Sejarah Masuknya Agama Khonghucu ke Kalimantan Selatan

author photo July 06, 2014
                   
Sejarah Masuknya Agama Khonghucu ke Kalimantan Selatan
Oleh:
Takdirr Ali Syahbana٭

BAB I
A.     Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang Allah ciptakan paling sempurna di bandingkan dengan makhluk yang lain, baik  dalam bentuk fisik maupn dalam bentuk intelektual, namun perbedaan yang sangat signifikan adalah tertumpu pada intelektual (akal).[1] Dari akal sinilah manusia dibebani perintah dan di hujani dengan peraturan , gara-gara faktor akal pulalah manusia diberikan agama[2] untuk menata struktur kehidupan agar tetap sebadan dengan inteletual manusai sendiri. Kecerdasan intelektual, emosional, spiritual adalah inti dari manusia sendiri.
Agama merupakan tempat pacu manusia untuk berbuat kebaikan, dari agama pulalah manusia mendapatkan hakikat kebahagiaan dan dari agama pulalah manusia mendapatkan ketenangan, namun, ketika manusia tidak mendapatakan ketenangan dan kepuasan dalam beragama (Agnotesisime) maka manusia akan mencari solusi lain yang lebih meyakinkan dibandingkan dengan sebelumya. Bukan berarti pancariyan manusia tercantum pada sekte-sekte di dalam Islam saja,[3] namun lebih jauh dari hal tersebut yaitu kepercayaan dan kebatinan. Dari sinilah berangkat kembali manusia menuju kepada sebuah kenyataan yang ada di sekitar kita ketika manusia hendak mendapatkan hal yang lebih menarik dan membahagiakan maka, manusia mencari jalan-jalan dianggap itu adalah jalanyan terbaik bagi dirinya, salah jalan yang ditempuh oleh manusia pada abad ke-551 SM dengan meyakini paham baru yang bertujuan untuk memperbaiki prilaku masyarakat. Agama Khonghucu berkembang diawal wilayah lahirnya Khoingcu sendiri yaitu di  sebuah Negara yang bernama Lu di perdesaan Chang Ping,[4] perkembangan secara umum agama Khonghucu berada di Korea, Jepang, taiwan, Hong Kong dan RRC.
Sedangkan pPerkembangan Agama Khonghucu di  Indonesia yang merupakan Negara yang terletak di Asia Tenggara dan di lintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Autralia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, selain demikian Indonesia adalah Negara kepulaun terbesar di Dunia yang terdiri dari 13.466 pulau yang di temppati oleh 259.940.847 yang terdiri dari 132.240.055 laki-laki dan 127.700.802 Perempuan.[5] Dari sekian banyak penduduk Indonesia 87,18% nya adalah muslim, hal ini tentu melebihi dari jumlah penganut agama-agama lain yang ada di Indonesia seperti Hindu, Budha, Khonghucu, Katolik dan Kristen. Pada zaman Orde baru pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk dari kebudayaan dan tradisi Tinghoa, ini mengakibatkan bahwa para penganut agama Khonghucu tidak bisa berbuat apa-apa, untuk memudahkan para etnis Tionghoa ini maka mereka diperbolehkan untuk memeuk agama yang hampir dekat dengan mereka, seperti Budha dan Hindu. Namun, sejak Orde Reformasi para etnis Tionghoa berhak kembali menampakan kepercayaan  mereka dan identitas mereka sebagai penganut agama Khonghucu.[6] Masuknya agam Khonghucu di Indonesia tidak luput dari para perantau dan juga para pedagang Tionghoa ke Indonesia, keberadaan agam khomnghuc di Indonesia dapat dikaitkan dnegan adanya Majlis Tinggi Agama Khonghucu (MATAKIN) yang didirikan pada tahun 1955, selanjutkan didirikannya tempat Ibadah “Kelenteng Hing Kiong” di Manado pada tahun 1819, Boen Tjhiang Soe yang didiriakan di Surabaya dan dibangun diperbaharui pada tahun 1906 dengan nama gantian “Boen Bio” lantas bagaimana sejarah masuknya secara Khusus agama Khonghucu di Kalimantan Selatan disertai dengan bukti-bukti historis berdirnya  Kelenteng di Kalimantan Selatan.
B.     Rumusan Masalah.
1.      Bagaimana Sejarah Masuknya Khonghucu di Kalimantan Selatan?
2.      Bagaimana Sejarah Berdirinya Kelenteng di Kalimantan Selatan?

BAB II
Khonghucu dan Perkembangannya

A.     Agama  Khonghucu.
Kehadiaran sebuah agama bagi manusia merupakan sebuah alasan tertentu bagi manusia, entah pada saat itu manusia tidak sadar lagi bahwa dirinya adalah manusia, entah manusia kehilangan batas normalnya sebagai manusia, oleh sebab itulah agama hadir waktu itu, tidak lepas dari hal tersebut bahwa  agama Khonghucu juga lahir di antara hilangnya akal manusia sebagai manusia. Nama lain dari  Khonghucu adalah Kong Jiao atau Kung Chiao, Ru Jio atau Chiao dan juga Ji Kao semua nama ini adalah gambaran besar tentang agama Khonghucu yang mempunyai arti orang agama orang yang terdidik ataupun agama bagi orang yang berbudi luhur tinggi, orang-orang Barat menyebut agama Khonghucu, Kong Jiao atau Kung Chiao, Ru Jio atau Chiao dan juga Ji Kao dengan sebutan Confucianisme yang mengkaitkan dengan si pendirinya yaitu Confucius atau yang lebih terkenal di kalangan masayarakat dengan Khongcu, namun diwilayah Indonesia sendiri antara Confucius dan Khongcu lebih dikenal Khongcu karena dikaitkan dengan nama agamanya yaitu Khonghucu.[7] Selain demikian agama Khonghucu juga dikaitkan dengan agama Klasik.[8]
Agama Khonghucu  adalah sebuah ajaran (Paham) yang berasal dari Tuhan, kemudian Tuhan mengutus ajaran-ajaran tersebut melalui raja-raja purba (raja-raja suci)  yang disampaikan kepada  pengikutnya yaitu Khongcu atau Confucius, Khongcu meruapakan penerus dari ajaran sang raja-raja purba, jika kita melihat konteks ini bahwa Khongcu bukanlah pendiri agama Khonghucu melainkan penerus dari ajaran sang Tuhan yang di wakilkan kepada raja-raja purba (suci) untuk para pengikutnya.
2. Sejarah Khonghucu dan Perkembangannya
Sejarah munculnya agama Khoghucu tidak jauh beda dengan agama-agama yang lainnya seperti  Kristen, Islam bahwa krisis moral dan hilangkan prikemanusiaan menjadi sebab atau menjadi faktor utama munculnya sebuah agama di waktu itu, Khonghucu juga seperti demikian bahwa lahirnya Khongcu di tengah-tengah situai dan kondisi masyarakat Cina sedang mengalami kedangkalan Moral, hilangnya akal untuk berpikir baik, hilangnya rasa aman dan nyaman dan juga kebahagiaan, maka di saat inilah Khongcu lahir untuk memperbaiki semua hal tersebut, Khongcu bertugas mengembalikan esensi moral, memperbaiki prilaku sebagaimana pri-kemanusiaan, menumbuhkan kembali rasa malu dan menghidupkan kembali hati nurani manusia yang sudah hilang saat itu, sesuai dengan apa yang telah di ajarakan oleh para raja-raja purba kepada para pengkutnya.
Khongcu sendiri lahir pada tahun 551 SM di sebuah Negara yang bernama Lu di perdesaan Chang Ping, ayah dari Khongcu bernama Kong Shu Liang He dia menikah dengan  wanita kemudian dia mempunyai sembilan anak perempuan dan satu anak laki-laki, namun anak laki-laki yang tunggal tersebut mengalami kecacatan, setelah Kong Shu Liang He berusia  enam puluh empat (64) tahun maka  menikah kembali dengan seorang wanita yang bernama Yuan dan dari rahim Yuan inilah lahir seoran anak laki-laki yang bernama Ch’iu (Qiu) dengan nama lain Zhongni, kemudian karena ada penambahan nama yang sesui dengan ayahnya maka Ch’u tersebut di beri nama tambahan di depannya dengan kalimat Kong (K’ung) setelah anak ini mulai beranjak dewasa maka namanya menjadi Khongcu (Kong yang agung) karena Khongcu berasal dari kalangan bangsawan saat itu, namun karena ada beberaoa faktor maka keluarga besar Khongcu jatuh miskin.[9]
Keluarga besar Khongcu berasal dari sebuah kerajaan yang beranama Sung, ayah dari Kong Shu Liang He (Kakek) merupakan pemimpin Daerah Lu, sedangkan ayah Khongcu (Kong Shu Liang He) merupakan seorang perwira mileter di Daerah tersebut.[10] Setelah Khongcu  berumur tiga (3) tahun maka ayah Khongcu meninggal dunia, Khongcu sejak saat itu hidup hanya bersama sang ibu, tidak ada lagi nasehat-nasehat dari orang tua yang didengarnya, namun sang ibu tetap saja mendidik Khongcu dengan sekuat-kuatnya hingga Khongcu berusia sembilan belas (19) tahun  Khoncu menikahdengan seorang wanita dari  Negara bagian Song, istri Khongcu tersebut bernama Yuan Guan,  setelah keduanya menikah maka tidak lama kemudian lahirnya seoarang buah hati laki-laki yang diberi nama Kong Li.
