A.
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang mampu memberikan
wawasan yyang sangat strategis didalam kawasannya. Oleh sebab itulah islam di
devinisikan sebagai agama penyempurna dari agama lain. Islam mengandung
beberapa unsur yang wajib di tuntut sebagai pondasi yang hakiki di dalamnya.
Pondaasi agama islam adalah Tauhit, Faqih, Tasawuf, oleh sebab itulah tiga
pondasi ini menjadi tiang bagi keimanan umat muslim.
Diantara tida pondasi yang menjadi pekokoh
agama islam adalah Tauhit, Bagiman sistem Tauhit yang mengatur tata cara menepa
iman hinga menjadi sebuah bangunan yang kokoh yang berpeleskan islam dan
berbahan iman yang hakiki di antara ccaranya adalah mengelal yang namanya
Tauhid Dzat, bagaiman Tauhit Dzat? Dan di antaranya lagi adalah Tauhit Sifat,
dab apa yang di maksut dengan Tauhid sifat. Dan di antara jalan Tauhiit untuk
memperkokoh iman adlah dngan mengenal Tauhid Af’al, bagaimana itu Tauhit Af’al.
Diantara sekian banyak pola pikir yang merumuskan
keimanan, dan di antara sekian banyak para aliran-aliran yang masing-masing
mempunyai jalan agar nmudah bagi pengikiutnya dalam memahami Allah SWT. Dengan
demikianlah Tauhid Dzat, Af’al dan Sifat di coba di rumuskan dengan sekritis
mungkin oleh para aliran. Bagaimana Para Aliran mendevinisikan tentang Tauhit
Dzat, Sifat dan Af’al?
B.
PENGERTIAN TAUHIT
Menurut bahasa Tauhid berarti ilmu yang membahas tentang ketuhanan,
baik Principle, sifat-sifat-Nya dan aqidah yang pokok. Ada juga yang
mengartikannya sebagai kepercayaan terhadap wujud Tuhan Yang Esa, yang tiada
sekutu bagi-Nya, baik itu yang menyangkut Dzat, Sifat, maupun Af’al-Nya. Dan
Dia yang mengutus utusan agar member petunjuk kepada umat manusia pada umumnya
dan seluruh alam semesta kepada kebaikan.[1]
Dengan adanya pengertian ini berarti ada unsur kepercayaan terhadap Tuhan
(beriman kepada Tuhan). Dalam kajian mengenai Iman ini, mengutip daripada
catatan semester I kemarin, bahwa struktur Iman itu dapat digambarkan sebagai
berikut:
تصديق بالقلب
اقرار بالسان
عمال بالاركان
Islam termasuk agama yang semua pengikutnya
mempercayai konsep Keesaan Tuhan (Monoteistik) ialah pengajaran kepada umat
Muslim bahwa hanya ada satu Tuhan, dan secara otomatis jika ada satu Tuhan,
maka kebenaran hanya ada satu, yaitu satu garis lurus yang menghubungkan dua
titik; Tuhan dengan hamba-Nya.[2] Itulah Aqidah yang mesti diimani oleh setiap insan dan hal ini
telah di buktikan melalui pengalaman. Pembuktian tersebut dapat diterima oleh
akal sehat setiap insan yang berakal bahwa setiap sesuatu pasti memiliki
kelemahan, dan hal itu menghantarkan pada suatu kepercayaan bahwa setiap yang
mempunyai kelemahan pasti ada yang menciptakan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan
ini dinamakan hokum Aksioma.[3]
Dengan
adanya hal ini, maka Al-Qur’an tak bisa diragukan lagi kebenarannya, sesuai
dengan
Firman-Nya
ÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& ÎTôç6ôã$$sù ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# üÌò2Ï%Î! ÇÊÍÈ
14. Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang
hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.[4]
Tauhid
versi aliran-aliran kalam.
Golongan Mu’tazilah disebut juga kelompok Ahl
al adl wat Tauhid, dan bisa juga kita sebut sebagai Qadariyyah atau Adliyyah,
karena mereka menjadikan kata Qadariyyah mempunyai dua arti; kata Qadar
dipergunakan untuk orang yang mengakui Qadar yang dipergunakan untuk
kebaikandan keburukan pada hakikatnya dari Allah.[5] Sementara Nabi sendiri pernah bersabda :
القدرية مجوص
هذه الامة
Al Qadariyyah adalah Majusinya Umat (Islam) ini. Sabda
Nabi saw yang lain:
القدرية
خصماءالله فى القدر
Qadariyyah adalah musuh-musuh Allah tentang Taqdir Allah.
