A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia di dunia ini Allah
menjadikan iman untuk mengarahkan seseorang kejalan yang Ia ridhoi, iman
menjadikan seseorang terarah, tidak melanggar apa yang dilarangnya, juga
menjadikan seseorang itu melakukan apa yang Allah perintahkan.
Iman menjadi salah satu faktor agar manusia bisa masuk ke surga, selain dari kehendak Allah.
Karena ada hadis Nabi yang mengatakan bahwa tidak akan masuk surga seseorang
tanpa iman, walaupun iman itu sebesar biji barrah maka ujung-ujungnya manusia
itu akan masuk surga, tapi walaupun seseorang itu waktu hidupnya Islam dan
waktu ia meninggal imannya melayang, maka tidak dikatakan ia orang yang meninggal
dalam keadaan beriman, otomatis ia tidak masuk syurga sampai kapanpun di hari
kiamat kelak.
Dalam makalah yang telah diuraikan oleh teman-teman yang lain telah
dibicarakan tentang iman, yakni iman kepada Allah dengan sub-subnya yang
membahas tentang iman kepada Allah tersebut, begitu juga dengan iman kepada Rasul, sampai akhirnya membahas tentang iman kepada taqdir. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang iman kepada taqdir, tapi
dalam pembahasan ini kami hanya menjelaskan tentang:
Apa hubungan taqdir dan hukum kausalitas (sebab-akibat) ?
Apa hikmah beriman kepada taqdir ?
B. HUBUNGAN TAQDIR DAN HUKUM KAUSALITAS
Taqdir menurut bahasa ialah “ukuran, batasan atau
ketentuan”,[1]
menurut istilah ialah suatu peraturan yang ditetapkan Allah untuk segala
makhluknya yang ada di dunia ini, yang merupakan undang-undang umum atau
kepastian-kepastian yang berhubungan di dalamnya antara sebab dan
musabab/akibatnya.[2]
Sedangkan hukum kausalitas atau biasa disebut dengan Sunnatullah ialah
sebab-musabab/akibat suatu perkara itu terjadi, yakni Allah menjadikan
tiap-tiap perkara itu pasti ada sebabnya, dan ada akibatnya,[3] “harus
ada unsur-unsur sebagai syarat terjadinya segala sesuatu itu”.[4] Sunnatullah
juga sebagai hukum alam yang telah ditentukan Allah untuk semua makhluk
ciptaannya sejak masa azaly, suatu masa yang tidak ada awalnya, ketentuan Allah
ini berlaku pada masing-masing yang diciptakannya menurut sifatnya dan tidak
dapat dirubah atau diganti.[5]
Firman Allah dalam Al-Qur’an surah Fāthir: 43.
`n=sù yÅgrB ÏM¨YÝ¡Ï9 «!$# WxÏö7s? ( `s9ur yÅgrB ÏM¨YÝ¡Ï9 «!$# ¸xÈqøtrB ÇÍÌÈ
“
Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan
sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu”.
Peristiwa yang dijadikan oleh Allah secara langsung kalau tanpa
perantaraan sebab atau tanpa adanya hukum kausalitas,
ini berarti tidak ada gunanya Allah menyuruh kita untuk berusaha dan
berikhtiar, padahal berusaha itu adalah
merupakan kewajiban dari allah.[6] Sebagaimana
firman Allah :
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/Ïi (الرعد :11)
“sesungguhnya allah tidak akan merubah keadaan
(nasib) sesuatu kaum, kecuali apabila mereka itu sendiri yang merubah apa yang
ada pada dirinya”. (Q.S. Ar-Ra’ad:11)
Juga kalau tidak ada sebab dari perkara itu,
dikhawatirkan manusia akan heran dengan adanya kejadian. Misalnya ada seseorang
yang mengalami suatu kejadian aneh yang tanpa sebab, tidak ada kebakaran, atau
sesuatu pun, tapi dengan serta merta badannya hangus seperti terbakar padahal
tidak tejadi apa-apa, serta ada sebagian dari badannya yang sudah menjadi debu,
mungkin orang akan aneh melihatnya. Maka dari itu Allah menjadikan segala
sesuatu itu selalu ada sebab-musababnya, agar orang lain dan dirinya sendiri
pun tidak heran dengan apa yang terjadi dengannya.