Khongcu di kalangan masayarakat sekitar dikenal sebagai seorang yang baik, dia adalah seorang guru, hingga pada saat anak Khongcu  (Kong Li) besar dia tidak ingin ikut belajar dengan ayahnya sebagaimana para murit-murit Khoncu sendiri yang belajar dengan sunguh-sungguh kepada Khongcu, Khongcupun kecewa melihaat prilaku anaknya yang seperti demikian, hingga pada akhirnya sikap cinta dan sayang dan juga sikap perhatian Khongcu kepada sang anak terpindahkan kepada sang murid-murid Khongcu yang sungguh-sungguh belajar.[11]  Selain Khongcu  dikenal sebagai guru, dia juga dikenal sebagai seseorang yang berbudi luhur, baik bermoral tinggi, rajin bekerja, di pernah bekerja hampir disemua bidang pekerjaan, selain rajin dan berbudi luhur Khongcu juga dikenal dengan kecerdasannya, oleh karena itu dia mempunyai sangat banyak jabatan yang ditanggungnya terutama di Distrik Tsow, dia menjabat pada bidang pertanian, hal ini membuat Khoncu selalu ingin belajar dalam bidang ilmu-ilmu yang lain, hingga masyarakat yang kenal dengan Khongcu mengatahui bahwa Khoncu bukan hanya seoarng guru ataupun seorang cendikiawan, tetapi Khoncu juga ahli dalam bidang musik dan juga sastra.[12]
Sejarah mencatat bahwa ketika Kongchu berumur dua puluh tiga (23) tahun tepat pada tahun 528 SM ibunya yang bernama Yuan meninggal dunia, hal ini membuat Khoncu sedih dan pada akhirnya dia meninggalkan pekerjaannya di bidang pertanian, selain berhenti dalam pekerjaannya, Khongcupun pergi untuk mengasingkan diri selama tiga tahun, Khongcu berusaha untuk mendapatkan Spiritualnya kembali setelah sibuk dengan urusan jabatan yang dia pikul, untuk itu Khongcu melanjutkan kembali pengabdiannya untuk masyarakat, Khoncu kembali mengajarkan ilmu-ilmu kepada murid-muridnya,  setelah Kongcu berusia lima puluh (50) tahun Khoncu kembali dilantik menjadi kepala  hakim, kemudian dia juga menjabat sebagai  menteri urusan kejahatan, hingga pada maa kepemimpinannya membawa pengaruh yang sangat bagus bagi kawasan yang dipimpinnya.[13] Masa keemasan kepemimpinan Khonchu di bidan menteri tidaklah berjalan lama, pada tahun 497 Khongcu mengundurkan diri dalam kepenjabatannya dikarenakan banyak orang yang ingin menjatuhkannya yang disebabkan kedengkian atas keberhasilan Khongcu dalam masa kepemimpinannya.[14] Faktor lain alasan kenapa Khoncu mengundurkan diri dimaa kepenjabatannya adalah karena Khoncu kecewa saat mengatahui sifat raja  Lu yang berbangga dengan kemewahan yang dikirimkan oleh raja Qi sebab alasan kenapa raja Qi mengirimkan sekian banyak harta untuk raja Lu karena Raja Qi tidak ingin melihat raja Lu berkuasa di masa itu, oleh sebab itulah Khongcu mengundurkan diri di dalam masa jabatannya sebagai Menteri.[15]
Masa ini adalah masa pengabdian Khongcu terahapa agama yang dia pegang, setelah dia berhenti menjadi seoarang pejabat kerajaan dia mengembara selama tiga belas (13) tahun bersama  para pengikutnya yang tersu setia bersamanya untuk menyampaikan kebenaran dan mengajarkan ajarannya, Sejak usia Khoncu menjapai usia enam puluh (60) tahun pada usia ini dia kembali kekampung halamannya dimana dia dilahirkan dan di besarkan yaitu desa Chang Ping di Wilayah Lu, dan sini dia menghabiskan sisa umurnya bersama murid-muridnya, pada usia ke tujuh puluh tiga (73) tahun tepat pada 479 SM Khongcu meninggal dunia dan jasadnya di makamkan di sebuah kota yang bernama Qu Fu yang tepat di Provinsi Shandong dengan didirikannya sebuah Kuil yang bertujuan untuk mengenang Khongcu.[16]
Masyarakat China dnegan hormat dan rendah hati mengatakan bahwa Khongcu, Confucius ataupun Kung Sang sebagai sebagai guru pertama, hal ini bukan berarti tidak ada guru sebelum Khongcu, tetapi kehadiran Khingcu justru diangap sebagai permbaharu yang sangat relevan bagi  kebudayaan China. Dia adalah sosok yang mampu menyunting tata aturan kebudayaan China dia mencoba membuang yang tidak layak, dan mencoba untuk memperbaharui kebudayaa yang layak bagi masyrakakat China, hingga jelas dapat di sangsikan selama dua puluh lima (25) abad.[17]
Bukanlah hal yang mudah pada awalnya ketika Khongcu menjelaskan tentanng doktrin kebenaran bagi masyarakan China, dia di olok-olok dengan cacian, di hina, dan sangat-sangat tidak dihormti, namun Khongcu tetap tegar dan tatap mempertahankan sebuah kebenaran yang ada di dalam pikirannya yang bersumber dari Tuhan, tindakan-tindakan yang kasar yang dilakukan oleh masyarakat China tidak membuat Khoncu gentar dan mundur, dia tetap maju dan terus menerus menjelaskan kepada maysrakat China tentang budaya yang benar. Kongchu tidak sendiri, walaupun dari sekian banyak mayarakat China yang menghina dia, namun ada saja masyarakt yang mengikutinya setia sampai kapanpun dengan berpegang pada kebenaran yang di bawa Khongcu.[18]
Setelah Khongcu berusia 73 tahun dia meninggal dunia namun, tentu ada sosok yang melanjutkan ajaran tersebut, ajaran Khongcu dilanjutkan oleh para murid-muridnya di antaranya murid-murid Khongcu antara lain adalah;  Bu Shang (Zi Xia) dia bertugas mengajarkan ajaran Khongcu ke Kerajaan  Adipati Wei yang dibantu oleh rekannya yang bernama Zeng Zi beserta Zi You, hal ini terus berlanjut, setelah Zeng Zi meninggal dunia ajaran Khongcu di lanjutkan kembali oleh murid Zeng Zi yang bernama Zi Si dan tersu berlanjut hingga kepada Mencius.[19] Ketika ajaran Khongcu tersebut berada di tangan Mencius maka pandangan-pandangan masyarakat mengatakan bahwa dia adalah murid yang paling banyak menagajarkan dan mengembangkan ajaran-ajaran Khongcu, sehingga sebuah penilain sekaligus penghargaan kepada Mencius bahwadia adalah tokoh tersbesar pembawa agama Khonghucu setelah Khongcu sendiri.[20] hal tersebut dapat dibuktikan bahwa pada zaman kerajaan Han atau pada masa ke-Kaisaran Han Bu Tee, agama Khonghucu dinobatkan sebagai sebuah agama di dalam Negara, bahwa Khonghucu adalah agama resmi Negara, sehingga ketika ada seseorang yang hendak mendapatkan jabatan tinggi didalam kerajaan maka ujian yang paling utama diberikan oleh pihak kaisar adalah hal-hal yang menyangkut Kitab suci Khongcu.
Nama asli dari Mencius sendiri adalah Mo Di (Mo Zi)  dia lahir satu wilayah dengan Khongcu yaitu di Provinsi Lu,  Mencius sendiri berasal dari kerurunan Raja Gu Zhu, setelah Khonghucu berada di tangan Mencius maka ada beberapa kebiasaan yang ada di dalam kebiasaan agama Khonghucu setelah Khoongcu wafat ada ritual yang tidak semestinya itu ada pada masa Khongcu, hal tersebut terdapat dalam kitab Analects, oleh karena itu ketika dia memegang kekuasaan agama maka ada ritual yang dikembalikan ksecara murni seperti masa Khongcu, seperti upacara pemakaman yang sangat mewah, yang pastinya sangat banyak mengeluarkan dana, oleh karena itu Mnecius merobah hal tersebut dengan hanya merayakan upacara kematian dengan sederhana saja tidak semeriyah yang di lakuakn penganut Khongcu setelah Khongcu wafat, selain itu musik dan tari-tarian juga di larang oleh Mencius karena Khongcu pada masanya juga melarang dengan alasan bahwa musik dan tari-tarian adalah milik penguasa. Oleh karena itu pada abad baru-baru ii kalangan intelektual mengatakan bahwa ini adalah aliran Radikal yang di pimpin oleh Mencius.[21] Selian aliran Radikal ada juga aliran yang disebuat dengan Analitis yang digawangi oleh Hsuntse dan Yangtse yang mencoba untuk menafsirkan dan menganalisa kembali dari ajaran-ajaran para guru yang tentunya tidak terlepas pada ajaran asalnya dari Khongcu.[22] Salah satu pemikiran yang sudah dianalisa oleh Hsuntse adalah; manusia pada dasarnya  sejak lahir sudah membawa sifat buruk, sifat-sifat yang bertentangan dengan kebaikan, oleh karena itu sering terdengar dan terlihat bahwa manusia melakukan kekacawan di mana-mana, baik kekacawan bentuk fisik ataupun hanya sebuah kata-kata.[23]
B.     Kitab-kitab Suci Agama Khonghucu
Kitab suci merupakan pedoman yang di anggap sacral bagi umat beragama, sikap hormat kepada kitab suci merupakan aktualisasian dari rasa betapa berharganya kitab suci bagi umat beragama. Secara umum fungsi kitab suci merupakan pedoman sebagai petunjuk kebenaran bagi penganutnya.