Yang dimaksud disini adalah musuh mengenai Taqdir Allah,
karena Taqdir Allah itu meliputi kebaikan dan kejahatan, dan demikian pula dengan
tabiat atau kelakuan manusia, ada baik dan ada pula yang buruk. Dalam hal ini
tidak lah tergambar bagi orang-orang yang bertawakal kepada Allah, dikarenakan
orang-orang Mu’tazilah tak menerima ketentuan seperti ini, karena semua
perbuatan terjadi adalah karena manusia itu sendiri, dan mereka juga sependapat
bahwa ayat-ayat Mutasyabihat itu perlu di Takwilkan, itu mereka namakan Tauhid.
Mereka juga sependapat bahwa Ushul (aqidah) ialah Ma’rifah (pengenalan), syukur
terhadap nikmat adalah wajib sebelum turunnya wahyu.
Karena
kebaikan dan keburukan itu dapat dikenal dengan menjauhi keburukan (yang
buruk). Adanya tanggung jawab (taklif) merupakan cobaan dan ujian bagi manusia
yang diturunkan kepada para Rasul, Allah berfirman:
øÎ) NçFRr& Íourôãèø9$$Î/ $u÷R9$# Nèdur Íourôãèø9$$Î/ 3uqóÁà)ø9$# Ü=ò2§9$#ur @xÿór& öNà6ZÏB 4
öqs9ur óO?tã#uqs? óOçGøÿn=tG÷z]w Îû Ï»yèÏJø9$#
`Å3»s9ur zÓÅÓø)uÏj9 ª!$# #XöDr& c%2 ZwqãèøÿtB Î=ôguÏj9 ô`tB n=yd .`tã 7poYÍht/ 4Ózóstur ô`tB yr .`tã 7poYÍht/ 3
cÎ)ur ©!$# ììÏJ|¡s9 íOÎ=tæ ÇÍËÈ
42.
(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka
berada di pinggir lembah yang jauh sedang kafilah itu berada di bawah kamu[6]Sekiranya
kamu Mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu
tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah
mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti
dilaksanakan[7]Yaitu
agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar
orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula)[8]Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui,
Sementara Al Muhâsibi,
sebagaimana umumnya Asy ‘ariyyah memandang bahwa tindakan manusia pada
esensinya adalah tindakan Tuhan, dan teori Kasb melihat tindakan manusia tidak
memiliki efek. Pandangan teologi ini berimplikasi pada konsep akal yang di sebut
insting.[9]
B. PENGERTIYAN TAUHID DZAT.
Pengertiyan
tauhid dzat adalah adanya sestem pengesaaan terhadap Allah SWT baik dalam bentuk apapun, kapanpun, di
mana pun, dengan alasan apapun. Pengesaan terhadap EsanYa Allah SWT tidak ada
yang menyamainya baik dalam segi apapun karena EsaNya Allah SWT itu adalah satu
(Wahid) Esa. Akan tetapi dalam ungkapan Satu disin bukanlah ungkapan
yang sngat tepaat bagi keesaaNya Allah SWT sebagaimanay yang telah di
riwayatkan oleh Amiru Al-Mu,minin Ali As, Karena arti kata dari satu itu berupa
numerik saja devenisinya adalah DUA bagi tuhan dapat di konsepkan (Tashawwur)
Akan tetapi tidak ada wujudNya yang Zahir (Nampak kasap mata) Dari luar
yang menggunakan alat panca indra.
Dengan
demikian ungkapan yang benar dalam mendevinisikan Tauhid Dzat adalah bahwa
Tuhan itu bersifat esa dan dua baginya tidak dapat di konsepsikan. Dengan kata
lain Tuhan tidak ada yang serupa apalagi semisal denganNya sebab Tuhan adalah
Wujud yang sempurna, Tidak ada yang semisal denganNya. ليس كمثله شيء (Tidak ada seumpamanya
oleh sesuatu yang menyamainya)
Dengan
argumentasi yang sama, kita jumpai dalam hadits Imam Ash-Shadiq AS Pernah di
tanya oleh salah seorang sahabat, “Apakah arti kalimat dari Allahu Akbar?
