimat kebatian dikembalikan kembali
kepada dasar Mufradatnya dalam bahsa Arab maka akan nampak dari sana
sebuah kalimat “Bathin”.[8]
Dari sini juga dapat ditarik penjelasan yang lebih subtansi bahwa maunusia jika
di landa ketidak puasan dalam beragama maka dia akan mencari hal-hal yang dapat
memuaskan dirinya, baik itu mengguanakan mitode pemikiran ataupun dzauq
(olah rasa) dengan Tuhannya, baik itu menggunakan hal-hal yang ada dalam kitab
suci dengan cara menafsirkan kalimat-per-kalimat dengan tafsiran yang lebih
dalam dari tafsiran biasa.[9]
Dikalangan orang-orang arab kata batiniyah sering di
pakai untuk nama sekte dari pemikir muslim di antarannya adalah; Khurramites,
Karmatians dan Ismailites, dalam dunia Islam Bathiniyah adalah sebuah sekte
yang mempunyai paham bahwa Al-Qur’an yang asli adalah esensi yang ada di
dalamnya, pemahaman yang benar dibalik lembaran Al-Qur’an itulah yang benar.[10]
Dari keterangan di atas dapat kita tarik
kesimpulan sementara bahwa kebatinan memang bukanlah hal yang tabu bagi umat
manusia khusunya indonesia, dan dari sini pulalah kita dapat pahami bahwa
kegelisahan manusia yang tidak mendapatkan kepuasan pada agama yang mereka
yakini inilah cikal-bakal meluncurnya aliran kebatinan di tengah-tengah
mansyarakat, analisisnya bahwa kebatinan merupakan expresi dari manusia untuk
menunujukan bahwa dirinya itu memang pantas dan relevan untuk memaham kedekatan
tubuhnya dengan sang pencipta (Tuhan) melalui hal-hal yang berada di
luar indra mereka hanya intuisilah (‘Irfani)[11]
yang berguna untuk merasakan hal tersebut.
C. Asal Usul Kebatinan dari Sorotan Hintory
Sangat sulit sekali melacak asal-usul
kebatinaan ini dikarenakan bahwa bacaan yang sangat sulit dan tidak
bermatraikan khusus mengenai asal-usul kebatinan secara gamblang, jadi penulis
berusaha untuk meraba beberapa literatur untuk mendiskripsikan pandangan
sejarah terhadap kebatinan.
Ada beberapa orang[12]
yeng mengatakan bahwa ajaran kebatinan tersebut adalah sikap mereformasikan dan
merevolusikan doktrin islam (menyelewengkan ajaran islam). Kebatinan
bukanlah sikap reformasi dari beberapa doktrin Islam, mari kita dengarkan perkataan dari sejarah
mengenai asal-usul kebatinan; istilah kebatinan muncul pada masa kerajaan
Mataram yang terkenal memiliki serat yang dinamakan dengan Sastra Gending yang
dikatakan sebagai buah karya dari Sultan Agung Anyakrakusuma, dari sini kita
akan menilik apa sebenarnya gending dalam serat tersebut? Gending dalam serat
tersebut isinya adalah Syahadat namun berbeda versi dengan syahadat yang telah
kita imani sekarang, bunyi dari selat itu hnya lailaha illa Allah tidak ada Muhammadnya.[13]
Namun jika ditinjau kemabali dalam kalimat Serat maka akan nampak
devinisinya menurut sumber utamanya (Jawa) serat terdiri dari dua bait
tambang pangkur yang berbunyi;
“Ngadyan Sastra kalih dasa, wit akhadiyat,
ponang Ha-Na-Ca-Ra-Ka pituduhipun, dene kang Da-Ta-Sa-Wa-La, kangentiyaning
kang pamuji, baik selanjutnya: wah diat jadi kang rinasan ponang Pa-Da-Ja-Ya-Nya
angyektini kang tuduh lankang tinuduh, sami santosanira, kahanannya wakadiyat
pambilipun, dene kang MA-Ga-Ba-Ta-Nga wus kanyatan jatining sir”
Inilah cikal dan bakal kebatinaan yang ada dikerajaan mataram yang dimulai
dengan ajaran; Sangkan praning dumadi dan Manunggaling kaulah Gusti
inilah terjemahan dari syair yang bernama “Hancaraka” dan ini juga jelas bahwa
