A.
Pendahuluan
kelahiran
dan kematian, merupakan perkara yang haq, perkara yang tidak dapat disangkali
lagi oleh manusia. Dan merupakan kepastian yang akan dialami serta dirasakan
oleh makhluk yang bernyawa.[1]
Sedangkan Kebudayaan adalah
kompleks yang mencakup pengatahuaan, kepercayaan, keseniaan, moral, hukum, adat
istiadat dan lain-lain, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”.[2]
Maka
dari itu, kami akan mencoba untuk membahas tentang kebudayaan masyrakat kita
yang lebih
khususnya dalam bidang kelahiran dan kematian. Mudah-mudahan bisa menambah
pengatahuan kita dalam pembelajaran.
B.
Kelahiran
Ketika umur kehamilan seorang ibu telah mencapai 9 bulan
maka pihak keluarga harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk
menyambut kedatangan "warga baru" (sang jabang bayi), Peralatan dan
perlengkapan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upacara kelahiran pada
masyarakat Banjar adalah: upiah pinang (pelepah pinang), kapit,[3]
sembilu, sarung, kain batik, tepung-tawar, madu, kurma, garam, kukulih[4],
seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, dan rempah-rempah untuk
memasak ikan.
Upiah pinang digunakan untuk membungkus tembuni
(tali pusat). Kapit digunakan sebagai tempat menyimpan tembuni.
Sembilu digunakan untuk memotong tali pusat. Sedangkan, sarung atau kain batik
digunakan untuk membersihkan tubuh bayi ketika tali pusatnya telah dipotong. Tepung-tawar
digunakan untuk menaburi tubuh bayi agar terlepas dari gangguan roh-roh jahat.
Madu, kurma atau garam lebah digunakan untuk mengoles bibir bayi. Dan seliter
beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, rempah-rempah[5]
untuk memasak ikan diberikan kepada dukun bayi sebagai ungkapan rasa terima
kasih.[6]
Adapun bapalas
bidan, ini hanya untuk upacara tertentu
yang biasa ada mengeluarkan darah. Yaitu dengan mengadakan acara
selamatan atau memberikan ganti rugi dengan berupa benda tertentu yang biasa,
berupa makanan atau uang, karena akibat melukai seseorang yang mengeluarkan
darah. Seperti anak dengan anak berkelahi, dan ada yang terluka. Maka menurut
adat orang tua, anak yang melukai itu harus memalas kepala anak yang dilukai.[7]
Biasanya
diadakan selamatan dengan memberikan uang atau bahan makanan, seperti beras,
gula dan nyiur[8]
sebagai tanda perdamaian itu.[9]
Ada juga memalas ini dengan menyembelih hewan, tapi ini digunakan kalu hendak
mendirikan bangunan tertentu, dimana darahnya dioleskan pada tiang bangunan
atau pundasi dari bangunan itu agar yang bekerja pada bangunan tersebut tidak
terjadi hal yang berbahaya, seperti jatuh, luka dan sebagainya.
Tetapi acara
bapalas bidan yang diadakan pada umumnya itu merupakan bentuk rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan karunianya, yang
menyelamatkan ibu beserta anak yang baru lahir itu, beserta para yang hadir
menolong ketika itu. Jadi dengan demikian ini merupakan upacara selamatan untuk
keselamatan ibu dan anak yang baru lahir beserta seluruh tetangga dan keluarga,
termasuk bidan yang menolong, agar segar kembali seperti sediakala.[10]
Kemudian
setelah bayi berumur satu minggu atau lebih, ada upacara yang disebut tasmiah
(pemberian nama), dengan susunan acara sebagai berikut: pembacaan Ayat-ayat
Suci Al Quran (Surat Ali Imran), pemberian nama oleh mualim atau penghulu,
dan barjanji. Sebagai
catatan, dalam barjanji itu, ketika dibaca kalimat asyrakal semua
hadirin berdiri, kemudian bayi dikelilingkan. Mereka, termasuk mualim
atau penghulu, diminta untuk menepung-tawari si bayi dengan baburih-likat.
Dengan berakhirnya upacara tasmiah ini, maka berakhirlah rangkaian
upacara kelahiran pada masyarakat Banjar.[11]
C.