Agama Khonghucu mempunyai dua kitab suci utama yaitu Wu Ching atau Ngo King (kitab yang lima) dan Su Si (kitab yang empat) selain dua kitab tersebut ada llagi satu kitab yang juga diiyakini kesuciannya yaitu kitab Bakhti. Kitab Wu Ching atau Ngo King yang sekarang berisi lima bab, padahal dulu kitab ini berisi dengan enam bab, karena ada satu bab yang hilang yaitu Yueh Chi (music).[24] Namun sekarang tertinggal hanya lima kitab yaitu, Shu Ching (Kitab sejarah),[25] Sih Ching (kitab sajak),[26] I Ching (kitab tentang perubahan),[27] Li Chi (kitab kesusilaan dan peribadatan),[28] dan Chu’un Chi’u (catatan sejarah musim semi dan musim gugur).[29] Sedangkan kitab yang kedua adalah  Su Si yang terdiri dari empat buah kitab yaitu; Thai Hak (ajaran besar),[30]Tiong Yong (Tengah Sempurna),[31] Lun Gi (sabda suci)[32] dan yang terakhir Bing Cu (ajaran Mencius).[33]
Jika ditinjau dari segi sejarah kitab suci tersebut maka yang paling tua adalah kitab Wu Ching  jika dibandingkan dengan kitab  Su Si. Kitab  Wu Ching  juga menjadi landasan acuan utama bagi umat Khonghucu, namun sebelumnya kitab ini menjadi silabus bagi pendidikan kaum elite pada zamannya.[34]
C.     Sejarah Masuknya Agama Khonghucu di Indonesia.[35]
Agama Khonghucu sudah ada di Indonesia sejak berabad-abad yang lalu, yaitu sejak masuknya para pedagang atau para perantau China ke tanah air Indonesia. Dimana abad ke-3 Masehi pada masa Sam Kok, agama Khonghucu telah menjadi salah satu diantara tiga agama besar di China pada waktu itu, yaitu Khonghucu,Taoisme dan Budha. Lebih-lebih pada masa Dinasti Han dimana Khonghucu dijadikan sebagai agama Negara.[36]Selain itu ideology Khonghucu ini dijadikan dasar dan fondasi bagi kerajaan Dinasti Han, kemudian kitab sucinya menjadi materi pokok ujian kerajaan sehingga hampir tiap orang disana merasa berkepentingan memahaminya.[37] Pada saat itu orang-orang perantauan China datang ke kepulauan Nusantara ini secara individual sebagai pedagang, petani atau nelayan tanpa membuat komunitas sendiri, melainkan beradaptasi dengan masyarakat dan budaya setempat. Penyebaran agama Khonghucu tersebut lebih meluas ke Semenanjung Malaka dan kepulauan Nusantara, seperti di kota Banten, Sriwijaya, Cirebon, Demak, Tuban, Makasar, Ternate dan Kalimantan Barat.[38]
Sebutan agama Khonghucu di Indonesia ini diberikan oleh para misionaris Barat, seperti Matteo Ricci yang datang ke China pada abad ke-17. Sedangkan di Negara asalnya agama Khonghucu ini dikenal dengan sebutan Ru Xue (儒学). Khonghucu atau Kong Fu Zi ini diambil dari ejaan Pin Yin (拼音) yang merupakan ejaan baku dari Bahasa China. Istilah Khonghucu atau Kong Fu Zi yang ada di Indonesia ini diambil dari dialek Hokkian (Fujian), dimana dialek Hokkian ini cukup berkembang baik di Pulau Jawa. Masuknya agama Khonghucu di Indonesia cukup diterima dengan baik oleh penduduk setempat, meskipun di dalam perjalannya mengalami sedikit hambatan. Ajaran Nabi Khongcu dijadikan sebagai salah satu agama yang diakui oleh Negara Indonesia. Agama Khonghucu dianggap layak sebagai agama, karena memiliki kitab suci (四书), nabi (Nabi Khongcu), percaya akan Tian (Tuhan Yang Maha Esa), sertamemiliki tata agama dan ibadah bagi pengikutnya (dimana kebaktian dilaksanakansetiap minggu di litang). Selain itu, sebagian besar orang China peranakan mempercayai ajaran Nabi Khongcu sebagai suatu agama. Mengenai masalah agama atau bukan, tergantung dari pemahaman masing-masing orang, ada yang memahaminya sebagai agama dan ada juga sebagai filsafat. Seperti penulis buku “The World Religions”, Huston Smith, yang memahami ajaran Nabi Khongcu sebagai agama, karena dia menganggap ajaran Nabi Khongcu tersebut ada unsur ke-Tuhanannya.
Pada tanggal 18 Juni 1946 di Yogyakarta, terdapat Penetapan Pemerintah tentang Hari Raya No. 2/OEM-46 yang ditandatangi oleh Presiden Republik Indonesia dan Menteri Agama pada waktu itu, yaitu hari wafat dan hari lahir Nabi Khongcu diakui sebagai hari besar umatnya.Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya agama Khonghucu di Indonesia,berdiri pula lembaga-lembaga agama Khonghucu, seperti rumah abu untuk menghormati arwah leluhur dan klenteng-klenteng (Miao). Klenteng Thian Ho Kiong di Makasar telah didirikan pada tahun 1688. Ban Hing Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819 beserta rumah abunya (Kong Tik Su) yang didirikan tahun 1839. Klenteng-klenteng yang tua di pulau Jawa terdapat di Semarang, Tuban dan sebagainya. Pada tahun 1729, di Jakarta telah berdiri Shu Yuan, semacam pesantren yang memberikan pendidikan tentang agama Khonghucu yang bernama Ming Cheng Shu Yuan, yang artinya Taman Kitab (Akademi) Pendidikan Menggemilangkan Iman. Selanjutnya, terdapat Kitab Hikayat Khonghucu yang disusun oleh Lie Kiem Hok diterbitkan pada tahun 1886 di Jakarta, serta kitab suci Da Xue (大学) dan Zhong Yong (Œ) terjemahan Tan Ging Tiong dan Yoe Tjai Siang diterbitkan di Sukabumi pada tahun 1900.[39]
Kemudian menjelang akhir abad ke XIX dan menjelang awal abad ke XX, orang China peranakan yang beragama Khonghucu mulai merasakan perlunya lembaga yang membina kehidupan agama Khonghucu secara lebih terorganisir. Oleh karena itu, mulailah berdiri organisasi-organisasi yang bernaung untuk mengurusi hal tersebut. Organisasi tersebut terus berkembang hingga saat ini, dikenal dengan sebutan
1. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).
a. Perkembangan Perhimpunan Agama Khonghucu Indonesia
1) Tiong Hoa Hwee Koan
Menjelang abad ke-20, ketika negara China sedang mengalami kegoncangan, terutama setelah tentara Manchu menderita kekalahan dalam perang China-Jepang pada tahun 1894. Kekalahan ini disebabkan karena kebobrokan mental dan politik yang telah melanda pemerintahan. Pada waktu itu munculah seorang pemimpin yang bertekad menegakkan kembali Bangsa China, yaitu Kang You Wei (‹有为) yanghidup pada tahun 1858-1927. Kang You Wei sejak kecil sudah hidup di lingkungan sarjana-sarjana Konfusianis. Ia memilih bentuk Reformasi untuk memperbaiki keadaan di China, dengan cara menjalankan dan menerapkan ajaran-ajaran Khonghucu dengan tepat. Semangat gerakan reformasi di China ini telah menyebar dan mempengaruhi daerah sekitarnya, khususnya kawasan Asia Tenggara. Kemudian berdirilah suatu perkumpulan Khonghucu di Singapura yang digunakan sebagai pusat oleh Kang You Wei ketika gerakannya mengalami kegagalan di China. Kehadiran Kang You Wei di Singapura ini membawa dampak yang sangat besar pada orang-orang China perantauan, baik itu di Singapura sendiri, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Hindia.[40]
Pada tanggal 1 Maret 1900 semua pimpinan peranakan China berkumpul di Batavia (sekarang Jakarta) untuk mendirikan sebuah organisasi yang disebut dengan Tiong Hoa Hwee Koan (中华会馆). Adapun tujuan utama dari didirikannya THHK ini adalah untuk memperbaharui adat istiadat China yang sudah keluar dari ajaran-ajaran yang telah dibawakan oleh Nabi Khongcu. Tujuan lainnya adalah untuk mempromosikan ajaran Khonghucu itu sendiri di kalangan masyarakat keturunan China yang sudah tidak bisa lagi berbahasa China. Untuk mewujudkan maksud dan tujuan tersebut, maka THHK mendirikan sekolah-sekolah guna memperlancar Bahasa China mereka yang didasarkan pada ajaran etika dari agama Khonghucu.[41]
Buku pertama tentang agama Khonghucu dalam Bahasa Melayu Betawi (Jakarta) ditulis oleh Lie Kim Hok dan diterbitkan pada tahun 1886 di Jakarta. Ia adalah salah satu pendiri THHK, yang mengenyam pendidikan Belanda di sekolah- sekolah misionaris Belanda di Jawa Barat. Kemudian pengetahuannya tentang budaya China, khususnya tentang budaya Khonghucu diperoleh melalui sumber-sumber berbahasa Belanda (Leo Suryadinata, 1988: 43). Hal ini dikarenakan ia tidak dapat membaca huruf China, dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekurangannya ini dapat memperkecil pengetahuan mengenai budaya China tersebut yang berasal dari sumber asli yang berbahasa China. Setelah diterbitkan buku karangan dari Lie Kim Hok tersebut, mulailah bermunculan beberapa buku dan mingguan lain tentang agama Khonghucu. Kemudian pada tahun 1900 dua orang China peranakan, yaitu Tan Ging Tiong dan Yoe Tjai Siang menerbitkan terjemahan kitab Da Xue (大学) dan kitab Zhong Yong (Œ) dalam Bahasa Melayu (Leo Suryadinata, 1988: 43).
