1.
Kehidupan seni budaya
Pada akhit abad ke-19 kondisi hidup masyarakat
banjar sangat tertekan dikarenakan tekanan oleh kolonial belanda sehingga
mematikan kreativitas berkesenian. Sementara pendidikan baru saja dirintis dan
terbatas pada kalangan bangsawan dan orang sederajat sehingga belum menjadi
pendorong. Dengan denekian seni budaya banjar saat ini, adalah seni yang
sebelumnya berkembang di istana kerajaan Banjar.
Setelah
proklamasi penghapus kerajaan banjar, pangeran Hidayatullah telah berupaya
menyebarkan seni klasik ke masyarakat banjar, yakni hulu sungai utara dan
banjarmasin. Namun ketika beliau dibuangoleh belanda ke cianjur tahun 1862,
maka para bekas abdi kerajaan yang kembali ke desa-desa membina dan
mengembangkan seni klasik tersebut dikalangan mereka.
Kalau
di istana, seni klasik kraton berfungsi sebagai tata artistik upacara-upacara
seperti penobatan, menyambut tamu dan upacara daur hidup lainnya, maka pada
kelompok pendukung selanjutnya berfungsi sebagai pusaka yang magis, yang harus
diadakan upacara tahunan membersihkan dan menggelar untuk kalngan sediri.
Dikalangan
rakyat jelata, kesenian yang berfungsi sebagai sarana upacara, tetap lestari
dan berfungsi sebagai alat komunikasi vertikal dengan Yang Maha kuasa. Inilah
sebab-sebabnya mengapa di akhir abad ke-19, wayang, topeng, menyampir dan
menyanggar banua dan lain-lain tetap hidup, karena kesenian ini sangat berkaian
arat dengan alam fikiran dan kepercayaan suku banjar dewasa saat ini yang
merupakan sisa-sisa kepercayaan alam.[1]
Dalam kurun waktu bad ke-20 perkembangan seni
budaya tradisional masih berjalan dengan baik. Elite tradisional pendukung
kebudayaan keraton yang sudh terpemcar masih memelihara sebagaimana mestinya.
Kasenian klasik hidup terpisah dengan kesenian rakyat tradisional, tetapi
gamelan Banjar sebagai elemen seni rakyat yang lain berdampingan dengan
tetabuhan lainnya. Pada masa itu, kesenian yang hidup pada akhir abad ke-19
tetap pada fungsinya, yaitu pedesaan yang agraris, berupa seni sastra, teater,
teri, musik dan seni rupa.
a. Kehidupan seni sastra
Kebanyakan dari rakyat
biasa belum mendapatkan pendidikan umum. Huruf arab melayu masih mendapatkan
terpat yang sangat penting untuk baca tulis. Hal ini dikarenakan berkat sekolah
duduk dalam belajar agama Islam di desa-desa. Masyarakat mempercayakan
seluruhnya kepada guru-guru agama untuk memberikan pelajaran mengaji Al-Qur’an
pada malam hari, dan pada siang harinya belajar baca tulis huruf arab.
Selain membaca Al-Qur’an,
juga harus membaca Barjanji, Dida’i, serta Kasidah. Para pemuda dan pemudi yang
pandai membaca Al-Qur’an, kebanyakannya juga pandai membaca huruf Arab Melayu.
Dengan harapan sedikit demi sedikit ilmu pengetahuan mereka bisa berkembang.
Salah satu bentuk seni
sastra yakni madihin, yang makin berkembang di daerah Tabalong, menyebar ke
banua lima, dan di hulu sungai selatan berpusat di Tawia.
Sedangkan sastra tertulis
yakni berupa buku-buku syair berbahasa Melayu tersebar ke seluruh pelosok kota
dan desa di kalimantan selatan dan yang terkenal adalah syair Carang Kulina,
Syair Siti Zubaidah, Abdul Malik, Brahma Syahdan, dan sebagainya. Membaca
syair-syair dengan kelompok dan terkenal dengan lagu-lagu Hujan Panas,
Tingkaling Sangkut, Raja Mamuja, Kasidah Umi Kalsum dan sebagainya. Pembacaan
syair dilakukan ketika malam pengantin, malam bapingit, dan malam sesudah
yasinan/arisan.[2]
b. Kehidupan seni teater
Teater merupakan cerita,
dimainkan dan ditonton. Teater Tutur Lamut adalah yang mempunyai episode tujuh
bbagian cerita, sangat digemari oleh rakyat pada zamannya. Disebuah meja hias,
dengan sebuah rebana (terbang lamut), bercerita denga intonasi nada-nada,
diselinge dengan pantun-pantun yang memikat pemonton berada di depan dengan
melingkar. Pertunjukan lamut diadakan sampai semalam suntuk di sebuah halaman.
Lamut tetap hidup karena retikat oleh adanya hajat bagi suatu keluarga.
Teater Tutur Bapandung
bermula di desa Pariuk Margasari, Tapin. Bapandung adalah semacam monolog
berbahasa banjar. Pamandungan bermain meniru manusia berstatus, misalkan
seperti: raja, saudagar, jin, dan bahkan seorang putri dan permaisuri.
Ceritanya dimainkan hanya oleh seotang pemain. Kisah dongeng atau ciptaan pemandungan
diselesaikan dalam satu jam atau dua jam di saat terang bulan.
Teater Badar Muluk adalah
perkembangan dari Bapandung, dimana permainan bertambah dengan permaisuri,
raja, putera, dan khadam serta anak raja-raja membujuk putri (babujukan).
Cerita dalan syair Abdul Muluk hanya dimainkan oleh beberapa orang saja.