ini bukan alur dari aqidah Islam namun tafsiran dari sastra Gending.[14]
Syair hancaraka merupakan tulisan murni dari abjad jawa yang berisikan tentang
kebatinan, sementara jika ditinjau lebih jauh lagi maka kita akan dapati bahw
apencipta syair hancaraka itu adlaah Jananabadra yaang dikatakan adalah oraang
jawa asli yang yang ahli dalam bidangnya karena dia adalah seorang sarjana dan
pendeta budha Hinayana dia juga menjabat sebagai mahapatih Mangkubumi yang
berada di kawasan Maharaja Hindu Agastya bernama Sanjaya (723-744), selain itu
dia adalah penerjamah buku buku agama Budha, yang sangat menaraik bahwa
jananabhadara adalah semar.[15]
Perlu diketahui kemabli sesungguhnya kebatinan yang berada di sekitar kita saat ini beraasal dari
agama Budha dan Hindhu, sejarah mengatakan bahwa jananabhadara adalah sosok
yang menjawanisasikan buku-buku yang agama Budha dan Hindu kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Jawa, hingga saat ini, jadi kebatinan itu terlahir
dari agama Budha dan Hindu bukan dari agama Islam sendiri yang dikenal dengan
“kauruh kejawen” atau Jawaisme.[16]
Perlu juga diketahui bahwa ajaran-ajaran kebatinan yang dimulai pada zaman
Mataram di masa Sultan Agungan bukanlah refolusi dari ajaran Islam namun
terjemahan dari kitab-kitab Hindhu dan Budha. Pada masa kerajaan mataram ini
kebatinan memiliki empat kandungan; Metafisik,[17]
Mistika,[18]
Etika,[19]
dan Okultisme,[20]
a. Metafisik
Ajaran kebatinan yang terlahir di jawa mempunyai beberapa unsur, unsur yang
pertama adalah matafisik, berangkat dari metafisik ini orang kebatinan punya
devinisi yang khusus yaitu setiap ajaran yang mengandung hal-hal metafisik maka
akan ditemuai faham “sangkan paraning dumadi.[21]
b. Mistika
Sekanjutnya adalah mistik yang merupakan salah satu kandungan dari ajaran
kebatinan, orang jawa mempunyai devinisi khusus mengani permasalahan ini,
meraka mengatakan bawha mistika adalah ilmu tentang manunggaling kaulah gusti,
karena kebatinan merupakan wujud dari pahama Hindhu dan Budha maka manunggaling
kaula gusti tersebut adalah ajaran paham Atma dan brahman, dan dalam paham
Budha adalah ajaran tentang moksa dan nirwana.[22]
c. Etika
Selanjutnya
adalah etika yang merupakan ajaran dasr dikalangan kebatinan yang besalkan dari
agama budha dan hind etika dalam pahamnya adalah memilah-milih tentang yang
mana yang pantas dan yang mana yang tidak pantas dalam kehidupan manusia, aptut
atau tidak patut dalam kehidupan mansuia.[23]
d. Okultisme
Yan teralkhir
yang ada dalam dunia pemahaman kebatinan yang juga bersumber dari jawa budha
dan hindu. Mereka memaham bahwa okultisme adalah pemahaman tentang “jaja
kawijayan” maksutnya adalah, ajaran ini adalah bagaimana manusia mengenai dan
bergaul dnegan baik antara manusia satu sama lain, dan hak yang berhubungan
dengan masyarakat sosial, mampu bergaul dengan baik.[24]
Dari urain di atas dapat kita tarik kesimpulan sementara bahwa kebatinan
bersumber dari daerah jawa apada masa kerjaan Mataram dengan raja Sultan
Agungan, dari sinilah kita juga berangkat dari hal ytang sangat penting, islam
bukanlah agama mengeluarkan ilmu kebatinan yang dikatakanorang sebagai aliran
menyimpang, namun kebatikan adalah aliran yang muncul dikalangan jawa yang
menafsirkan dari ajaran-ajaran Budha dan Hindu kemudian diinfestasikan ke dalam
agama islam namun tetap ad ajaran Budha dan Hindhu yang ada di dalamnya.