Kejadian itu semuanya ada sebab dan akibatnya,
kecuali peristiwa yang luar biasa yakni mu’jizat atau hal yang lain yang
menyalahi adat (kebiasaan), seperti mu’jizat Nabi Musa yang bisa merubah tongkatnya
menjadi ular, setelah tongkat beliau dipukulkan ke tanah, Nabi Muhammad yang mengeluarkan
tujuh mata air dari telunjuk beliau, dan lainnya.[7]
Banyak petunjuk Al-Qur’an yang memerintahkan
kita untuk melakukan sesuatu dengan perantaraan sebab-akibat tanpa meninggalkan
usaha ikhtiar kita.[8]
Jangan seperti golongan jabariah yang mengatakan bahwa semua yang terjadi
adalah kehendak Allah mereka tidak mau berusaha, mereka menyerahkan semuanya
kepada Allah, kepada taqdir tanpa adanya usaha.
Firman Allah
yang menyuruh mempercayai adanya sebab akibat dalam suatu perbuatan
antara lain;
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#räè{ öNà2uõÏm (#rãÏÿR$$sù BN$t6èO Írr& (#rãÏÿR$# $YèÏJy_ ÇÐÊÈ
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap
siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau
majulah bersama-sama!” (Q.S. Annisa: 71)
Semua rangkaian kejadian yang ada di dunia ini
sangat berhubungan satu dengan yang lainnya, juga antara sebab-akibat dari
kejadian itu sendiri, dan semuanya itu berjalan menurut taqdirnya yang telah
ditentukan Allah akan semuanya itu.[9]
Maka apabila kita telah berusaha dengan sungguh-sungguh, apa yang seharusnya
dikerjakan sudah kita kerjakan, maka barang tentu kita akan memperoleh hal yang
memuaskan dari usaha itu.
Tapi apabila kita mendapatkan tidak seperti
apa yang kita inginkan. Misalkan si A berusaha agar ia mendapat nilai
A, apa yang seharusnya ia lakukan telah ia lakukan, ia telah belajar dengan
sungguh-sungguh, semua catatan telah ia punya agar ia dapat belajar, pada
waktunya ujian, ia telah menjawab semua soal dengan benar, sesuai dengan apa
yang telah dipelajarinya, tapi taqdir Allah berkehendak lain, ia memperoleh
nilai B, tidak seperti apa yang dikehendakinya.[10]
Itulah taqdir Allah kita tidak boleh hanya
mengandalkan hukum kausalitas (sebab dan akibat). “Manusia hanya sekedar
merencana, dengan semaksimal mungkin menurut kemampuan, tapi pelaksanaan sukses
atau gagalnya terserah atas taqdir Allah”,[11] apabila
yang mau kaya harus berusaha dan bekerja, mau pintar harus belajar, begitu pula
sebaliknya orang yang malas bekerja akan miskin, orang yang tidak mau belajar
akan bodoh, itulah hukum kausalitas walaupun itu semua Allah yang menentukan
dengan taqdirnya.[12]
Sebagai contoh akan hubungan taqdir dengan
hukum kausalitas ialah seorang petani telah mengelola lahan pertaniannya dengan baik dan sampai
selesai, tentu sesuai dengan aturan pertanian. Kemudian pada waktunya ia panen
dengan hasil seribu kaleng padi. Dalam contoh ini maka:
Takdir: adalah penentuan atau penetapan bagi
petani yang hanya mendapatkan seribu kaleng, dan yang telah menentukan ini
adalah Allah.
Sunatullah: adalah petani yang telah
mendapatkan seribu kaleng, lantaran atau disebabkan karena ia bekerja sesuai
aturan pertanian. Disinilah letak hubungan sebab-akibat dengan taqdir Allah,
seandainya ia tidak bekerja sesuai
aturan maka ia gagal panen.[13]
Satu contoh lagi tentang gempa bumi yang
sering terjadi di Negara kita, dengan patahnya lempengan perut bumi lalu
terjadi gempa, karna daya tahan lempeng perut bumi ada batasnya. Batas atau ukuran
daya tahan lempeng bumi merupakan taqdir
Allah, sedangkan hukum kuasalitasnya ialah mengapa terjadi gempa itu.[14]
C. HIKMAH BERIMAN DENGAN TAQDIR
Sebagai seorang muslim kita wajib beriman
kepada taqdir, karena taqdir merupakan salah satu dari rukun iman, sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Nabi dalam hadist:
قل النبي صلي الله عليه وسلم: ان تؤمن باالله وملا ئكته وكتبه ورسله
واليوم الاخر وتؤمن بالقدر خيره وشره.