Kematian
Kematian bagi masyarakat manapun,
termasuk masyarakat Banjar yang berada di Kalimantan Selatan, merupakan masalah
sosial karena ia tidak hanya melibatkan anggota keluarganya tetapi juga
masyarakatnya. Oleh
karena itu, jika ada kematian, seluruh warga kampung datang membantu keluarga
yang sedang berkabung. Biasanya salah seorang perempuan dari setiap keluarga
datang ke rumah keluarga yang sedang berduka cita sambil membawa sejumlah
beras.[12]
Sementara itu, para lelakinya, disamping membantu dalam persiapan penguburan,
juga mempersiapkan kayu-kayu yang diperlukan untuk masak-memasak dalam rangka
selamatan (kendurian).
Orang yang meninggal, mayatnya
ditutup dengan bahalai (kain panjang) kemudian dibaringkan dengan posisi
membujur ke arah baitullah (kiblat). Di sisinya disediakan buku (Surat Yasin)
atau Al Quran. Dengan demikian, siapa saja yang ingin mengirimkan doa kepada
yang meninggal dapat mengambil dan membacanya.[13] Sementara itu, pihak keluarga yang
meninggal merundingkan mengenai proses pemakamannya, seperti: memandikan mayat,
waktu pemakaman, dan orang-orang yang menyembahyangkan mayat.
Bagi
masyarakat Banjar, selamatan yang berkenaan dengan kematian tidak hanya
dilakukan pada malam pertama (turun tanah) saja, tetapi juga malam ke-2 (mendua
hari), ke-3 (meniga hari), ke-7 (memitung hari), ke-25 (mayalawi), ke-40
(mematang puluh), ke-50, 60, 70, 80, 90 yang disebut sebagai manyala ari, dan
ke-100 hari (manyaratus hari) terhitung dari meninggalnya seseorang.[14]
Selamatan atau kendurian, baik yang
dilakukan pada hari pertama, kedua, dan seterusnya (ke-100 hari) pada dasarnya
sama, yaitu diikuti oleh sanak saudara, tetangganya dan kenalannya; dimulai
dengan tahlilan (zikir 100x), kemudian dilanjutkan doa yang maksudnya adalah
agar dosa-dosanya dimaafkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, diterima amal baktinya,
sehingga dapat diterima di sisi-Nya;[15]
dan diakhiri dengan penyantapan nasi beserta lauk-pauknya (daging ternak) dan
apam surabi.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak
ada perbedaan sama sekali. Perbedaan tetap ada, khususnya yang berkenaan dengan
sajian yang dihidangkan pada hari yang ke-100. Hari yang ke-100 oleh masyarakat Banjar dianggap sebagai
yang terpenting. Oleh karena itu, setiap orang akan berusaha untuk
menyelenggarakannya secara lebih besar ketimbang hari-hari lainnya.[16]
Kadang-kadang
besarnya selamatan ini hampir sama dengan selamatan upacara perkawinan. Ini
tergantung dari kemampuan orang yang meninggal tersebut.[17]Apalagi
jika yang meninggal termasuk orang yang terpandang dan meninggalkan harta yang
banyak (berlimpah). Dalam
hal ini biasanya keluarga yang ditinggalkan akan menyeratus dengan menyembelih
kerbau atau sapi. Sebab jika tidak, keluarga tersebut akan dianggap sebagai
keluarga yang rakus terhadap apa yang warisan oleh yang meninggal.[18]
Adapun pantangan-pantangan yang harus
dihindari pada waktu upacara turun tanah/baaruh adalah antara lain:
a.
Tidak boleh
menyajika pisang untuk hidangan atau membawa naik kerumah tempat orang yang
meninggal tersebut sampai maniga hari, dikarenakan bisa menimbulkan
bapusang-pusang atau huru-hara, atau tidak tentram.
b.
Tidak boleh
menyajikan wadai lapis atau koe lapis untuk hidangan baaruh tersebut, karena
bisa menyebabkan yang meninggal berlapis-lapis atau beruntun dikenai musibah.
c.
Barang yang
disuguhkan pada upacara tersebut harus benar-benar yang halal. Karena jika
tidak memenuhi persyaratan ini, nantinya pahalanya tidak sampai kepada yang
dihadiahi/kepada simati.