D. Kepercayaan ditinjau Dari Sisi Termenologi dan
Etimologi
Sering kita melihat dengan erat dan seksama dalam kausalitas kehidupan
manusia pada umumnya tentang percaya, baik kepada Tuhan atau kepada apa saja
yang menyangkut dengan janji atau yang lain sebagainya, terutama yang lebih
ditekankan adalah percaya kepada hal supranatural, mistis, metafisik, dari
sinilah manusia berangkat untuk berlomba-lomba mencari hakikat kepercayaan yang
mereka yakini, dengan lari kepada konsep dalam agama (memeluk agama) dan dengan
lari kepada kebatinan dan kepercayaan.
Kita berangkat dari devinisi kepercayaan, berhubung bahan yang
menginformasikan tentang kepercayaan sukar didapat jadi penulis hanya mencoba
untuk mendiskripsikan dari beberapa mata tulisan dari orang yang menjiwai
tentang kepercayaan, karena jia tulisan tersebut ditulis oleh orangtidak
menjiwai dalam hal itu maka isinya agak rancu dan berbeda dengan hikmah yang
ada dibalik kepercayaan tersebut.
Kepercayaan adalah suatu paham yang dikatakan sebagai paham dogmatis[25]
yang muncul dari sumber adat istiadat suku bangsa, baik yang bersumber dari
nenek moyang ataupun yang bersumber dari wahyu Tuhan. Manusia yang hidup dalam
garis keterbelakangan (bukan keterbelakangan mental dan fisik tai keterbelangan
pemeikiran) yang masih saja mempercayai hal-hal telah dianut oleh nenek moyang
mereka sejak dulu kala hingga sekarang. Kepercayaan terhadap apa yang telah
diyakini oleh nenk moyang itulah yang mereka percayai dalam garis besarnya
adalah mereka mengerjakan hukum-hukum alam dengan mengintregrasikannya dengan
hal-hal yang misitik dan supranatural.[26]
E. Kepercaayan ditinjau Dari Sisi Antropologi
Memang sangat masyhur dikalangan masyarakat
Dunia, Khusunya Indonesia mengenai sebuah kepercayaan hingga pihak pemerintah
ikut serta mengepreasi dnegan membikinkan peraturan-peraturan yang menyengkut
dengan kepercayaan dalam sebuah lembaga kemasyarakatan.[27]
Oleh karena itulah kita perlu menarikj sebuah rangka pikir agar mendapat
doktrin yang benar mengenai sumber asas dari kepercayaan, berkiut penulis akan
mengemukakan salah satu pendapat ahli Antropologi agama yang bernama; E.B.
Tylor;[28]
a. Animesme[29]
Ketika seorang
manusia sadar dengan apa yang mereka kerjakan dan sadar dnegan apa yang ada
pada diri mereka, maka, saat itulah manusia ,mulai mencoba menerawang
kesekeliling mereka yang sulit dicerna oleh panca indra manusia pada umumnya,
mereka yakin bahwa selain diri meraka yang nampak ada juga diri-diri yang lain
yang tdiak nampak oleh pandangan mereka, disaat inilah manusia berpikiran bahwa
sosok inilah yang dapat dipercayai untuk dijadikan kolaborasi dalam segala
aspek, saat inilah manusia berkeyakinan terhadap animesme.[30]
b. Polytheisme[31]
Ketika mansuai berevolusi menjadi baik dan lebih baik dan tingkat
kesadarannyapun semakin meningkat, mak, saat itulah manusia mulai berpikir
abhwa gerak alam ini ada yang mengatur, misalnya, gunung, mereka berkeyakinan
bahwa gunung ada orang yang mengatur, sungai ada yang mengalirkan, tapi mereka
berkeyakinan bahwa dibalik itu ada sosok yang mengaturnya.[32]
c. Monotheisme[33]
Manusia adalah sosok yang tingkat
kecerdasannya perlu dengan sebuah rangsangan, oleh sebab itulah ketika
rangsangan telah terjadi manusia acap kali berpikir dengan cepat dan hegenis,
salah satunya adalah ketika manusia sudah mulai pandai menata kehiduppan sosial,
baik dlam bidang pemerintahan, ataupun yang lain sebgainya, maka harus ada
sebuah pemimpim yang harus menguasai kontitusi tersebut, dari sinilah manusia
mulai sadar bahwa begitu juga kehidupan spiritual, diantara pengatur-pengatur
alam ini pasti ada pengatur yang paling tertingginya, (Bos).[34]
Dari sinilah manusia sadar dnegan Tuhan yang satu (Esa).