Dan Beliyau menjawab: “Allah adalah lebih besar dari segala sesuatu baik dalam
nisbah apapun dan Apakah ada sesuatu yang lebih besar dari diriNya? Dan Sahabat
bertanya lagi, “Apakah tafsiran Allahu Akbar itu ? Beliyau menjawab: “Allah
adalah lebih besar daari penyifatan.
B. TAUHID SIFAT
Tauhid
dzat adalah sestem pengesaan kepada Allah SWT akan sifat-sifat yang sudak
termaktub dari kitab-kitab akidah, baik itu sifat dua puluh, sifat tiga belas,
sifat tujuh, atau sifat yang di ambil dari Al-Asmaul Al-Khamsah. Dan dalalm
penjelasan tauhid dzat ini mencakup dua hal:
1.
Penetapan. Maksutnya adalah; harus menetapkan seluruh
sifat-sifat bagi Allah SWT sebagaimana yang telah Allh terapkan bagi dirinya
sendiri di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabinya.
2.
Penafiayan (permisahan) maksutnya adalah: Menjadikan
sesuatu yang semisal dengan Allah dalam sifat-sifatNya[10]
sebagaimana firmanNya
ãÏÛ$sù ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4
@yèy_ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& $[_ºurør& z`ÏBur ÉO»yè÷RF{$# $[_ºurør& (
öNä.ätuõt ÏmÏù 4
}§øs9 ¾ÏmÎ=÷WÏJx. Öäïx« (
uqèdur ßìÏJ¡¡9$# çÅÁt7ø9$# ÇÊÊÈ
11. (dia) Pencipta langit dan bumi. Dia
menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis
binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak
dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang
Maha mendengar dan melihat[11].
Ayat ini menerangkan bahwa semua sifat-sifat
Allah SWT tidak i serupai oleh siapapun dan kapanpun oleh Makhluk yang dia
ciptakan. Meskipun ada dasar persekutuan dari dasar ma,na dan lafazNya. Akan
tetaapi pada hakikatnya tetap berbeda. Siapa saja yang tidak menetapkan seluruh
sifat-sifat yang dia miliki berarti dala ruang lingkupnya adalah dia telah
menggugurkan tauhidnya sendiri[12].Sebagaimana
yang telah di katakan oleh fir,aun siapa yang telah menetapkan dan di sertai
dengan penyerupaan maka berarti dia adlah mirip dengan orang-orang musrik yang
menyembah selain Allah dan bagi siapa yang menetapkan akan tetapi tanpa
penyerupaan berarti dia adalah termasuk dalam katagori golongan Muwahhidin.
Ketika kita mengatakan bahwa salah satu cabang
tauhid adalah dengan mengenalapa itu tauhis sifat, devinisinya adalah:
Sebagainmana DzatNya adalah Azali (Tidak bermula) dan abadi (Tidak
berpermulaan dan tidak berakhir) sebgaimana sifatNya juga mempunyai
devinisi yang sama dengan DzadNya dengan demikian sifat itu telah ada beriring
dengan zohirnya ilmu-ilmu yang kita ketahui, sifat bukan lah tambahan yang
hanya di tambah-tambahan untuk ma,rifat kepada Allah dan bukan juaga dari sisi
luar DzatNya, dan juga tidak memiliki sisi aksental dan teraksiden, melainkan
ini adalah Dzat Nya sendiri dsn juga sifatNya tidak terpisah dengan DzatNya
dan tidak terpisah dengan sifat yang
lainNya.
Bilamana kita merujuk kepada diri sendiri,
kita melihat pada mulanya bahwab tidak ada satu sifat pun yang melekat pada
tubuh kita, tatkala kita lahirv kedunia ini, sampai kita meninggalkan duni yang
fana ini. Dalam satu contoh bahwa kita terlahir kedunia tidak mempunyai ilmu
dan kekuasaan yang lainnya yang merekat pada tubuh kita, semuanya dalah
pinjaman yang telah Allah pinjamkan kepada kita, akan tetapi yang demikian
bukanlah persamana kita tentang sifat-sifat yang dimiliki Allah atas
pinajamanNya kepada kita.