Bersabda Nabi Saw : “bahwasanya beriman kepada allah,
malaikatnya, kitab-kitabnya, rasulnya, dan hari akhir, dan beriman
dengan qadar baik dan buruk”.[15]
“Memahami takdir harus secara benar, karena
kesalahan memahami takdir akan melahirkan pemahaman dan sikap yang salah, juga
akan berpengaruh terhadap kehidupan di dunia ini”.[16]
Dengan beriman kepada taqdir akan mendapatkan
hikmah-hikmah yang terkandung dari beriman kepada taqdir itu sendiri, yakni
dengan kita beriman kepada taqdir, akan menjadikan kita mengerti bahwa apa yang
terjadi pada diri kita semua adalah kehendak Allah semata-mata, diluar apa yang
telah kita usahakan sebelumnya.[17]
Keimanan kita terhadap taqdir Allah merupakan
satu kekuatan bagi kita untuk membangkitkan gairah dalam malaksanakan segala
sesuatu “yang positif, layak dan pantas dalam kehidupan di dunia”.[18]
Selain hal-hal di atas ada banyak lagi
hikmah-hikmah beriman kepada taqdir yang dapat dipetik dari keimanan kita
terhadap takdir itu sendiri, yaitu
antara lain:
a. “Dapat menghilangkan keruwetan dan kesulitan yang dihadapinya”,[19]
karena ia percaya bahwa Allah yang
menjadikan segala perbuatan (usaha) manusia, disamping usaha ia sebagai hamba. Nabi bersabda:
(روه الحكم
عن ابى هريرة) الايمان بالقضاء والقدر يذهب الهم واالحزََََنََ
“Iman kepada qada dan qadar dapat menghilangkan keruwetan
dan kesusahan”. (Riwayat Hakim dari Abu Hurairah).
b. Dengan beriman kepada taqdir ia akan mempunyai kesadaran bahwa semua
sesuatu telah ditetapkan oleh Allah, semua ada aturan dan hukum yang sesuai
dengan undang-undang allah. Maka manusia harus mempelajari dan memahami serta
mematuhi ketetapan Allah tersebut, supaya ia dapat berhasil di dunia dan di
akhirat nanti.[20]
c.
Dengan beriman kepada taqdir ia akan bersandar
kepada Allah semata-mata disaat melakukan usaha, yakni tidak bersandar kepada
hukum sebab akibat, karena sesuatu yang terjadi atas taqdir dan kehendak Allah.[21]
Hukum sebab-akibat itu hanya sekedar perantaraan, hakikatnya hanya Allah
yang menentukan segala sesuatu itu.
d.
Dengan beriman kepada taqdir akan dapat
menghilangkan sifat ria atau berbangga diri dengan apa yang ia dapatkan, yang
ia inginkan. Karena ia tahu bahwa semua itu adalah pemberian dari Allah untuk
dirinya, orang yang bangga akan dirinya akan lalai untuk menyukuri ni’mat Allah.[22]
e.
Dengan beriman kepada taqdir akan menjadikan
seseorang itu untuk bersikap berani dalam meneggakkan keadilan dan kebenaran, dan
dalam rangka menegakkan ‘kalimah Allah’, serta tidak menjadikan
seseorang itu takut dan gentar ketika menghadapi risiko dan bahaya yang
menghadangnya.[23]
bahwa kematian, rizki dan jodoh dan sebagainya adalah semuanya ditangan Allah,
sebagaimana firman allah ta’ala:
@è% `©9 !$uZu;ÅÁã wÎ) $tB |=tF2 ª!$# $uZs9 uqèd $uZ9s9öqtB 4 n?tãur «!$# È@2uqtGuù=sù cqãZÏB÷sßJø9$# ÇÎÊÈ
“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa
yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung
Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal”. (Q. S. At-Taubah:51)
$tBur `ÏB 7p/!#y Îû ÇÚöF{$# wÎ) n?tã «!$# $ygè%øÍ ÞOn=÷ètur $yd§s)tFó¡ãB $ygtãyöqtFó¡ãBur 4 @@ä. Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7B ÇÏÈ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh)”.
f.
Dengan beriman kepada taqdir akan memelihara
ketentraman jiwanya dari rasa berputus asa, dan kecewa ketika menghadapi
musibah dan kegagalan yang dialaminya, atau kehilangan sesuatu yang
dicintainya. Ia tegar dalam mengahadapi semua itu karna ia yakin bahwa yang
terjadi itu adalah taqdir allah atas dirinya.[24]
Firman Allah: (Q.S. al-hadid:22-23).