F. Kesimpulan
Dari urain di atas dapt kita tarik kesimpulan
ternyata; kehiduapan manusia membutuhkan ketengan yang mampu mencapaikan
dirinya kepada yang namanya puncak kebahagiaan oleh sebab itulah mansia masuk
kedalam sebuah aliran kebatinan yang diyakini dnegan itulah mansuai mendpatkan
sebuah ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki di dalamnya, mengenai asal-usul
kabatinan terlahir di masa kerajaan Mataram dengan menjawakan ajaran-ajaran
Budha dan Hindu, selanjutnya adalah kepercyaan, asal-usulnya adalah berngakat
dari Animisme lantas Pholitisme kemudian Monoteisme. Dari sinipulalah kita
tarik kembali kesimpulan secara umum bahwa manusia membutuhkan pergerakan yang
stabil anatara hati dan pikiranya, jika agama, hati, pikiran sudah
terentregrasi maka dipastikan tidak ada perselisikan di dalamnya dan tidak ada
perdepatan yang signifikan di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
‘abdu al-Karȋm, Muh̲ammad, bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, (1997), Al-Milal
wa al-Nihal, Libanon, Daru-al-fakr.
Ahmad, M. (1998), Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
al-Husain Ahmad, Abu, ibn Faris ibn
Zakariya, (1423 H./2002 M), Maqayis al-Lugah, Juz.
I Bairut: Ittihad al-Kitab al-‘Arabi.
‘As’ad El Hafidy, M. (1977), Aliran-Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di
Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
H.Brar Harun, M. (2007), sistematika Al-Qur’an dan Penjelasannya, Banjarmasin:
PT. Garfika Wangi Kalimantan.
Frans Magnis
Suseno, (2001), Etika Jawa:Sebuah Analisis Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
H.Hadariansyah, (2010), Pemekiran-pemikiran teologi Islam dalam Sejarah pemikiran Islam, Banjarmasin:
Antasari Press.
Hamid
al-Ghazali, Abu, Fadha’ih
al-Bathiniyyah, Beirut: Maktabah ‘Ashriyah.
Imam S. Suarno, (2005), Konsep Tuhan,
Manuisa, Mistik, dan berbagai kebatinan jade,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mohammad Damami, (2001), Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa Pada
Preode 1973-1983, Sebuah Sumbangan Pemahaman Tentang Proses Legeliminasi
Kontitusional Dalam Konteks Pluralitas Keberagmaan di Indonesia, (Kementrian
Agama RI.
Mubaraq, Zulfi, (2010), Sosiologi Agama, Malang: UIN-MALIKI Press.
Muhammad ‘Abd
Rauf al-Manawi, al-Tauqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif, (Cet. I; Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1410 H.)
Nasution, Harun. (1979), Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Noorsyam, (1984), filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional.
Purwadi dan Maharsi, (2005), Babad Demak: Sejarah Perkemabangan Islam di
Tanah Jawa, Yogyakarta: Tunas Harapan.
Qadhi Abu al-Fadhl Iyadh, Imam, (1998), Al-Syifa bi Ta’rifi Huquqi al-Musthofa,Beirut:
Darul Fikr.
Qohir
al-Baghdadi, Abdul, al-Farqu baina al-Firaq, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah.
Rasjidi, M.
(1971), Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang.
______, Warsito S, H. Bakry, Hasbullah (1973), di Sekitar Kebatinan,
Jakarta: Bulann Bintang.
Razak, Abdul, Rosihon Anwar, (2012), Ilmu Kalam, Bandung: Cv.
Pustaka Setia.
Supriyadi, Dedy ,Mustofa Hasan, (2012), Filsafat Agama, Bandung:
Pustaka Setia.
Syihab, Z.A. (1998), Aqidah Ahlu-al-Sunnah Versi
Salaf, Khalaf, dan Versi Asy’Ariyyah di antara keduanya, Jakarta: Bumi
Aksara.
KAMUS
KBBI offline v1.3. (2010-2011).
Munawwir, A.W.
(1984), Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta:
Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah keagamaan
Pondok Pesantren ‘Al-Munawwir Krapyak.