Alasan mengapa perlu diterjemahkannya kitab Khonghucu tersebut ke dalamBahasa Melayu adalah orang China peranakan pada saat itu umumnya sudah tidakpaham lagi dengan Bahasa China. Orang China peranakan pada saat itu sudah berbaurdengan situasi dan budaya masyarakat setempat serta sedikitnya kesempatan untukmendapatkan pendidikan berbahasa pengantar China.Berdirinya organisasi THHK ini didasarkan pada ajaran Khonghucu danadapun salah satu tujuannya adalah untuk memperbaharui adat istiadat orang Chinaperanakan terutama di Pulau Jawa. Meskipun demikian, gerakan reformasi China diJawa ini sedikit mengalami hambatan. Hambatan ini terjadi terutama ketika merekaberhadapan dengan orang China totok yang tua yang lebih tertarik pada kepercayaankeagamaan tradisional dan menyembah berbagai dewa di klenteng daripada Nabi Khongcu. Selain itu, orang China peranakan seperti yang disebutkan diatas umumnya sudah tidak lagi paham akan Bahasa China. China totok adalah merujuk pada kalangan China kelahiran di China, tetapi menetap di Indonesia. Kalangan totok masih berbicara dalam dialek China. Keturunan dekat mereka, meskipun kelahiran Indonesia, dianggap totok jika bahasanya masih China.[42]
Ketika THHK didirikan, Lie Kim Hok berusaha mewujudkan keinginannya untuk membentuk sebuah organisasi yang dapat menyebarkan agama Khonghucu. Itulah sebabnya mengapa THHK kemudian didirikan atas dasar agama Khonghucu. Lie Kim Hok dikenal sebagai seorang jurnalis, pengarang dan penyair. Ia belajar agama Kristen pada seorang pendeta yang telah membuka sekolah misi Bahasa Sunda di Biutenzorg dan pada D.J. Van den Linden yang mengajar Bahasa Melayu di sekolah tersebut, dapat dikatakan pemahamannya tentang agama Kristen lebih menonjol. Meskipun demikian, Lie Kim Hok tidak menjadi seorang Kristen. Sebaliknya, ia bersama dengan teman-temannya mendirikan THHK.[43]
Ajaran-ajaran Khonghucu tidak hanya dimanfaatkan untuk memperkenalkan berbagai informasi tentang ajaran-ajaran Khonghucu tetapi juga untuk dijadikan suatu badan dari ilmu pengetahuan agama untuk orang-orang China peranakan di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, didirikanlah sekolah-sekolah dengan guru-guru terbaik untuk mengajarkan anak-anak China peranakan Bahasa China. Untuk memperoleh guru-guru yang memenuhi syarat dalam mengajarkan Bahasa China di sekolah-sekolah yang dikelola oleh THHK dibantu oleh Dr. Lim Boen Keng, penyelenggara dari pergerakan agama Khonghucu. Untuk mencapai tujuan sebaik mungkin, selain melalui pendidikan di sekolah-sekolah, sarana lain yang dipilih adalah berupa penerbitan majalah-majalah. Melalui media massa inilah ajaran Khonghucu disebarkan ke wilayah yang lebih luas. Adapun media massa yang dimaksud adalah: majalah mingguan Li Po (理报) tahun 1901 di Sukabumi, disusul oleh majalah Ik Po (益报) tahun 1903 di Surakarta, kemudian HoPo (和报) di Bogor dan Loen Boen (论文) tahun 1930 di Surabaya.[44]
Dalam perkembangannya, dunia pendidikan lebih mendapatkan perhatian dibandingkan yang lain. Kemudian THHK semakin disibukan dengan urusan pendidikan, sehingga di kemudian hari THHK nampak menonjol sebagai perkumpulan sosial yang mengurus bidang pendidikan.[45] Asosiasi THHK ini mulai menghilang atau lenyap setelah tahun 1965, hal ini disebabkan karena situasipolitik yang kurang mendukung.
2) Khong Kauw Hwee
Perkembangan THHK seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu lebih cenderung hanya menggeluti masalah pendidikan umum, hal-hal yang berkaitan dengan masalah agama Khonghucu mulai terabaikan. Oleh karena itu, seksi keagamaan dalam tubuh THHK berkembang dan memisahkan diri, selanjutnya mendirikan sebuah lembaga agama di Solo yang diberi nama Khong Kauw Hwee (孔教会) pada tahun 1918. Kemudian di banyak tempat mulai berdiri Khong Kauw Hwee, karena itu pada tahun 1923 diadakan Kongres di Yogyakarta dan dibentuk Khong Kauw Tjong Hwee (Kong Jiao Zong Hui atau Majelis Pusat Agama Khoghucu), serta menetapkan kota Bandung sebagai pusat lembaga tersebut. Khong Kauw Hwee memandang Khongcu sebagai seorang Nabi dan karya-karya klasik Khongcu dianggap sebagai kitab suci agama Khonghucu. Kendala yang sama dengan yang dialami oleh THHK, yaitu kebanyakan orang China peranakan sudah tidak dapat membaca Bahasa China lagi, maka dengan alasan yang sama Khong Kauw Hwee menerjemahkan karya klasik Khonghucu tersebut ke dalam Bahasa Melayu. Kitab-kitab yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu antara lain adalah kitab Da Xue (大学), kitab Zhong Yong (Œ) dan kitab Xiao Jing (孝经).[46]Terdapat ide pembaharuan dari Khong Kauw Hwee yang sejalan denganTHHK, yaitu memperbaharui adat istiadat orang China peranakan yang sudah jauhmenyimpang dari ajaran Khonghucu. Untuk mewujudkan ide pembaharuan ini,diharapkan orang China peranakan dapat memahami ajaran Khonghucu, baik itudengan bahasa aslinya maupun melalui bahasa terjemahan dalam Bahasa Melayu.
Sejak sepuluh tahun didirikannya Khong Kauw Hwee di Bandung, telah mengundang banyaknya jumlah orang China peranakan yang berpendidikan Barat untuk bersikap kritis terhadap ajaran Khonghucu, tetapi tidak dengan orang-orang tua peranakan. Dapat disimpulkan bahwa, tidak semua pihak setuju dengan ide pembaharuan dari Khong Kauw Hwee tersebut. Salah satu yang menentang adalah Kwee Hing Tjiat pada tahun 1926. Ia adalah seorang orang China peranakan nasionalis dan merupakan pemimpin redaksi surat kabar Sin Po. Sin Po adalah surat kabar harian yang diiterbitkan oleh kalangan China peranakan di Jakarta, yaitu tahun 1910-1959. Surat kabar ini memiliki pandangan nasionalis China dan merupakan aliran utama dalam politik China peranakan sebelumPerang Dunia II. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi Warta Bhakti tahun 1959 dan ditutup tahun 1965. Pada tahun 1923 ia diusir ke Tiongkok karena pandangannya yang bertolak belakang dengan pemerintahan kolonial. Meskipun demikian, ia tetap menulis artikel untuk surat-surat kabar di Hindia.[47]
Serangan yang dilakukan oleh Kwee Hing Tjiat sebenarnya hanya ditujukan kepada Khong Kauw Hwee dan bukan ajaran Khonghucu itu sendiri, beliau ingin merombak ajaran Khonghucu yang dianggapnya sudah menyimpang. Kwee Tek Hoay, seorang penulis peranakan yang terkemuka mengatakan bahwa Kwee Hing Tjiat hanya mengecam para pemimpin Khong Kauw Hwee yang salah mengkhotbahkan ajaran Khonghucu, yaitu terutama terhadap ajaran “bakti pada orangtua”. Khong Kauw Hwee berpandangan, jika orang-orang muda tidak ingin disebut sebagai anak yang “tak berbakti”, menjadi takut menentang pandangan orang tua, baik itu benar atau salah. Akibatnya, seluruh masyarakat China peranakan menjadi ketinggalan zaman.[48] Sejak tahun 1920-an dapat dikatakan Khong Kauw Hwee tidak dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan. Menurut Leo Suryadinata dalam bukunya yang berjudul “Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia” terdapat beberapa penyebab utama, yaitu: pertama, adanya ketidakcocokkan ajaran Khonghucu dengan nasionalis China. Hal ini dapat dilihat dari THHK yang awalnya dibentuk untuk mempromosikan ajaran Khonghucu, pada tahun 1928 kemudian mengesahkan sebuah anggaran dasar baru dimana dinyatakan bahwa tujuan himpunan itu adalah mempromosikan pendidikan nasionalis China. Kedua, Konfusianisme tidak dilembagakan, sehingga hampir tidak efektif dalam penyebaran injilnya.
Ketiga, Konfusianisme tidak benar-benar membantu memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial politik orang China peranakan Indonesia dan merugikan masyarakat penganut ajaran Khonghucu. Tidak mengherankan bahwa dari tahun 1928 sampai dengan 1954, tidak sedikit organisasi sosial ekonomi dan politik berkembang di Indonesia, diantaranya adalah Siang Hwee (Zhong Hua Shang Hui), Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), Chung Hwa Hui (Masyarakat Tionghoa), Partai Tionghoa Indonesia (PTI), Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan lain-lain. Namun demikian, dilakukan upaya oleh Khong Kauw Hwee di Indonesia untuk mempromosikan ajaran Khonghucu. Kemudian pada tahun 1955 di Jakarta didirikanlah sebuah federasi baru orang China peranakan penganut Khonghucu, yaitu Perserikatan Khong Kauw Tjong Hwee/ Perserikatan Kung Chiao Hui Indonesia (PKCHI).[49] Kemudian untuk memurnikan ajaran Khonghucu itu sendiri, dirumuskan cara bagaimana agar tata agama Khonghucu dapat seragam di seluruh Indonesia. Penyeragaman tata cara keagamaan Khonghucu ini terus direvisi, hingga keputusan akhir terjadi pada tahun 1975. Adapun garis besar dari penyeragamanan tata cara agama Khonghucu tersebut antara lain :
a)      Seluruh umat Khonghucu melangsungkan ibadah di tempat ibadah umat Khonghucu, yang disebut dengan Litang (礼堂),
b)      Pimpinan dalam upacara agama Khonghucu dibagi menjadi tiga, yaitu:•Haksu (学师), yang dapat menjadi seorang Haksu adalah seorang laki-laki yang sudah beristeri atau sudah berusia 30 tahun, mempunyai pengetahuan mendalam tentang agama Khonghucu atau berpengalaman menjabat sebagai guru agama (Bunsu) atau menjadi penebar agama (Kauwsing). Untuk seorang wanita terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari suami atau keluarganya, •Bunsu (文士), yang dapat menjadi seorang Bunsu atau guru agama adalah seorang laki-laki atau perempuan yang telah berusia 21 tahun, mempunyai pengetahuan luas tentang agama Khonghucu atau pernah mengikuti pendidikan agama Khonghucu,
c)      Kausing (教生), yang dapat menjadi seorang Kauwsing atau penyebar agama adalah seorang laki-laki atau perempuan yang telah berusia 13 tahun.
d)      Kitab Si Shu (四书) dan Wu Jing (五经) sebagai Alkitab agama Khonghucu,
e)      Setelah beribadat mengucapkan “Sian Cai” yang sebanding dengan “Amin”dalam agama Kristen.[50]
Kemudian melalui kegiatan kongres-kongres yang dilakukan, terjadilah pergantian nama dalam perkumpulan agama Khonghucu, dari Perserikatan Kung Chiao Hui Indonesia (PKCHI) menjadi Lembaga Agama Sang Khongcu Indonesia (LASKI) yang terjadi pada Kongres ke-IV di Solo. Selanjutnya pada tahun 1963, mengubah nama LASKI menjadi Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia (GAPAKSI). Kemudian pada tahun 1964, Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia diubah menjadi Perhimpunan Agama Khonghucu se-Indonesia dengan singkatan tetap GAPAKSI. Akhirnya, pada Kongres ke-VI tahun 1967 tercapai kesepakatan untuk menyempurnakan nama gabungan perhimpunan agama Khonghucu menjadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), yang hingga saat ini masih bertahan.