D. TAUHID AF’AL
Pengesaan
tuhan dalam perbuatan, bagaimana kita mengesakan tuhan dengan jalan melalui
perbuatanNya, dalam arti katanya, bagaimana kita mengesakan atas apa-apa yang
sudah Allah tentukan bagi kita, Allah sudah menentukan badan kita seperti ini
dalam maksutNya Allah sudah menciptakan kita dengan Af’alNya. Kehendaka Allah
yang terzohir dala perbuatanNya bisa di katakan dengan Qudrad
(KehendakNya) kepada kita.
Argumen
yang demikian memang sudah menyatu dengan diri kita masing-masing di saat batin
kita sudah di tanamkan rasa tauhid yang mendasar bahwa tidak ada perbutan yang
kita lakukan melaikan Allah lah yang menghendakinya, satu perbuatanpun yang
terlintas dari hati, maupun secara fisik, itu bersalal dari kehendak Allah yang
terzohir dengan jalan perbuatan kita yang melakukannya. Prespiktif nya adalah
bahwa kita tidak mampu melakukan satu perbuatanpun kecualai itu berasal dari
Allah SWT, di karnakan kita tidak punya apa-apa semuanya hanyalah milik Allah.
Persoaalan lain yang menjadi bahan perbedaan
di antara sekian banyak aliran-aliran kalam adalah masalah sifat-sifat allah,
Dalam masalah ini semuanya beradu-adu dalam mencoretkan tintah emas untuk
menyelesaikan persoalan ini. Akan tetapai dalam perbedaan pendapat mereka
mempunyai satu tujuan, yaitu menauhidkan
Allah. Tiap-tiap alira mengaku faham mereka dapat mensucikan dan memelihara
keesaan Allah.
Perbedaan
yang di alami oleh penganut-penganut kalam tidak terbatas dalam devinisi sifat
saja. Akan tetapi perbedaan yang terjadi cukup rumit karna tidak terbatas dalam
sifat akan tetapii dalam cabang
sifat-sifat Alllah.
E. PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA ALIRAN-ALIRAN DALAM MASALAH
DZAT, SIFAT, AF,AL.
Pertentangan faham antara Mu,tazialah dengan
Asy’ariyah adalah berkisar sekitar apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak.
Jika Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mesti kekal seperti dzat Tuhan. Jika
sifat itu kekal, maka yang sifat yang kekal itu satu, akan tetapi kenapa sifat
Tuhan banyak. Dengan demikian Asy;ariyah
mengelurkan argumen bahwa jika sifat tuhan kekal maka membawa kepada sirik atau
polithesme, suatu hal yang tidak dapat di terima dalam teologi[13].
Kalau di telusur lebih dalam lagi bahwa Whasil bin Atha menegaskan bahwa siapa
saja yang menetapkan bahwa sifat allah qadim ia telah menyatakan bahwa Tuhan itu dua[14].
Bagi Mu’tazilah, kebebasan yang diperoleh
manusia dapat diartikan bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi mutlak.
Ketidakmutlakan ini disebabkan oleh adanya kebebasan yang diberikan Tuhan
kepada manusia, keadilan Tuhan serta janji-janji Tuhan serta hukum alam yang
tidak berubah-ubah, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an[15]
Satu hal yang bukan menjadi perbedaan adalah
Tuhan adalah satu, Ia adalah pencipta dan penguasa seluruh alam, dan Ia adalah
ada yang pertama. Baik Mu’tazilah ataupun Asy’ariyah ataupun kelompok-kelompok
lain tidak menafikan hal ini. Pencipta seluruh alam ini tiada lain adalah
Tuhan, Allah. Biarpun seluruh manusia tidak mengakuinya, Ia tetap sebagai
Tuhan, yang telah menciptakan bumi beserta isinya, langit beserta
misteri-misteri yang tersembunyi di dalamnya. Inilah hal yang perlu dipegang
oleh seluruh kaum, sebab siapapun dan bagaimanapun cara kaum-kaum itu
menyembah, yang disembah tetaplah satu, ialah Allah, rabbul ‘alamin.
Perbedaan pengertian keesaan Tuhan pada
dasarnya bukanlah perbedaan dalam segi hakekat, tetapi perbedaan dimensi
pandangan. Mu’tazilah dalam memandang keesaan Tuhan memberikan pengertian
tentang keesaan yang menyeluruh, baik itu sifat, zat, dan lain sebagainya.
Sedangkan Asy’ariyah memandang keesaan Tuhan lebih kepada sebuah zat yang tidak
dapat terlepas dari sifat-sifat yang melekat padaNya.