[1] Untuk lebih jelas mengenai permasalahan
perbedaan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, mari kita tengok
beberapa cuplikan ayat Al-qur’an yang menyinggung pada kasus ini. Lihat: QS, 3:
164. QS, 4: 165. QS, 7: 52. QS, 7: 179. QS, 13: 37. QS, 17: 15. QS, 17: 70. QS,
25: 41-42. QS, 64: 2-3. QS, 95: 4-6. QS, 98: 6-8. Kesemua ayat inilah manusia
di tuding sebagai makhluk yang mempunyai beban dasar sebagai makhluk yang
sempurna yang mampu memeikirkan baik dan buruk, sekarang dan masa depan, dari
ayat-ayat di atas pulalah manusa di jelsakan bahwa kecerdasan yang manusia miliki itu adalah butuh kinerja yang
maksimal, bukan hanya menunngu hidayah dari Tuhan tapi juga harus berusaha
mencari ilmu. Lihat: M. Brar Harun, sistematika Al-Qur’an dan Penjelasannya,
(Banjarmasin: PT. Garfika Wangi Kalimantan, 2007), hlm. 10-15.
[2] Agama dalam bahasa Sanskrit, dalam abjat hurupnya ‘A’
maka di artikan dengan tidak sedagkan pada gama di artikan dengan
pergi (tidak pergi) atau dapat juga diartikan dengan hal yang tidak pergi
dari kehidupan yang diwarisi oleh turun-temurun oleh manusia. Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), hlm. 9.
Lihat juga: Dedy Supriyadi, Mustofa Hasan, Filsafat Agama, (Bandung: Pustaka
Setia, 2012), hlm. 10. Kemudian pengertian kata agama ini sedikit berbeda jika
di tinjau dalam bahasa Sansekerta di mulai dari huruf A di artikan
dengan tidak dan di lanjutkan
dnegan kalimat gama yang berarti kacau di gabungkan muncullah
defenisi kahir yaitu tidak kacau, agama adalah peraruran yangmengatur
manusia agar tidak mengalami kekacaun yang menggelincir dari hatii nurani
manusia sendiri. Lihat: Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang:
UIN-MALIKI Press, 2010), hlm. 2. Bahran Noor Haira mengetakan bahwa Peraturan
yang ada dalam agama khususnya Islam satupun ajarannya tidak ada yang
bertentangan dengan hati nurani. Agama teerbagi kepada tiiga kategori, Agama
Samawy, Agama yang menyerupai Shuhuf, agama ciptaan manusia, jika agama di
pandang dari sudut sesembahan maka terbagi dua; bertuhan Rohani dan bertuhan
materi. Lebih jelas lihat: H.M. As’ad El Hafidy, Aliran-Aliran Kepercayaan
dan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), h. 87-88.
[3] Salah satu sekte dalam agama Islam yang mencari ketenangan dan kebhagiaan
yang dengan pemikirannya yang santai demi sosiologis adalah Murji’ah, murjiah
adalah sekte yang mengetengahi antara Khawarij dan Syi’ah. Kehadiran Murjiah
memberikan ketenangan dan kebahagiaan dari dua kubu yang berdu kekerasan. Untuk
lebih jelsa silahkan lihat: Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad
al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, (Libanon, Daru-al-fakr, 1997), h.
112. Dan: H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam dalam Sejarah pemikiran Islam, (Banjarmasin:
Antasari Press, 2010), h. 58. Dan: H.M. Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 1998), h. 159. Lihat juga: Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam, ( Bandung: Cv. Pustaka Setia.2012), h. 56. Dan: tgk. H.Z.A. Syihab, Aqidah
Ahlu-al-Sunnah Versi Salaf, Khalaf, dan Versi Asy’Ariyyah di antara keduanya, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1998), h. 71.
[4] Sementara jika kalimat itu ditambah awalan ke-
dan akhiran an, maka: ke·ba·tin·an n 1 keadaan batin (dl
hati); segala sesuatu yg mengenai batin; 2 ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kpd kebenaran
dan ketuhanan dapat dicapai dng penglihatan batin; 3 ilmu yg mengajarkan
jalan menuju ke kesempurnaan batin; suluk; tasawuf; 4 ilmu yg menyangkut
masalah batin; mistik. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[5] te·o·so·fi /téosofi/ n ajaran dan pengetahuan kebatinan (semacam
falsafah atau tasawuf) yg sebagian besar berdasarkan ajaran agama Buddha dan
Hindu. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011). dan lihat: H.M. Rasjidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1971), h. 71. Di jelaskna kembali bahwa devinici kebatinan yang bersumber dari bahsa Arab tersebut merupakan
upaya manusia agar terlepas dari tipu daya duniawi yang fana ini dan semu,
sebenarnya! Kebatinan itu sangat suliituntuk di devinisikan seperti sulotnya
mendevinisikan agama, dikarenakan bahwa kebatinan berada pada emperisme manusia
sendiri yang kemudian disitulah akan ditemukan devinisi kebatianan yang
sesungguhnya.untuk lebih jelas silahkan lihat: Suarno Imam S. Konsep Tuhan,
Manuisa, Mistik, dan berbagai kebatinan jade,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 84-88.