!$tB z>$|¹r& `ÏB 7pt6ÅÁB Îû ÇÚöF{$# wur þÎû öNä3Å¡àÿRr& wÎ) Îû 5=»tGÅ2 `ÏiB È@ö6s% br& !$ydr&uö9¯R 4 ¨bÎ) Ï9ºs n?tã «!$# ×Å¡o ÇËËÈ xøs3Ïj9 (#öqyù's? 4n?tã $tB öNä3s?$sù wur (#qãmtøÿs? !$yJÎ/ öNà69s?#uä 3 ª!$#ur w =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøèC Aqãsù ÇËÌÈ
- tiada suatu bencanapun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
- (kami jelaskan yang demikian itu) supaya
kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah
tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.
g.
Dengan beriman kepada taqdir, mendorong
manusia untuk beramal dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai
kehidupan di dunia dan akhirat, mengikuti hukum sebab akibat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT,[25]
disamping ada usaha dan ikhtiar. Beriman dengan taqdir, akan menolak kita
berkeyakinan seperti golongan Jabariah yang tidak mau berusaha, karena golongan
Jabariah ini berkeyakinan bahwa manusia itu tidak kuasa, tiada daya tiada
kemauan atau keinginan, semua perbuatan adalah cipataan Allah.[26]
Mereka menyerah kepada keadaan, bagaimanapun
allah menggariskan tentangnya ia akan pasrah dengan keadaan, misyalkan allah
menggariskan ia kaya maka tentu ia kaya, begitu juga sebaliknya kalau allah
menggariskan ia miskin tentu ia akan miskin.
h. Dengan beriman kepada taqdir “menjadikan
manusia semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang memiliki kekuasaan dan
kehendak yang mutlak, yang juga memilki kebijaksanaan, keadilan dan kasih
sayang kepada mahkluknya.”[27]
i.
Dengan beriman kepada taqdir akan menjadikan kita
terhindar dari mempunyai sifat tercela, seperti sifat sombong, tamak, dengki
dan lainnya, karena ia yakin kalau segala sesuatu itu adalah pinjaman Allah
semata-mata dan akan diambil pada waktunya nanti.[28] Firman
Allah dalam surah Ibrahim ayat 7:
ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyÎV{ ( ûÈõs9ur ÷Länöxÿ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓÏt±s9 ÇÐÈ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih".
j.
Dengan beriman kepada taqdir ia akan mempunyai
sifat tawakal, karena ia menyadari bahwa manusia hanya bisa berusaha dan
berdo’a, sedangkan hasilnya hanya allah yang menentukan.[29]
D.
KESIMPULAN
Semua kejadian yang Allah ciptakan yang ada di
dunia ini, yang menentukan semuanya adalah taqdir allah, hukum kausalitas atau
hukum sebab akibat yang ada di dalamnya hanyalah perantaraan. Maka dari itu
manusia sebagai makhluk ciptaanya tidak boleh berpegang hanya kepada hukum
kausalitas (sebab akibat).
Apabila hendak kita hendak mencapai apa yang
kita inginkan haruslah berusaha, yakni; mau kaya dengan bekerja mau pintar
dengan belajar dan sebagainya. Tapi tidak terlepas semuanya dari taqdir allah.
Hikmah beriman kepada taqdir antara lain
ialah; menjadikan manusia sadar bahwa apa yang terjadi pada dirinya semuanya
adalah kehendak Allah, dapat mengatasi kesulitan dan kesusahan yang menimpanya,
yang menjadikan jiwanya tentram dalam mengatasi itu semua.
Membangkitkan gairah hidup untuk melakukan hal
yang positif, tetap berusaha, dan bekerja dengan mengikuti hukum sebab akibat.
Tapi tetap berkeyakinan bahwa hanya allah yang menentukan semuanya bukan hukum
kausalitas. Menghilangkan sifat tercela yang ada dalam dirinya, menjadikan ia
mempunyai sifat tawakal, terakhir menjadikan ia semakin dekat kepada allah.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin. Sunnah Allah dan Ikhtiar Manusia.
Bandung: P.T. Al-Ma’arif, 1972.
Ad-Dumaiji, Abdullah bin Umar. At-Tawakkul ‘Alallah wa
‘Alaqatuhu bil Asbab, penerjemah Kamaluddin Sa’diatulharamaini Farizal
Tarmizi, Rahasia Tawakal & Sebab Akibat. Jakarta: Pustaka Azzam,
2000.