Kedua pendapat itu sulit untuk tidak diterima
salah satunya. Di satu sisi Tuhan dikatakan Yang Esa, yakni pencipta dari
segala sesuatu, termasuk sifat-sifat yang ‘melekat’ pada dirinya. Apabila ada
sifat Tuhan berarti ada dua qadim, yakni Tuhan (zat) dan sifat Tuhan itu
sendiri. Sedangkan dalam pengertian dan pemahaman kita, sulit untuk memisahkan
antara zat dan sifat. Misalkan, air mempunyai zat berupa cairan dan pula
bersifat cair, api mempunyai unsur api dan sifat panas, dan sebagainya. Dua hal
tersebut tidak mampu disublim, sehingga dapat dipisahkan antara zat dan
sifatnya. Air, biarpun bisa berubah menjadi padat (es) tetapi toh ia tetap
berupa zat cair. Demikian pula api, tak dapat terpisah antara api dan panasnya.
Sama halnya dengan Tuhan, sulit diterima akal jika kita mampu memisahkan antara
Tuhan dengan apa yang melekat pada diriNya (sifat). Kecuali jika berpandangan
bahwa sifat merupakan bagian dari ciptaan, sebagaimana meja yang berbentuk meja
dan air berbentuk cair. Padahal sesungguhnya sifat-sifat yang telah disebutkan
dengan bahasa manusia itu adalah berada pada dimensi manusia, sedangkan Tuhan
berada pada dimensi Tuhan. Wujud, qidam, baqa’ sesungguhnyalah hanya sebuah
bahasa manusia untuk menyebut Tuhan sebagai zat yang ada, awal, kekal dan
maha-maha yang lain, dan bukan bahasa Tuhan, yang siapapun tidak mampu
memasukinya[16].
Dengan demikian aliran Mu,tazialahh mencoba menyelesaikan
perbedaan ini dengan mengatakan bahwa tuhan tidak ada mempunyai sifat. Devinisi
mereka tentang permasalahan ini sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Asy’ari
bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai sifat pengetahuan, kekuasaan, hajat,
dan sebagainya.[17]
Ini tidak berarti bagi mereka tuhan
tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, akan tetapi tuhan bagi mereka
tetap mengetahui dan sebagainya tetapi bukan dalam perantara sifat dalam arti
kata sebenarnya bagi mereka, Artinya, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan itu
adalah tuhan itu sendiri, sebagaiman telah di jelaskan oleh Abu Al-Huzail[18].
Aliran Khawarij berpendapat bahwa mereka mensucikan Dzat Ilahiayah dan
menolak sifat – sifat Allah, maka dari itu mereka menyatakan bahwa sifat merupakan
Dzat itu sendiri[19].
Adapun aliran
Jabbariyah berpandangan bahwa mereka menolak sifat Kalam bagi Allah SWT, karena
Kalam merupakan sifat dari makhluk[20].
Dalam masalah ketuhanan mereka mempunyai konsep sendiri, konsep tersebut
biasa disebut dengan Al-Usul Al-Khamsah yaitu Tauhid, Al-‘Adlu,
Al-Wa’du wa Al-Wa’id, Al-Manzil baina Manzilatain dan Al-Amru bil Ma’ruf
wa An-Nahyu ‘An Al-Munkar. Dalam
salah satu konsepnya yaitu Tauhid, mereka berbicara banyak tentang ketuhanan.