[6] okul·tis·me n 1
kepercayaan kpd kekuatan gaib yg dapat dikuasai manusia; 2 kajian tt kekuatan gaib. Lihat: KBBI offline v1.3.
(2010-2011).
[8] A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah
keagamaan Pondok Pesantren ‘Al-Munawwir
Krapyak, 1984), 101.
[10] Abu Hamid al-Ghazali, Fadha’ih al-Bathiniyyah, (Beirut:
Maktabah ‘Ashriyah, t,t.), h. 21. Al-Gazai mengatakan bahwa aliran ini tidak mengakui
teks literal dari Al-Qur’an, mereka manafsirkan AL-Qur’an dengan pemahaman
mereka sendiri sesuai dengan apa yang di butuhkan mereka, pada dasarnya
pemahaman mereka mengenai apa yang mereka tafsirkan seperti pemahaman filsafat
Yunani. Lihat: Imam Qadhi Abu al-Fadhl Iyadh, Al-Syifa bi Ta’rifi Huquqi al-Musthofa,(Beirut:
Darul Fikr, 1998), h. 283. Sekte ini juga mengatakan bahwa apa-apa yang telah
di wahyukan kepada para Rasul (Muhammad) tidak sesuai dengan apa yang ada pada
batinnya, apa yang telah tertulis dalam kitab AL-Qur’an tidak sesuai dengan
kandungan yang ada di balik tulisan tersebut. Lihat: Abdul
Qohir al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, (Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyah,t,t,), h. 284.
[11] Irfani merupakan bahasa
Arab yang terdiri dari huruf ع- ر-ف memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu yang
berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang. Namun secara
harfiyah al-‘irfa>n adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan
mengkaji secara dalam[11].
Dengan demikian al-‘irfa>n lebih khusus dari pada al-‘ilm. Secara termenologi, irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf)
setelah melalui riya>d}ah. Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani
lainnya adalah falsafah isyra>qi> yang memandang pengetahuan
diskursif (al-h}ikmah al-ba>t}iniyyah) harus dipadu secara kreatif
harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-h}ikmah al-z\awqiyah). Dengan
pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang
mencerahkan, bahkan akan mencapai al-h}ikmah al-h}aqi>qiyyah. Pengalaman
batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkrit
dari pengetahuan irfani. Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat
subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap
orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka
validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat
partisipatif. Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran
keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi
spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya
pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan
ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Lihat: Abu al-Husain Ah{mad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lugah, Juz.
I (Bairut: Ittihad al-Kitab al-‘Arabi, 1423 H./2002 M.), h. 229. Lihat juga: Noorsyam, filsafat
Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1984), hal 34Muhammad ‘Abd
Rauf al-Manawi, al-Tauqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif, (Cet.
I; Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1410 H.), h. 511.
[12]Orang-orang tersebut adalah; Abdurrahman Wahab, Sju’bah,
Hamka, Lihat: Rasjidi, Warsito S, H.
Hasbullah Bakry, di Sekitar Kebatinan,(Jakarta:
Bulann Bintang, 1973), h. 10-11.