3)      Matakin
Sejarah mencatat bahwa MATAKIN (印尼孔教中央理事会) didirikan di Jakarta pada tanggal 16 April 1955, dengan nama Perserikatan Kung Chiao Hwee Indonesia (PKCHI). Meski kalau ditilik secara cermat, jauh sebelumnya sudah ada lembaga semacam ini, sedikit tidak berjalan lancar pada zaman Jepang. Pada tahun 1971, MATAKIN melaksanakan penerangan agama keluar pulau Jawa untuk membina umat agama Khonghucu yang ada di daerah-daerah lainnya di seluruh pelosok Nusantara, agar lebih aktif berpartisipasi dalam Pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia. Kemudian hasil dari penerangan agama keluar Jawa ini menghasilkan sesuatu yang cukup besar artinya, yaitu berturut-turut terbentuk Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) di daerah-daerah luar pulau Jawa (MATAKIN, 2005: 20). Usaha-usaha yang dilakukan oleh MATAKIN untuk mempertahankan dan menyebarkan ajaran Khonghucu tidaklah sedikit dan dalam memperjuangkannya tidak sedikit rintangan yang dihadapi. Salah satu contohnya adalah, pada tahun 1971, MATAKIN menyelenggarakan Kongres ke-VIII di Semarang. Salah satu keputusan penting dari kongres tersebut adalah suatu permohonan agar Pemerintah Republik  Indonesia mau memperlakukan agama Khonghucu sama seperti lima agama lain di Indonesia. Kemudian pada saat menyelenggarakan Kongres ke-IX pada tahun 1979, terjadi hal yang sangat memprihatinkan, mendadak ada intruksi dari penguasa di Jakarta agar acara kongres ditangguhkan.
Selain memperjuangkan status agama Khonghucu, MATAKIN juga memperjuangkan masalah pendidikan agama Khonghucu, salah satunya adalah dengan mendirikan Yayasan Pendidikan MATAKIN.[51] Dalam kepemimpinan MATAKIN, pertama kalinya dalam sejarah diadakannyaperayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2551 di Jakarta, pada tanggal 17 Februari 2000, yang dihadiri oleh Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, serta pejabat-pejabat penting pemerintah lainnya. Perjuangan yang dilakukan MATAKIN sangat banyak dan mereka tidak pernah putus asa didalam memperjuangkan hak-hak umat Khonghucu hingga saat ini. MATAKIN jugamerupakan suatu lembaga yang membantu pemerintah dan golongan-golongan masyarakat dalam memecahkan setiap prasangka-prasangka negatif mengenai agama Khonghucu.

BAB III
Sejarah Khonghucu di Kalimantan Selatan

A.     Gambaran Umum Kalimantan Selatan
Memang pada dasarnya sejarah Kallimantan sangat sukar dan sulit di dapat, berapa banyak karya tulis mengenai sejarah Nusantara akan tetapi sejarah Kalimanatan tidak terlalu mencuak ke permukaan tulisan tersebut, sejarah atau gambaran Kalimanatan sangat banyak di temukan dalam tulisan-tulisan bangsa Belanda (Bahasa belanda).[52] Akan tetapi kenyataan yang menjadi sebuah problem dalam konsep study sejarah terletak pada bahan bacaaan yang memuat tentang gambaran sejarah Banjar berada di Perpustakaan tertentu saja dan sayangnya lagi tidak ada cetakan ulang.[53]
Catatan sejarah yang di tulis dalam bahasa Belanda tersebut sangat sulit di lacak dan di pahamai di karenakan bahsa yang sangat asing di kalangan para pelajar, akan tetapi cukup banyak jjuga pakar-pakar bahasa yang berada di kalimantan yang mengerti dengan bahasa Belanda, akan tetapi eronisnya mereka tidak  terlalu suka dalam membuka tabir sejarah Kalimantan sendiri.[54] Walaupun sekarang ada ditemukan sebuah buku yang memuat catatakn gambaran sejarah Kalimantan dalam bahasa Melayau, namun, dalam kalangan akademik buku ini tidak terlalu di hiraukan di karenakan tidak di ketahui siapa sebearnya yang menulis buku tersebut.[55]
Asal nama dari Banjar, yaitu banjir, di karekan air laut meluap dan memenuhi darat sampai naik ke sungai barito dan anak sungai kuwin, balitung dan lainya. Hal itu menyebabkan air pasang, banjir melanda seluruh pulau halalak dan pulau tatar. Yang berarti semua perkampungan tenggelam di  rendam air pasang.
Semua air terasa payau karna genangan air laut agak lama, payau menjadi asin bagaikan air garam, pengaruh air laut ini membekas sekali hingga semua air di kawasan penduduk terasa masin (Banyu uyah). Desa yang tertua seperti alalak airnya masin terus-menerus. Demikian juga air setiap kali musim pasang maka selalu ada air puyau.
Terjadilah suara penduduk secara serentrak setidaknya secara bergiliran mengucapkan “banjir masin”, ucapan demikian menjadikan kesenghajaan, sifat air ini kemudian dikaitkan oleh penduduk dengan suburnya tanaman yang berada di pinggir sungai bariro karena keadaannya tumbuhnya bagai diatur, berbanjar-banjar memang pada jamannya terlihat pohon rambai palombang, pohon lua, bagaikan baris-berbaris sepanjang sungai barito dan begitu juaga tanaman-tanaman seepanjang anak sungai kuin hantasan dan yang lainya. Pengaruh bahasapun akhirnya jadi dalam bahasa pergaulan makan terjadilah nama lingkungan tanah dan ucapan Banjarmasin semula di tulis dengan Banjar Masin.[56]
Kalimantan Selatan adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.[57] Hal ini dapat dibuktikan dengan catatan bahwa penduduk yang beragama Islam di Kalimantan Selatan berjumlah 2.866.573 jiwa,  setelahnya ada Kristen Protestan 29.380 jiwa, Katholik 14.146 jiwa, Hindu 13.555 jiwa, serta pemeluk agama ataupun kepercayaan lain berjumlah 10.060 jiwa,[58] hal ini jua dapat dibuktikan dengan adanya pembangunan masjid yang sangat banyak tercatat ada 2.107 (dua ribu seratus tujuh) Masjid,[59] 463 (Empat ratus enam puluh tiga)  Musholla  dan 6.302 (Enam ribu tiga ratus dua) Langgar.[60] Masyaraat Kalimantan Selatan atau juga yang disebut dnegan Suku Banjar[61] yang terkenal dengan dalamnya pandangan dnegan agama, hal ini dapat dilihat dari sejarah Kalimantan Selatan sendiri yang selalu melahirkan tokoh-yokoh agama yang sangat di hormati dan di taati dan menjadi pedoman bagi masayarakat Kaliman Selatan, salah satunya adalah KH. Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul)[62]
Bukti jumlah penduduk dan bukti jumalah banyaknya tempat ibadah islam yang ada di kaliman Selatan dapat di tarik menjadi sebuah pernyataan bahwa semua orang Banjar adalah Islam.[63] Memang pada sejarahnya sebelum masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan terlebih dahulu masuk agama-agama lainnya, seperti agama Hindu, Budha dan juga agama suku, seperti suku Dayak dengan berkeyakinan terhadap Kaharingan.[64]
B.     Sejarah Masuknya Masyarakat Tionghoa ke Kalimantan Selatan
Sejarah Mencatat bahwa orang Tionghoa sudah datang ke Kalimantan Selatan pada abad ke-14 (Hikayat Banjar). Kronik Cina Sejarah Dinasti Ming, mencatat kunjungan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Sultan Hidayatullah (Raja Banjar muslim ke-3). Di Banjarmasin, suku Tionghoa menempati suatu kawasan yang disebut 'Pacinan' (Chinezen Camp). Sedangkan istilah Orang Tionghoa Parit tidak pernah digunakan sebelumnya dan merupakan istilah yang tidak dikenal sebagai suatu kelompok etnik di Kalimantan Selatan. Penamaan Orang Cina sudah lazim digunakan di Kalimantan pada umumnya dan bukanlah sesuatu yang dimaksudkan sebagai penghinaan, tetapi semata-mata merupakan penamaan etnik yang sudah digunakan sejak lama di daerah ini. Keberadaan komunitas Orang Cina Parit sekaligus dapat mewakili keberadaan suku Tionghoa secara keseluruhan yang ada di Kalimantan Selatan pada umumnya. Pada pencatatan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda tahun 1895, jumlah suku Tionghoa yang terdapat di Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo (Kalsel-Kalteng-Kaltim-Kaltara) seluruhnya berjumlah 4.525 jiwa (laki-laki 2.829). Jadi sejak dahulu jumlah populasi di ke-4 provinsi tersebut relatif sedikit dibanding dengan daerah lainnya di Borneo yaitu Kalbar, Sarawak dan Sabah yang jumlah suku Tionghoanya mencapai 40% dari populasi penduduk daerah-daerah tersebut. Di Kalteng, Kalsel dan Kaltim (beserta Kaltara), suku Tionghoa tidak termasuk ke dalam delapan etnik terbesar menurut sensus tahun 2000 pada masing-masing provinsi tersebut.[65]
a.       Masuknya pedagang Tinghoa