Diantara pendapatnya yaitu الصفات عين الذات: artinya
bahwa sifat Allah tidak terpisah dari dzat-Nya. Untuk mempertegas konsepnya
ini, Mu’tazilah menjelaskan bahwa الله عالم بالعلم هو
هو artinya Allah Maha
Mengetahui dengan ilmu-Nya, sifat ilmu adalah dzat-Nya[21]
Denagan pengertiyan yang ahrus di dasari dengan keiman
yang akurat maka asy,ariyah mendevinisikan masalah Dzat dan Af,al, seluruh
sifat yang dimiliki Allah SWT itu adalah termasuk dalam katagori sifat Dzat dan
ada yang termasuk dengan katagori sifat Af,al[22]. Mu’tazilah yang menetapkan bahwa apa yang
dilakukan oleh Allah itu bukan dengan ikhtiar tapi karena suatu keharusan dan
hal lain yang berhubungan dengan fi’lullah
Beliau mengatakan bahwa af’al yang dimiliki
oleh Allah adalah dalam bentuk penciptaanya (khluqan wa iyjadan), sedangkan yang dimiliki manusia adalah kasb
sebagai bentul ciptaan. Semua ini sebagai dasar bahwa fi’il Allah sebagai sesuatu yang dilihat secara hakikatnya dan
fi’il manusia sebagai majaz. Teori yang beliau kernukakan nantinya sebagai radd atas paham Jabariyah, Qadariyah dan
Mu’tazilah[23]. Secara umurn
aliran al-maturidiyah tidak jauh berbeda dengan al-asyariyah dalam prinsip
dasar- hanya berbeda dalam pengungkapan atau penjelasannya. Yang paling
menonjol adalah bahwasanya asy’ary berpendapat Maturidi rnenyetujui kebebasan
berkehendak sesuai dengan konsekuensi logis dan gagasan keadilan dan gagasan
pembalasan Tuhan, sedang al-Asyari berpendapat bahwa kehendak Tuhan tidak dapat
dibayangkan dalam kapasitas logika manusia. Tuhan dapat saja mengirim manusia yang
baik ke dalam neraka. Al-Maturidi mengakui bahwa pahala dan atau hukurnan
adalah sebanding dengan perbuatan manusia itu sendiri
Dengan demikian Asy,ariyah mendevisikan safat
zatd adalah sifat yang termaktub sebagai sifat stubutiyah (Tetap) atau bisa di katakan
dengan sifat Maknawiyah, yakni sifat hidup, menetahui, mendengar, melihat dan
berfirman. Adapun sifat-sifat Af,al maka di devinisikan seperti sifat
menciptakan, memberi rizqi, dalam rangkumannya adalah, setiap hala apaun yang
berbawu dengan perbuatan maka itu di maksutkan dengan sifat Af,alnya Allah SWT[24].
Banyak para ulama yang tidak setuju dengan
pendapat yang dimilki oleh Mu’tazilah. Al-Asy’ari membuat rumusan yang lain
yaitu الصفات قائمة بالذات أزلية atau
diringkaskan لا هي هو ولا هي غيره artinya bahwa sifat – sifat ilahiyah
itu bukan dzat-Nya, dan bukan selain dzat-Nya[25].
Dari pernyataan tersebut timbul pertanyaan,
apakah sifat – sifat ilahiyah itu ain dzat, atau di luar dari dzat?
Al-Syahrastani menjawab dengan menampilkan perkataan Al-Asy’ari dengan
konsepnya yaitu هي هو, ولا غيره, ولا ولاهو, ولا لا
غيره artinya sifat
adalah dzat dan bukan yang lainnya, bukan bukan, Ia bukan yang lain[26].
Dalam masalah sifat dan zat ini, Al-Asy’ari sependapat
dengan Abdullah bin Kullab yang berpendapat
معنى ان الله عالم ان له علما و معنى انه قادران له قدرةو معنىانه حي ان له حياة....ان اسماءاللهوصفاته لذاته لاهى اللله و لاهى غيره وانها قا ﺌمة
”Pengertian Allah itu zat yang mengetahui adalah bahwa ilmu itu ada bagi
Allah.......
”Sesungguhnya, asma dan sifat-sifat Allah itu ada pada zat-Nya. Sifat dan asma
itu bukan Allah (bukan zat, menurut konsep al-Asy’ari) namun sifat dan
asma itu juga tidak lepas dari Allah bukan sesuatu yang lain yang berada di
luar Allah”.[27]
Dalam rumusan-rumusan tersebut, al-Asy’ari menjelaskan bahwa sifat-sifat Tuhan
itu bukan sesuatu yang inheren ada di dalam zat. Rumusan yang diberikan oleh
al-Asy’ari membuat kita bisa mengibaratkannya dengan seorang laki-laki,
katakanlah si A. Wujud si A hanya satu, si A itu sendiri, tetapi ia memiliki
sifat-sifat dan juga perbuatan-perbuatan, akan tetapi sifat-sifat itu tidak
merupakan sesuatu yang berdiri sendiri diluar wujud si A, melainkan merupakan
sesuatu yang melekat pada diri si A. Tetapi sifat itu bukanlah sebagai wujud si
A. Pengkiyasan semacam ini tidak bisa diartikan sebagai mempersamakan Tuhan
dengan manusia, melainkan harus dipahami sebagai suatu metode yang agak dekat
bisa diterima secara rasio dalam menjelaskan tentang sifat dan zat Tuhan.