Adnan, Muhammad. Tuntutan Iman dan Islam. Jakarta: Djaja Murni,
1962.
Chirzin, M. Konsep & Hikmah Akidah Islam. Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 1997.
Ilyas, Yunahar. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamatan Islam (LPPI),
2000.
Masjfukzuhdi, studi islam jilid I. Jakarta: CV Rajawali, 1988.
Matdawam, M. Noor. Pembinaan ‘Aqidah
Islamiyah: Theologi Islam.Yogyakarta: Bina Karier, 1984.
Ritonga, Rahman. Akidah: Merakit Manusia Dengan Khaliknya Melalui
Pendidikan Usia Dini. Surabaya: Amelia, 2005.
Sabig, Sayyid. Al-‘Aqāidu Al-Aslamyyah diterjemahkan oleh Moh Abdai
Rathomy, Akidah Islam: Pola Hidup Manusia Beriman. Bandung: C.V.
Diponegooro, 1978.
Syamsuddin, Zainal Abidin, Ainul Haris Aripin , DKK, Penjelsan Kitab 3
landasan utama. Jakarta: Darul Haq, 1999.
Yahya, Imam ibnu syarifuddin al-nawawi, Al-rabainun nawawiyah.
Surabaya: Toko Imam, T.TH.
http ://www, metrotv news, com metro
main/analisis detail/2011/07/179/taqdir dan kebebasan, (didownload 11 Desember,
2011).
[2]Sayyid Sabig, Al-‘Aqāidu Al-Aslamyyah diterjemahkan
oleh Moh Abdai Rathomy, Akidah Islam: Pola Hidup Manusia Beriman, (Bandung:
C.V. Diponegooro, 1978) ,149.
[3]M. Noor Matdawam, Pembinaan ‘Aqidah
Islamiyah: Theologi Islam (yogyakarta: Bina Karier, 1984), 116.
[5]Rahma Ritonga, Akidah: Merakit Manusia
Dengan khaliknya Melalui Pendidikan Usia Dini (Surabaya: Amelia, 2005), 94.
[6]M. Noor Matdawam, Pembiaan ‘Aqidah Islamiyah,
116.
[7]Abidin, Sunnah Allah dan Ikhtiar
Manusia (Bandung: P.T. Al- Ma’arif, 1972), 23.
[8]Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, At-Tawakkul
‘Alallah wa ‘Alaqatuhu bil Asbab, penerjemah Kamaluddin Sa’diatulharamaini
Farizal Tarmizi, Rahasia Tawakal & Sebab Akibat, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2000), 147.
[9]Abidin, Sunnah Allah dan Ikhtiar Manusia, 16.
[10]M. Noor Matdawam, Pembinaan ‘Akidah
Islamiyah, 116.
[11]M. Noor Matdawam, Pembinaan ‘Akidah
Islamiyah, 116.
[12]Rahman Ritonga, akidah, 95.
[13]Rahman Ritonga, akidah, 90
[14]http ://www, metrotv news, com metro main/analisis
detail/2011/07/179/taqdir dan kebebasan, (didownload 11 Desember, 2011).
[15]Imam yahya ibnu syarifuddin al-nawawi, Al-rabainu
al-nawawiyah (Surabaya: Toko Imam), T.TH., 8.
[16]Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta:
Lembaga Pengkajian dan Pengamata Islam (LPPI), 2000), 191.
[17]M. Chirzin, Konsep & Hikmah, 110.
[18] Sayyid Sabiq, Al-‘Aqāidu
Al-Aslamyyah, 52.
[19]Muhammad Adnan, Tuntutan Iman dan Islam
(Jakarta: Djaja Murni, 1962), 62.
[20]Yunahar Ilyas, Kuliah Akidah Islam,
191.
[21]Zainal Abidin Syamsuddin, Ainul Haris
Aripin , DKK, Penjelsan Kitab 3 landasan utama (Jakarta: Darul Haq,
1999), 190.
[22]
Zainal Abidin Syamsuddin, DKK, Penjelsan
Kitab 3, 190.
[23]
Masjfukzuhdi, studi islam jilid I
(Jakarta: CV Rajawali, 1988), 105.
[24]Zainal Abidin Syamsuddin, DKK, Penjelsan
Kitab 3, 190.
[25]Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam,
192.
[26]Muhammad Adnan, Tuntutan iman dan islam,
62.
[27]Yunahar ilyas, Kuliah Akidah Islam,
192.
[29]Yunahar ilyas, Kuliah Akidah Islam,
192.
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100