Ini menurut
orang yang mempercayai hal tersebut.[19]
D.
Penutup
Jadi nilai-nilai, seperti ketaqwaan
tercermin dalam perbuatan ayah sang jabang bayi ketika bayi telah dipotong tali
pusatnya, kemudian dimandikan (dibersihkan), lalu diletakkan di atas talam.
Pada tahap ini sang ayah mengucapkan azdan dan qomat. Pengucapan tersebut
dimaksudkan agar suara yang pertama kali didengar oleh bayi adalah kalimat
Allah, sehingga diharapkan kelak akan menjadi seorang muslim yang taat terhadap
agama-nya (menjalani ajaran-ajaran agama Islam dan menjauhi
larangan-laranganNya).
Nilai
kesopan-santunan dan kewibawaan tercermin pada pemolesan gula atau kurma dan
garam pada bibir bayi, dengan maksud agar kelak sang jabang bayi dapat bermulut
manis dan bertutur kata manis (semua kata-katanya diperhatikan dan diikuti
orang).
Nilai
kerukunan tercermin pada penyimpanan tali pusat Sang jabang bayi. Dalam hal ini
tali pusat disimpan baik-baik untuk dihimpun menjadi satu dengan tali pusat
saudara-saudaranya. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak
bertengkar, selalu hidup rukun dan damai.[20]
Nilai kegotong-royongan tercermin dalam perilaku warga
masyarakat di sekitar keluarga yang sedang berkabung. Dalam hal ini, tanpa
diminta, setiap keluarga datang membantunya dengan mengirim salah seorang
anggotanya (perempuan) ke rumah keluarga yang sedang berkabung sambil membawa
sejumlah beras. Sementara itu, para lelakinya, disamping membantu dalam
persiapan penguburan, juga mempersiapkan kayu-kayu yang diperlukan untuk
masak-memasak dalam rangka selamatan (kendurian).
Brotomoeljono, et. al , Upacara tradisional Daerah
Kalimantan, 1981/1982.
Gazali Usman, et. al, Upacara Tradisonal Upacara
Kematian Daerah Kalimantan Selatan, 1992/1993.
Keesing Roger, Antropologi Budaya, (Jakarta: Erlangga, 1992).
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. (Jakarta: Dian Rakyat, 1985).
Melalatoa, JEnsiklopedi
Sukubangsa di Indonesia A-K, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995).
Daud Alfani, islam
dan masyarakat banjar, (jakarta: PT raja grafindo persada, 1997).
Gufron, upacara kematian pada masyarakat banjar,
1998/1999.
Djebar hapip abdul,
kamus banjar indonesia,
[1]M.
Ali chasan umar, alam kubur ( semarang : cv. Toha putera, 1979), h. 5
[2]Soerjono
soekanti, sosiologi suatu pengantar, (jakarta: PT. Raja grafindo persada, 1994)
cet.18, h. 188
[4]
Bubur yang terbuat dari beras ketan.
Biasanya ada yang berwa hijau, putih dan merah.
[5]
Brotomoeljono, Drs. Yustan Aziddin, Drs. Syarifuddin,
Drs. M. Idwar saleh, Drs. M. Nasai., Upacara tradisional Daerah Kalimantan,
1981/1982. H.55.
[6]
Hasil wawancara dengan Orang Tua saya. Alamat Muara
Halayung.
[11] Proyek
penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. 1981. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[13] Adat kebiasaan di desa Muara Halayung Rt. 3. Rw. 1., Kec. Beruntung Baru.,
Kab. Banjar.
[15] Drs. A. Gazali Usman, H. Rmli Nawawi,
Syarifuddin, M. Idwar Saleh., Upacara Tradisonal Upacara Kematian Daerah
Kalimantan Selatan, 1992/1993. H. 29.
[16] Proyek
penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. 1981. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
[17] Drs. A. Gazali Usman, dkk. Upacara
Tradisonal Upacara Kematian Daerah Kalimantan Selatan, 1992/1993. H. 57.
[19] Drs. A. Gazali Usman, dkk., ., Upacara Tradisonal Upacara Kematian
Daerah Kalimantan Selatan, 1992/1993. H. 55-56.
[20] Proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan.
1981. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100