Kemudian Imam al-Sanusi salah
seorang penerus Al-Asy’ari melakukan
klasifikasi sifat-sifat Tuhan. Ia
mengemukakannya dalam kitabnya, Ummu-Ibarahin dengan klasifikasiYaitu,
Sifat nafsiyyah, Sifat salbiyyah, Sifat ma’ani dan Sifat ma’nawiyyah[28]
.
Sifat nafsiyyah, yakni sifat untuk
menegaskan adanya Allah SWT, dimana Allah SWT menjadi tidak ada tanpa adanya
sifat tersebut. Yang tergolong sifat ini hanya satu, yakni sifat wujud.
Sifat salbiyyah, yaitu sifat yang
digunakan untuk meniadakan sesuatu yang tidak layak bagi Allah SWT. Sifat
salbiyyah ini ada 5 sifat, yakni : 1) Qidam, 2) Baqo’, 3) Mukhalafatu
lil hawaditsi, 4) Qiyamuhu binafsihi, dan 5) Wahdaniyyah
Sifat ma’ani, adalah sifat yang pasti
ada pada Dzat Allah awt. Terdiri dari tujuh sifat, yakni : 1) Qudrat, 2)
Iradah, 3) Ilmu, 4) hayat, 5) Sama’,6) Bashar
dan 7) Kalam
Sifat ma’nawiyyah, adalah sifat yang
mulazimah (menjadi akibat) dari sifat ma’ani, yakni : 1) Qodiran, 2) Muridan,
3) Aliman, 4) Hayyan, 5) Sami’an,6) Bashiran dan 7) Mutakalliman.
Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak membatasi
sifat-sifat Allah menjadi dua puluh sifat. Ahlussunnah Wal Jama’ah menetapkan
sifat dua puluh karena sifat dua puluh itu adalah sifat Dzat Allah yang menjadi
syarat ketuhanan (syarthul uluhiyyah). Sedangkan sifat-sifat Allah yang
lain adalah shifat af’al (sifat yang berkaitan dengan perbuatan) Allah.
Dan shifat al-afal Allah itu jumlahnya banyak serta tidak terbatas.
Adanya wasiat tentang amanat Khalifah yang
diberikan Rasulullah Shallallohu’alaihi wa salalm. kepada Ali Bin Abi Thalib
sebelum meningnya beliau. Dengan anggapan seperti itu akhirnya kelompok Syi’ah
mengangap bahwa khalifah rasyidah sebelum Ali merampas hak khalifah yang
seharusnya dimiliki oleh Ali Radhiallohu’anh, Mereka juga menganut faham wihdatul wujud,
yaitu bersatunya dzat imam mereka dengan Allah[29].
Aliran salaf telah menganggaf sesat atas golongan filosop, aliran
Mu’tazilah dan golongan taswuf. Karena mereka mempercayai bahwa adanya
persatuan diri mereka dengan Dzatd tuhan (Ittihat) atau peleburan diri
dengan dzat tuhan (Fana)[30]
Dalam masalah sifat-sifat tuhan, al-Maturidy sependafat dengan al-Asy’ari
bahwa tuhan mempunyai sifat, akan tetapi mereka menafikan namun bukan sebagai
dzat, tetapi juga tidak lain dari tuhan[31].
Pemahaman tentang
Qadariyah ini jangan dikacaukan dengan pemahaman tentang sifat al-Quradat yang
dimiliki oleh Allah, karena pemahaman terhadap sifat al-Qur'an ini lebih
ditujukan kepada upaya ma'rifat kepada Allah. Sedangkan paham Qadariyah lebih
ditujukan kepada qudrat yang dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara
quradat yang dimiliki manusia dengan quradat yang dimiliki Tuhan. Quradat Tuhan
adalah bersifat abadi, kekal, berbeda pada Dzat Allah, tunggal. Tidak terbilang
dan berhubungan dengan segala yang dijadikan objek kekuatan (al-Maqdurat).
Serta tidak berakhir dalam hubungannya dengan Dzat. Sedangkan qudrat manusia
adalah sementara, berproses, bertambah dan berkurang, dapat hilang.