Walaupun meniru dari jawa
tengah, wayang kulit tetap digemari dan dihargai oleh masyarakat banjar.
Wayang banjar mempunyai
ciri yang khas sebagai local genius, dan dipelihara turun menurun.[3]
Teater ini muncul dalam keluarga Kitut di Barikin, Hulu Sungai Tengah. Cerita
yang dimainkan adalah episode Panji.[4]
c. Kehidupan seni tari
Pada upacara perkawinan,
pengantin wanita mengadakan taria Kuda Gipang. Kuda Gipang pada saat itu
berbusana kemeja atau kaos putih. Bercelana bandring seperti celana Napoleon,
memakai selendang hiasan (sulindang), dan jenis mesiknya adalah sarunai,
kurung-kurung, gendang (babun) dan gong. Penhanten pria diantar ke rumah
pengantin wanita denga iringan Rebana Haderah dengan nyanyian Barjajni atau
Sarafal Anam.
d. Kehidupan seni musik
Musik gamelan banjar yang
semula hidup di keraton/jawa tengah, namun pada gamelan Hulu Sungai yang
merupakan elemen tari-tarian klasik sudah berkurang. Kondisi seperti ini sama
sekali tidak mengurangi nuansa bunyi, walaupun alat-alatnya Cuma babun, sarun,
sarantum, dawu, kanung, agung dua, dan kangsi.
Musik sarunai yang berfungsi pengiring Silat-Kuntaw, serta Kuda Gipang
Basulindang, masih sederhana. Alat-alatnya adalah babun besar, babun kecil,
sarunai dan gong serta ditingkah kuruh-kurung talu. Alat-alat seperti gambus
panting, suling, salung, kuriding, kalangkupak dan lain-lain, masih musik
individual. Musik Hadrah yang mengiring kasidah tradisional Barjanji, Diba’i,
Sarafal anam, masih berkembang bersama kelompok Tarbang Lima Pengiring Burdah.
e. Seni rupa
Dalam bidang arsitektur,
macam-macam bangunan rumah Adat Banjar dengan macam-macam gerbang masih
menonjol dan dibangun sesuai status manusia anggota masyarakat yang
membangunnya. Ulama masih tinggal di palimasan, dan para pedagang besar, kecil,
juga ornga Cina yang kaya raya mendirikan rumah tipe Palimbangan. Rumah tipe
bangunan tinggi, gajah belitu dan Gajah Menyusu masih menunjukkan status
golonhan pemiliknya. Walaupun kemudian terdesak oleh ukuran kekayaan.
Pakaian banjar seperti
taluk balanga, Palimbangan, Baju Poko, kebaya panjang bersulam, tapih
sasirangan masih nampak pada perhelatan perkawinan. Pola hiasan tata ruang
persandingan tetap memakai dinding arguci seperti pada abad ke-19. Kain adat
seperti tenunan paminta, sarigading hanya dipergunakan oleh keturunan
Anang.Gusti dan Andin dalam acaraamandi-mandi, sunatan dan acara selamatan
acara tertentu.
Ornamen banjar makin berkembang pada ukiran-ukiran pilis rumah, tangga dan
pagar, serta hiasan perkakas kuningan.[5]
Demikian juga motif anyaman dari rotan. Kebudayaan Banjar sampai 1928 masih
merupa banjar tradisional yang masih melekat erat dalam jiwa rakyatnya.
Tingkah laku dan sikap bergaul dimasyarakat sebagi pola budaya yang
disepakati masih utuh, misalnya gotong oryong mendirikan rumah, sawah,
perhelatan perkaeinan dan kematian.
Pengaruh
kesenian barat seprti seni sastra, seni lukis, seni tari dan seni musik, tidak
begitu nampak pengaruhnya. Penagruh yang nampak hanya di kota Banjarmasin yakni
terhadap masyarakat elite kolonial. Pemakaian huruf latin disamping Arab di
masyarakat pribumi mulai berkembang. Di bidang musik,biola lambat laun mendesak
penggunaan rebab.[6]
Seni
tradisi tidak berubah. Kesenian yang melekat pada upacara-upacara seperti
upacara maarak pangantin dengan kesenian yang digelar pada malam Bajajagaan
serta kesenian yang digelar ketika pengantin bersanding, tetap saja dilakukan.
Di Barikin, masyarakat masih saja mentelenggarakan Manyanggar Banua, menggelar
Wayang kulit, Wayang Gung, Tarian Topeng dan Teater
Pantul dan Bagungan.[7]
[1] Tim editor M. Suriansyah Ideham, B.A., Drs. H. Sjarifuddin, Drs. H.A.
Gazali Usman., Drs. M. Zainal Arifin Anis, M. Hum., Drs. Wajidi, Sejarah
banjar, (Banjarmasin: pt. Badan penelitian dan pengembangan daerah propinsi
Kalintan selatan) cet-1, 2003, h. 252.
[3] Bachtiar Senderta, “Kesenian Daerah Kalimantan
Selatan: Pembinaan dan Pengembangannya”, Makalah Taman Budaya Propinsi
Kalimantan Selatan, Banjarmasin., 1990, h. 8.
[5] Tim editor M. Suriansyah Ideham, B.A., Drs. H. Sjarifuddin, Drs. H.A.
Gazali Usman., Drs. M. Zainal Arifin Anis, M. Hum., Drs. Wajidi, Sejarah
banjar, op. cit, h. 254.
[6] Alat musik gesek menyerupai biola bertali dua atau tiga, biasanya
digesek dng cara ditegakkan di lantai dan penggeseknya berada di belakang rebab.
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100