Dalam sebuah catatan Kronik Cina Buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan tetang keberadaan Kesultanan Banjar pada masa Sultan Hidayatullah I (raja Banjar muslim ke-3) yang menunjukkan kunjungan pedagang Cina sekurang-kurangnya sudah terjadi pada masa raja tersebut. Pedagang-pedagang Cina mendatangi negeri Banjar untuk keperluan memperoleh lada pada pertengahan pertama abad ke-17, setelah diusir oleh saingan mereka Belanda dan Inggris. Ketika itu mereka diberitahu tentang kemungkinan melakukan perdagangan lada di negeri Banjar oleh orang-orang Portugis di Macao. Mereka kemudian datang dengan jung-jung mereka, setiap tahun secara teratur datang sebanyak empat sampai tigabelas buah dari pelabuhan Amoy, Kanton, Ningpo, dan Macao. Para nakhoda disambut dengan senang di Kayu Tangi (Martapura) dan Tatas (Banjarmasin) oleh orang-orang Banjar, karena mereka membawa sejumlah barang kesukaan penduduk setempat. Berbagai macam barang terdiri dari sutera kasar dan halus, teh, kamper, garam, perkakas tembaga, barang-barang porselen dan lain sebagainya yang dapat ditukar dengan lada, emas, sarang burung dan lain-lain barang hasil daerah Banjar. Kedatangan mereka yang secara terus menerus membawa negeri Banjar masuk dalam lingkaran persinggahan para pedagang dari berbagai negara seperti Arab, Gujarat, disamping dari daerah-daerah tetangga seperti Jawa, Madura, Sulawesi, Lombok, Bali dan Sumbawa. Mereka berkumpul untuk saling mengadakan transaksi, namun komoditas dari negeri Cina sangat menonjol peranannya.[66]
Pada permulaan abad ke-18, perdagangan jung menjadi begitu penting, bahwa sungai Barito dikenal pula dengan sungai Cina, sebab dipenuhi oleh jung-jung dari Cina.[3][4] Demikianlah musim dari penawaran lada di Banjar adalah pada permulaan Oktober sampai Maret pada setiap tahunnya, jung-jung itu tidak seperti umumnya pedagang-pedagang yang lain, mereka tiba pada akhir bulan Februari. Menurut perhitungan bahwa kedatangan mereka yang terlambat berarti hanya akan mendapat sisa-sisa dari lada yang tidak terjual. Namun ternyata pepatah yang datang pertama, dilayani pertama tidak berlaku di lingkungan orang-orang Banjar. Adalah hal biasa bagi orang-orang Banjar untuk menyimpan sebagian besar persediaan ladanya untuk para pedagang jung. Mereka tidak hanya tertarik oleh barang dagangan Cina, tetapi juga oleh harga yang lebih tinggi yang ditawarkan. Namun karena barangnya diminati penduduk setempat maka akan lebih mudah dan lebih banyak memperoleh lada.[67]
b.      Perang Inggris dan Banjar
Sesudah kekalahan orang-orang Banjar dalam perang-perang Inggris-Banjar pada Oktober 1701, orang-orang Cina kehilangan tempat dan hak mereka dalam pasar lada. Karena sebagian besar tindakan raja Banjar diatur oleh Inggris sebagai pemenang perang, maka diperintahkanlah semua rakyatnya untuk menjual ladanya kepada orang-orang di bawah pengawasan Inggris, yang mendirikan tempat penjagaan yang terletak di muara sungai Barito. Dengan semakin berkurangnya jung yang mengunjungi Banjar membuat khawatir pada penguasa Inggris di sana. Untuk itulah maka kemudian mereka mengadakan perundingan dengan orang-orang Cina, yang pada intinya orang-orang Cina dijamin kemudahannya untuk berdagang dengan Banjar. Maka perdagangan barang dari berbagai negara di pelabuhan itu kembali ramai. Pada tahun 1702 London mengatakan bahwa lebih mudah untuk mendapatkan barang-barang Cina di Banjar dari pada di Tiongkok. Di pelabuhan ini calon pembeli dapat melihat terlebih dahulu barang yang akan dibeli, baru setelah kecocokan transaksi dilakukan. Hal ini mustahil dilakukan di Tiongkok. Disamping orang-orang Cina menjual barangnya mereka juga banyak membeli barang-barang yang ditawarkan pedagang Inggris, seperti kain India, tembaga dan sebagainya.[68]
Sebelum pendirian permukiman Inggris di Banjar, pedagang-pedagang jung memperoleh barang-barang dari wilayah barat itu dari para pedagang Belanda di Batavia. Hubungan komersial antara Inggris dan pedagang-pedagang jung di Banjar berakhir sesudah pengusiran orang-orang Inggris oleh orang-orang Banjar dalam perang Inggris-Banjar yang kedua tahun 1707. Pasca Perang Inggris-Banjar II tahun 1707, orang-orang Cina dapat bebas kembali untuk mengadakan transaksi dengan para pedagang lada Banjar dan Biaju. Jumlah orang-orang Cina yang berkumpul di daerah Kesultanan Banjar makin hari makin besar. Mereka terdiri dari 2 golongan yakni pedagang-pedagang jung dan pedagang-pedagang menetap. Pedagang-pedagang jung hanya tinggal sementara di Tatas atau di tempat lain di daerah Banjar. Setelah selesai dengan aktivitas perdagangannya termasuk mengisi perbekalan kapalnya, mereka akan kembali berlayar ke Kanton, Amoy atau pelabuhan lainnya di Tiongkok, baru kembali ke Banjar pada musim berikutnya. Sedang pedagang menetap, mulanya mereka juga seperti pedagang jung yang hanya tinggal sementara di Banjar, namun karena melihat kemungkinan untuk menjadikan Banjar sebagai rumah mereka yang kedua, maka kemudian mereka tinggal dan menetap. Beberapa di antara mereka membuat toko di kota atau pelabuhan, menjadi pedagang perantara antara pedagang jung dan pedagang Banjar.
Pada tahun berikutnya terdapat sekitar 80 keluarga di Tatas (Banjarmasin) dan Kayu Tangi (Martapura) sebelum tahun 1708, jumlah mereka terus bertambah menjadi sekitar 200 keluarga sesudah periode itu. Secara berangsur-angsur beberapa di antara mereka dapat berkomunikasi dengan penduduk setempat dalam bahasa setempat. Mereka dengan mudah dapat berintegrasi, sehingga kemudian dapat bergerak bebas dimana mereka suka. Bahkan pimpinan mereka di Banjar, kapten Lim Kom Ko, sering diutus oleh para penguasa kerajaan Banjar (Sultan Suria Alam) untuk ikut mewakili dalam perundingan-perundingan dengan orang-orang Eropa pada tahun 1708.[69]
c.       Sejarah Letnan Cina yang ada di Kalimantan Selatan
1)      Distrik Pelaihari
Sejak tahun 1817, Orang Cina Parit[70] yang tinggal di Distrik Pleihari, Afdeeling Martapoera dipimpin Gho Hiap Seng.
2)      Distrik Martapura
Sedangkan untuk Distrik Martapura, Afdeeling Martapura sejak tahun 1898, suku Tionghoa dikepalai oleh Letnan Cina yaitu Oey Taij Poen.
3)      Banjarmasin
Sedangkan suku Tionghoa yang tinggal di Banjarmasin:
a)       Tahun 1898 dikepalai oleh Luitenans der Chinezen (letnan-letnan China) yaitu The Sin Yoe dan Ang Lim Thay.
b)       Tahun 1904 : Kapten Thio Soen Yang.
c)       Tahun 1912 Luitenans der Chinezen (letnan-letnan China) Tjoe Eng Hoei dan Oe Eng An.[71]
C.     Sejarah berdirinya tempat ibadah agama Khonghucu di Kalimantan Selatan.
Secara umum jumlah  populasi jumlah penduduk China di yang menganut paham Khonnghucu tidak diketahui dengan  pasti, data keberagamaan Kalimatan Selatan hanya mencatat 10.060 jiwa[72] yang tidak Kristen, katolik, hindu, budha dan Islam, tidak bisa dipastikan dengan jelas apakah jumlah tersebut adalah jumlah penganut Khonghucu atau tidak.
Di Kalimantan Selatan sendiri hanya ada tiga jumlah Klenteng yang merupakan tempat ibadah orang-orang Khonghucu tradisi, pertama, Po An Kiong yang berada di Jalan Niaga no. 45 Banjarmasin, kedua,
a.    Sejarah berdirinya Kelenteng Po An Kiong.
Po An Kiong di dirikan sekitar tahun 1314, pada mulanya kelenteng ini berada di belakang pasar “harum manis”. Setalah terjadi kebakaran besar pada pasar hingga merambat ke Kelenteng pada terjadilah perpindahan tempat, tidak tahu pasti kapan kebakaran tersebut. Setelah hasil musyawarah pada masyarakat Tionghoa yang ada di Banjarmasin maka sepakatlah dibangun kembali sebuah Kelenteng pada tahun 1914 yang sekarang berada di Jalan Niaga No. 45 diberi nama dengan Po An Kiong atau masyarakat banjar sering menyebutnya dnegan Kelenteng pasar Balauran.[73]
Masyarakat Tionghoa sangat meyakini kemukjizatan Kelenteng ini, hal ini dikarenakan pada tahun 1942 dijtuhkannya bom dari tentara sekutu yang diperkirakan adalah tentara Autralia, mereka menjatuhkan bos tepat di Kelenteng ini hingga menghancurkan bagian atap dan meja altar[74] namun, bom yang dijatuhkan tersebut tidak meladak, hal ini diyakini oleh masyarakat Tionghoa sebagai kasih para Dewa yang menyelamatkan Kelenteng tersebut.[75]
b.    Sejarah berdirinya Klenteng Soetji Nurani.
Klenteng Soetji Nurani berada di Jalan Veteran yang dulunya dikatakan sebagai kampong China atau pecinan. Klenteng ini tepat berada berseberangan dengan masjid raya Banjarmasin yaitu Sabilal Muhatadin. Klenteng ini didirikan pada tahun 1898 pada masa penjajahan di Kalimantan Selatan.[76]
Sehubungan dengan banyaknya tentara penjajah yang berasal dari China maka dua orang dua orang Kapiten yang menjadi kunci kota Banjarmasin, dua orang tersebut adalah: The Sinyoe dan Anglim Thay. Dengan lobinya dnegan para penguasa Kalimantan saat itu yaitu para penjajah maka dua orang ini mendapat persetujuan untuk mendirikan tempat ibadah orang-orang China saat itu yang sangat banyak berada di Pacinan.[77]
Pada tahun 1898 didirikanlah tempat ibadah suku China yang diberi nama dengan Soetji Nurani tepat di jalan Veteran atau pacinan Laut Kelurahan Kampung gadang. Klenteng ini menjadi saksi bisu perkembangan agama khonghucu di Kalimantan selatan dan sekarang sudah menjadi situs sejarah dan tempat parawisata di Kota Banjarmasin.