[16] Rasjidi, Warsito S, H. Hasbullah Bakry, di Sekitar Kebatinan, . . . h. 17. Hal ini senada dengan apa
yang sdah diinforamsikan oleh Dr. Roibin, MHI : yaitu: Tidak sedikit
para ilmuwan antropologi yang berbeda perspektif dalam melihat kosmogoni
kepercayaan kejawen ini. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa kosmogoni
kepercayaan Jawa diwarnai oleh kebudayaan Cina. Pandangan ini
didasarkan pada suatu pemikiran bahwa berita mengenai Cina di kepulauan
Indonesia dapat dianggap sebagai sumber ke tujuh dalam sejarah politik Jawa
pada abad ke-15 dan 16. Dalam catatan Narendra Agung dikatakan bahwa Cina
ternyata sangat penting bagi pembentukan corak kepercayaan Islam di masyarakat
Jawa. Demikian juga dalam catatan sejarah dari pusat-pusat perdagangan Cina di
Jawa, menunjukkan bahwa telah ada orang Cina Muslim yang tinggal di Jawa. Alasan di atas diperkuat oleh bukti historis bahwa
pada saat Khubilai Khan berkuasa jauh sebelum abad ke-15 dan ke-16 M, yaitu
pada tahun 1275 M, ia memberi kebebasan dan kepercayaan kepada orang-orang
Islam dari Turkistan di Asia Tengah untuk keluar masuk negeri Cina. Orang-orang
Turkistan Muslim itu selain beroleh kedudukan yang cukup baik, juga ada yang
menduduki jabatan menteri di istana kaisar. Oleh karena itu orang-orang
Turkistan dari Balkh, Bukhara dan Samarkand mulai melancarkan pengislaman
terhadap orang-orang Mongol dan Cina serta orang-orang di wilayah kekuasaan
Khubilai Khan. Pada saat itu sekalipun pengislaman di Cina hasilnya tidak
seperti di Persia, India dan Turkistan, namun boleh dikatakan orang-orang Cina
banyak yang masuk Islam. Dari data di atas, tidak
menutup kemungkinan bahwa Cina yang datang ke Jawa, baik atas dasar
kepentingan perdagangan maupun politik dimungkinkan membawa tradisi dan kebudayaan
Islam, selain juga tradisi dan kebudayaan khas mereka sendiri.Pandangan lain
yang agak senada juga diungkapkan oleh J.H. Kern asal Belanda.
Menurutnya orang Jawa dianggap dari keturunan orang-orang Melayu yang berasal
dari Cina. Kurang lebih tiga ribu tahun sebelum Masehi menurut pandangan Kern
telah terjadi gelombang pertama imigran Melayu yang berasal dari Cina yang
membanjiri Asia Tenggara, yang disusul kemudian dengan gelombang kedua, kurang
lebih dua ribu tahun lamanya. Pengaruh imigran Melayu Cina ini, bagi masyarakat
Jawa tidaklah kecil, melainkan kultur Cina baik yang sudah bersentuhan dengan
kebudayaan Islam sebagaimana yang terjadi pada masa kekuasaan Khubilai Khan,
maupun yang belum berinteraksi dengan Islam, betapapun telah banyak mempengaruhi
karakter asli kebudayaan Jawa. Lihat: Purwadi dan
Maharsi, Babad
Demak: Sejarah Perkemabangan Islam di Tanah Jawa, (Yogyakarta:
Tunas Harapan, 2005), h. 22. Dan: Frans Magnis
Suseno, Etika
Jawa:Sebuah Analisis Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 21
[17] me·ta·fi·si·k /métafisika/ n ilmu pengetahuan yg berhubungan dng hal-hal
yg nonfisik atau tidak kelihatan. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[18] mis·tik n 1
subsistem yg ada dl hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat
manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dng Tuhan; tasawuf; suluk; 2 hal gaib yg tidak terjangkau dng akal manusia yg biasa.
Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[19] eti·ka /étika/ n ilmu tt apa yg baik dan apa yg buruk dan tt
hak dan kewajiban moral (akhlak). Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[25] dog·ma·tis a bersifat mengikuti atau menjabarkan suatu
ajaran tanpa kritik sama sekali. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[27] Lebih jelas silahkan Lihat; Mohammad Damami, Kepercayaan
Terhadap Tuhan yang Maha Esa Pada Preode 1973-1983, Sebuah Sumbangan Pemahaman
Tentang Proses Legeliminasi Kontitusional Dalam Konteks Pluralitas Keberagmaan
di Indonesia, (Kementrian Agama RI, 2001), h. 57-59.
[29] a·ni·mis·me n kepercayaan kpd roh yg mendiami semua benda
(pohon, batu, sungai, gunung, dsb). Lihat:
KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[31] po·li·te·is·me /politéisme/ n kepercayaan atau pemujaan kpd lebih dr satu
Tuhan. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[33] mo·no·te·is·me /monotéisme/ n ajaran agama yg mempercayai adanya satu
Tuhan; kepercayaan kpd satu Tuhan. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100