c.    Sejarah berdirinya Klenteng An Hwa Tian
Klenteng An Hwa Tian (Tepekong), adalah tempat ibadah warga Tionghoa di Kotabaru Kalimantan Selatan, berada di Jln.Sisingamangaraja Pulau Laut Utara. Klenteng ini berdiri sejak tahun 1895 dan merupakan satu-satunya di daerah ini. Kelenteng An Hwa Tian adalah salah satu bangunan tertua di Kotabaru, dan bermula dari bangunan berbahan kayu namun seiring berkembangnya zaman klenteng ini pun direnovasi berbahan semenisasi, dengan arsitektur yang sangat indah hingga memukau pandangan mata, tak jarang warga Saijaan menjadikan objek photo.
Bangunan klenteng ini memiliki warna merah mencolok seperti klenteng kebanyakan. Sedangkan lukisan serta tekstur di kelenteng An Hwa Tian ini di ambil dari China kuno, dengan gambar naga yang melambangkan binatang yang baik hati, sangat perkasa dan penguasa udara. Dan banyaknya lilin di dalam kelenteng baik ukuran kecil sampai yang besar yang selalu dinyalakan khususnya pada perayaan imlek, dipercaya nantinya sepanjang tahun rezeki selalu terang.[78]

BAB IV
Kesimpulan
            Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:  agama Khonghucu adalah sbeuah ajaran yang dibawa oleh Khongcu, Khongcu sendiri lahir pada tahun 551 SM di sebuah Negara yang bernama Lu di perdesaan Chang Ping dan pada usia ke tujuh puluh tiga (73) tahun tepat pada 479 SM Khongcu meninggal dunia dan jasadnya di makamkan di sebuah kota yang bernama Qu Fu yang tepat di Provinsi Shandong dengan didirikannya sebuah Kuil yang bertujuan untuk mengenang Khongcu.
Agama Khonghucu mempunyai dua kitab suci utama yaitu Wu Ching atau Ngo King (kitab yang lima) dan Su Si (kitab yang empat) selain dua kitab tersebut ada llagi satu kitab yang juga diiyakini kesuciannya yaitu kitab Bakhti. Kitab Wu Ching atau Ngo King yang sekarang berisi lima bab, padahal dulu kitab ini berisi dengan enam bab, karena ada satu bab yang hilang yaitu Yueh Chi (music). Setelah wafatnya Khongcu maka ajarannya pun dilanjutkan oleh Bu Shang (Zi Xia) dia bertugas mengajarkan ajaran Khongcu ke Kerajaan  Adipati Wei yang dibantu oleh rekannya yang bernama Zeng Zi beserta Zi You, hal ini terus berlanjut, setelah Zeng Zi meninggal dunia ajaran Khongcu di lanjutkan kembali oleh murid Zeng Zi yang bernama Zi Si dan tersu berlanjut hingga kepada Mencius.
Agama Khonghucu masuk ke berbagai Negara khusunya ke Indonesia pada abad ke-3 Masehi pada masa Sam Kok, Pada saat itu orang-orang perantauan China datang ke kepulauan Nusantara ini secara individual sebagai pedagang, petani atau nelayan tanpa membuat komunitas sendiri, melainkan beradaptasi dengan masyarakat dan budaya setempat. Penyebaran agama Khonghucu tersebut lebih meluas ke Semenanjung Malaka dan kepulauan Nusantara, seperti di kota Banten, Sriwijaya, Cirebon, Demak, Tuban, Makasar, Ternate dan Kalimantan Barat dan juga tidak lupa di Kalimantan Selatan walaupun populasinya lebih sedikit jika di bandingkan dengan Kalimantan Barat.
Di Kalimantan Selatan khususya masuknya agama Khonghucu tentu sangat erat kaitannya dengan masuknya orang-orang China pada abad ke-14 (Hikayat Banjar). Kronik Cina Sejarah Dinasti Ming, mencatat kunjungan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Sultan Hidayatullah (Raja Banjar muslim ke-3). Di Banjarmasin, suku Tionghoa menempati suatu kawasan yang disebut 'Pacinan' (Chinezen Camp).
Ada beberapa teori yang menyatakan proses masuknya Khonghucu ke Kalimantan Selatan, pertama, dari sistem perdagangan, kedua, dari sistem penjajahan. Dari keduanya ini dapat ditarik sebuah bukti bersejarah penting yang merupakan tanda besarnya masyarakat Tinghoa di Kalimantan Selatan yaitu Klenteng. Di Kalimantan Selatan hanya da tiga Klenteng dua di Banjarmasin dan satu di Kota Baru, pertama, Po An Kiong di dirikan sekitar tahun 1314 yang berada di Jalan Niaga no.45. kedua, Klenteng Soetji Nurani berada di Jalan Veteran yang dulunya dikatakan sebagai kampong China atau pecinan. Klenteng ini tepat berada berseberangan dengan masjid raya Banjarmasin yaitu Sabilal Muhatadin. Klenteng ini didirikan pada tahun 1898. Ketiga, Klenteng An Hwa Tian (Tepekong), adalah tempat ibadah warga Tionghoa di Kotabaru Kalimantan Selatan, berada di Jalan Sisingamangaraja Pulau Laut Utara. Klenteng ini berdiri sejak tahun 1895.






[1] Untuk lebih jelas mengenai permasalahan perbedaan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, mari kita tengok beberapa cuplikan ayat Al-qur’an yang menyinggung pada kasus ini. Lihat: QS, 3: 164. QS, 4: 165. QS, 7: 52. QS, 7: 179. QS, 13: 37. QS, 17: 15. QS, 17: 70. QS, 25: 41-42. QS, 64: 2-3. QS, 95: 4-6. QS, 98: 6-8. Kesemua ayat inilah manusia di tuding sebagai makhluk yang mempunyai beban dasar sebagai makhluk yang sempurna yang mampu memeikirkan baik dan buruk, sekarang dan masa depan, dari ayat-ayat di atas pulalah manusa di jelsakan bahwa kecerdasan yang manusia  miliki itu adalah butuh kinerja yang maksimal, bukan hanya menunngu hidayah dari Tuhan tapi juga harus berusaha mencari ilmu. Lihat: M. Brar Harun, sistematika Al-Qur’an dan Penjelasannya, (Banjarmasin: PT. Garfika Wangi Kalimantan, 2007), hlm. 10-15.
[2] Agama dalam bahasa Sanskrit, dalam abjat hurupnya ‘A’ maka di artikan dengan tidak sedagkan pada gama di artikan dengan pergi (tidak pergi) atau dapat juga diartikan dengan hal yang tidak pergi dari kehidupan yang diwarisi oleh turun-temurun oleh manusia. Lihat:  Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), hlm. 9. Lihat juga: Dedy Supriyadi, Mustofa Hasan, Filsafat Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 10. Kemudian pengertian kata agama ini sedikit berbeda jika di tinjau dalam bahasa Sansekerta di mulai dari huruf A di artikan dengan tidak  dan di lanjutkan dnegan kalimat gama yang berarti kacau di gabungkan muncullah defenisi kahir yaitu tidak kacau, agama adalah peraruran yangmengatur manusia agar tidak mengalami kekacaun yang menggelincir dari hatii nurani manusia sendiri. Lihat: Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN-MALIKI Press, 2010), hlm. 2. Bahran Noor Haira mengetakan bahwa Peraturan yang ada dalam agama khususnya Islam satupun ajarannya tidak ada yang bertentangan dengan hati nurani. Agama teerbagi kepada tiiga kategori, Agama Samawy, Agama yang menyerupai Shuhuf, agama ciptaan manusia, jika agama di pandang dari sudut sesembahan maka terbagi dua; bertuhan Rohani dan bertuhan materi. Lebih jelas lihat: H.M. As’ad El Hafidy, Aliran-Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), h. 87-88.
[3]Salah satu sekte dalam agama Islam yang mencari ketenangan dan kebhagiaan yang dengan pemikirannya yang santai demi sosiologis adalah Murji’ah, murjiah adalah sekte yang mengetengahi antara Khawarij dan Syi’ah. Kehadiran Murjiah memberikan ketenangan dan kebahagiaan dari dua kubu yang berdu kekerasan. Untuk lebih jelsa silahkan lihat: Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, (Libanon, Daru-al-fakr, 1997), h. 112. Dan: H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam  dalam Sejarah pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2010), h. 58. Dan: H.M. Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 159. Lihat juga: Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, ( Bandung: Cv. Pustaka Setia.2012), h. 56. Dan: tgk. H.Z.A. Syihab, Aqidah Ahlu-al-Sunnah Versi Salaf, Khalaf, dan Versi Asy’Ariyyah di antara keduanya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 71.
[4]Budisutrisna, Filsafat Kebudayaan Confusius, (Yogyakarta: Kepel Press, 2009), h. 8.
[5]http/.kompas.com, terhitung 31 Desember 2010: diakses, Senin 19 Sepetember 2011/10:59 Wib.
[6] Lihat: UU No. 1/Pn.Ps/1965.
[7] M. Nahar Nahrawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 7. Lihat juga  Tap Preseden No.1 tahun 1965 bahwa indonesia mencatat nama agama yang di dirikan oleh Confucius atau Khongcu dengan nama Khonghucu bukan Conficiunisme.
[8] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: raja Grafoindo Persada, 2006), 316.
[9] Budisutrisna, Filsafat Kebudayaan Confusius, . . .  h. 8.
[10] Sami bin ‘Abdullah al-Maghlouth, Atlas al-Adyan, Terj. Oleh Fuad Syaifuddin Nur dan Aahmad Ginanjar Sya’ban, Atlas Agama-Agama, (Jakarta: Al-Mahira, 2012), h. 523. Lihat juga:  Huston Smith, Agama-Agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 188.
[11] Joesoef Soeyb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 59.
[12] Bahri Ghazali, Studi Agama-Agama Dunia Bagian Agama don Semitik, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 60-61.
[13] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama Bag I, (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran Kepercayaan Agama Hindu, Budha, Khong Hu Cu di Indonesia), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 247.
[14] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama Bag I, (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran Kepercayaan Agama Hindu, Budha, Khong Hu Cu di Indonesia), . . . h. 247.
[15] Andri Wang, The Wisdom Of Confucius, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. XiX.
[16] Andri Wang, The Wisdom Of Confucius, . . . h. XX
[17] Huston Smith, Agama-Agama Manusia, . . . h. 188.
[18] Huston Smith, Agama-Agama Manusia, . . . h. 190-191.
[19] Badingkan dengan tulisan Huston Smith yang mengatakan bahwa murid-murid Confucius adalah:  Ming Tzu dia adalah seorang murid yang mempunyai sifat kekuatan pengendali diri yang sangat baik, Tzu Lu dia mempunyai semnagt yang begitu besar untuk belajar dan untuk mengajarkan kembali ilmu-ilmu yang dia dapat,  Jan Chi’u dan Tzu Kung keduanya adalah orang sangat jujur dan juga sangat pemberani. Lihat: Huston Smith, Agama-Agama Manusia, . . . h. 1991.
[20] Konkrad Kebung, Filsafat Berpikir Orang Timur (India, Cina dan Indonesia), (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2011), h. 159.
[21] Andri Wang, The Wisdom Of Confucius, . . . h. 245-250.
[22] Sami bin ‘Abdullah al-Maghlouth, Atlas al-Adyan, . . . h. 528.
[23] Konkrad Kebung, Filsafat Berpikir Orang Timur, . . . h. 158.
[24]M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h. 39.
[25]Yang dimasksut sejarah adalah: Memuat peristiwa-peristiwa sejarah dalam agama Khinghucu sekitar abad ke-23 SM yang dinyatakan sebagai zaman tertua. Kemudian apda abad ke-7 SM adalah zaman termuda bagi lahirnya kitab sejarah tersebut. Kitab ini berasal pada masa pemerintahan Zhou.
[26]Di dalamnya terdapat Sajak-sajak atau syair-syair kuno dari berbagai kerajaan. Terdapat lima sajak pada pemerintahan Sang dan pada masa pemerintahan Cho terdapat sebelas sajak beserta sajak-sajak yang tersisa. Inti dari sajak-sajak itu adalah mengatur manusia agar tidak melangkar kehendak hati nuranai.
[27]Isinya menjelaskan tentang perubahan dan kejadian alam semesta serta membahas segala peristiwa tentang kejadian manusia. Tulisan dasarnya berasal; dari Nabi Ki Ching dan Cui Kong yang hidup sekitar abad ke-12 SM, sedangkan penjelasannya berasal dari Nabi Khongcu.
[28]Berisikan kitab aturan-aturan upacara, dan di dalamnya ada tiga bab yakni, Berisikan kitab aturan-aturan upacara, dan di dalamnya ada tiga bab yakni, Lee Ki (catatan kesusilaan yang berasal dari murid Khongcu,  Gi Lee (tata cara peribadatan) yang terakhir Cui Lee (kitab kesusilaan dinasti Ciu).
[29]Kitab ini adalah kitab yang ditulis langsung oleh Khongcu yang menggembarkan peristiwa-peristiwa penting di Negara Lu, di dalamnya ada tiga penjelasan: Chun Chiu Coo Thoan, Chun Chiu Kong-Yang, Chun Chiu Kok-Liang Thoan.
[30] Kitab Thai-Hak merupakan tulisan dari para murid Khingcuu yang berrnama Ching Cu, kitab ini berisikan tuntunan kehidupan, mulai dari rung lingkup kecil seperti keluarga hingga lingkungan luas seperti Negara
[31] Kitab ini ditulis oleh cucu Khongcu yangbernama Cu So kitab ini berisi keimanan pada Tuhan yang maha Esa.
[32]Kitab ini merupakan petuah Kongcu bagi muridnya kitab ini terdiri dari dua [uluh jilid yang didapat dari hasil kumpulan-kumpulan murid Khingcu, kitab ini disusun oleh You Zi dan Zheng Zi pada akhoir musim semi dan gugur (770-476) SM
[33]Lasio, Konfusianisme di Indonesia Pergulatan Mencari Jati Diri, (Yogyakarta: Interfidei, 1995), h. 3. Kitab ini berisi mengenai erjuangan MEcius dalam mempertahankan agama Khingcu ditengah-tengah munculnya penyimpangan terhadap agama.
[34]Lasio, Konfusianisme di Indonesia Pergulatan Mencari Jati Diri, . . . h. 55.
[35] Semua yang bersangkutan dengan ini di sadur dari Skripsi. (sejarah masuknya agama Khonghucu di Indonesia.
[36]Tjhie Tjai Ing, Konfusianisme di Indonesia Pergulatan Mencari Jati Diri, 1995, h. 41 dan Nahar Nahrawi, 2003, h. 19.
[37]Hariyono, 1993: 19 dan Tjhie Tjai Ing dalam: Pergulatan Mencari Jati Diri, 1995: 42
[38]Nahar Nahrawi,  . . . h. 19.
[39]Tjhie Tjai Ing, Pergulatan Mencari Jati Diri, . . . h. 42.
[40]Leo Suryadinata, . . . h. 40.
[41]M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia,  . . . 91-92).
[42]M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia,  . . . 94).
[43]M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia,  . . . 95-96).
[44]Leo Suryadinata, . . . h. 43.
[45]Leo Suryadinata, . . . h. 55.
[46] Leo Suryadinata, . . . h. 55.
[47] Leo Suryadinata, . . . h. 56.
[48]Leo Suryadinata, . . . h. 58. dan Leo Suryadinata, . . . h.  107.
[49]Leo Suryadinata, . . . h. 65.
[50] Leo Suryadinata, . . . h. 65-67.  dan Ikhsan Tanggok, . . . h. 102-103.
[51]MATAKIN, . . . h. 21-26.
[52]Ahmad Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan: Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan,  (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986), h. 1.
[53]Ahmad Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan: . . .  h. 1.
[54]Ahmad Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan: . . .  h. 2.
[55]Buku tersebut berjudulka; “Tutur Candi” hanya di tulis dalam satu jilid saja,. Lihat: Ahmad Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan: . . .  h. 2.
[56]Artum Artha, Asal-usul kota dan desa di kalimantan selatan, (Hasanu: Bankjarmasin, 1984),. hal. 1-4.
[57]Alfani Daud, Islam & Masyarakat Banjar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 5.
[58]Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, Urang  Banjar dan Kebudayaannya, (Banjarmasin: Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2005), hal.8
[59]Mesjid yang di bangun pertama kali adalah Mesjid Sultan Suriansyah yang sekarang terletak di Kuin, meskipun sudah mengalami perbaikan akan tetapi empat tiangnya yang sudah lama itu masih tetap utuh dan dapat dipakai. Lebih jelas silahkan  lihat: Ahmad Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan: Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan,  (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986), h. 5
[60]Data didapat dari Kanwil Depag Kal-Sel tahun 2000-2001.
[61]Suku Banjar adalah suku terbesar ke 10  (Sepuluh)  di Indonesia dengan populasi hampir tiga setengah juta orang, berdasarkan  data statistik  suku Banjar adalah suku paling Banyak di kalimantan Selatan kurang lebih 2.251.913 jiwa, Jawa : 389.590 jiwa , Bakumpai : 20.609 jiwa, Sunda : 18.448 jiwa, Dayak : 98.332 jiwa  dan yang Lainnya : 36.412. data diperooleh dari BPS Kalimantan Selatan, 2000-2001. Walaupun banyak juga yang berasal dari tranmigrasi, namun mereka di catat juga sebagai ppenduduk asli Kalimantan Selatan. Untuk lebih jelas lihat: Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam, (Yogykarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 386-388.
[62] Tim Sahabat, 27 Ulama  Kalimantan Selatan, (Kalimantan Selatan: Sahabat, 2010), h. 1.
[63] Alfani Daud, Islam & Masyarakat Banjar, . . . h. 5.
[64] Suku Dayak adalah suku asli Kaliman yang biasa dikenal keberadaan hidupnya di hutan atau di pedalaman-pedalaman yang meyakini akan Kaharingan, kaharingan sendiri adalah nama dari agama yang mereka Yakini yang khusus bagi suku dayak saja, yang bisa digolongkan dalam stdy agama bahwa pemahaman kaharingan mencakup Dinamisme dan Animisme
[65]http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Cina_Parit. di akses pada tanggal 1 April 2014.
[66]Tiono, wawancara pribadi pada 12 Februari 2014.
[67]http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Cina_Parit. di akses pada tanggal 1 April 2014.
[68]Tiono, wawancara pribadi pada 12 Februari 2014.. liha juga: http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Cina_Parit. di akses pada tanggal 1 April 2014.
[69]http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Cina_Parit. di akses pada tanggal 1 April 2014.
[70]Orang Cina Parit adalah suatu komunitas suku Tionghoa-Indonesia yang mendiami daerah sungai Parit di Pelaihari, Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Sebutan Cina Parit ini juga biasa ditujukan kepada pekerja imigran penambangan timah yang datang ke pulau Bangka dan Belitung. Penamaan orang Cina Parit (Chinese Parit) dipakai secara resmi sebagai salah satu kelompok etnik yang mendiami Kalimantan Selatan menurut Museum Lambung Mangkurat (Museum Daerah Kalsel), karena sejak semula kedatangannya ke daerah ini orang Tionghoa disebut sebagai 'Urang Cina' dalam bahasa Banjar. Orang-orang Cina Parit yang ditempatkan di Distrik Maluka ini didatangkan secara langsung dari Tiongkok oleh Alexander Hare, komisioner residen Inggris untuk Kalimantan sekitar tahun 1812.
[71]http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Cina_Parit. di akses pada tanggal 1 April 2014.
[72]Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, Urang  Banjar dan Kebudayaannya, (Banjarmasin: Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2005), hal.8
[73]Macin, wawancara pribadi pada 12 Mei 2014.
[74]Lihat foto meja altar yang pejah akibat kejatuhan bom tentara sekutu.
[75]Macin, wawancara pribadi pada 12 Mei 2014. Tidak tahu pasti siapa nama orang yang membuat kelenteng tersebut, hal ini dikarenakan tidak ada cvatatan sejarah yang ditinggalkan oleh para pendiri untuk generasi selanjutnya.
[76]Tiono, Wawancara Pribadi pada 10 Mei 2014.
[77]Norman, wawancara pribadi pada 10 Mei 2014.
Diet Paska Melahirkan
gambar: https://sgimage.detik.net.id/customthumb/2010/12/09/1025/detik_IMG_2219.JPG?w=600&q=90
Next article Next Post
Previous article Previous Post