Dengan demikian paham
Qadariyah di samping berbeda dengan paham tentang sifat quradat Allah, juga
berbeda dengan pemahaman takdir yang umumnya dipahami masyarakat, yaitu paham
yang berpendapat bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu sejak
azali. Dan bahwa manusia dalam perbuatannya hanya bertindak manurut nasib yang
telah ditentukan oleh Tuhan terhadap dirinya. Demikian juga aliran
Jabaryah memilki pemikiran yang sama dengan Qadariyah.
F. KESIMPULAN
Dengan demikian islam
adalah agama yang mempunyai unsur-unsur yang tidak dappat terhitung oleh rasio,
sekian banyak perbedaan pendapat, dan sekkian banyak pola pikir yang kritis
mengkritisi apa sebenarnya di balik Dzat, Sifat, Af,al.
Qadariyah, Jabariyah,
Asy’riyah, Maturidiyah, Syiah, Ahlus-sunah, semuanya mempunyai argumen yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist, walaupun mereka berbeda dalam pola
pemikiran tetapi mereka satu dalam niat dan keyakinan yanitu membesarkan Allah
SWT. Kita sebgai umat yang mengetahu tentang semua ini mampu mengambil
kesimpulan bahwa agama islam adalah agama yang mempunyai wawasan yang sangat
luas, kita jadikan semuanya sebagai modal keyakinan dalam kehidupan, hingga
mempunayi iman yang sangat kuat dan kokoh.
DAFTAR PUTAKA
Abi Al Fath
Muhammad Abd. Al Karim Ibn Abi Bakr Al Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal,
Darl Al Fikr, t,t.
Fathullah Amal
Zarkasyi, Ilmu Al- Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa Qodloyaha
Al-Kalamiyyah, Ponorogo: Darussalam University Press, 2006.
-------- ,
Kuliah Tentang Konsep Tauhid Dalam Perspektif Filsafat, Ilmu Kalam dan
Tasawwuf, Ponorogo: Fakultas Ushuluddin ISID, 2006.
Fukuyama
Francis, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta:
Qalam, 2001.
Hanafi A., Pengantar Theology Islam. Jakarta: Pustaka
Al-Husna, cet. ke V, 1989.
Hasan Abul Ali bin Ismail al-Asy’ari, Al-Ibanah
an al-Diyanah al-Diyanah, Madinah: al-jami’ah al-Islamiyah Markaz su’untuk
al-dakwah, 1409.
Hanafi Ahmad, Teologi Islam (Ilmu kalam),
jakarta: Bulan Bintang, cet,2, 2010.
As’ari, Prinsip-prinsip dasar aliran
teologi islam, Buku 2, terj. Rosihan Anwar dan Taufik Rahman, Pustaka
Setia:Bandung,2000.
Al-Jabbar
Abd. Adlan et.al. Dirasah Islamiyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran
Islam, Surabaya: CV Anika Bahagia Offset, 1995.
Jibouri Yasin T., Konsep Tuhan Menurut Islam. Terjemahan
oleh Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera Basritama, cet ke I, 2003.
Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak
Bermazhab.Terjemahan oleh A.M.Baslamah, Jakarta: Gema Insani Press, cet.ke
II, 1995.
Nasution Harun, Teologi Islam,
Cet V. Jakarta: UI Press, 1986.
--------, Teologi islam:Aliran-aliran
sejarah analisa perbandingan, UI Press: Jakarta, 1986
Sabiq Sayyid, Aqidah Islam, Pola Hidup
Manusia beriman, Bandung:CV,Diponegoro, 2010.
Asy-Syahrastani,
Al Milal wa Al Nihal: Aliran-aliran Theologi dalam sejarah umat manusia,
diterjemahkan oleh Asywadie Syukur, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003.
-------- , Al-mihal wa An-Hilal, Dar
Al-Fikri, Beirut, t,t.
Takhir Taib Mu’in, Ilmu kalam, Jakarta:
Pt. Wijaya, 1980.
At-Tamimi Muhammad, Kitab tauhid,
Jakarta: Darul Haq, 1999.
Wardani, epistemologi Kalama abad pertengahan, Yogyakarta:
LKis,2003.
[1] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam. (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, cet. ke V, 1989),hal.12.
[2] Yasin T. Al-Jibouri, Konsep Tuhan Menurut Islam.
Terjemahan oleh Ilyas Hasan. (Jakarta: Lentera Basritama, cet ke I, 2003),hal.231.
[3] Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak
Bermazhab.Terjemahan oleh A.M.Baslamah, (Jakarta: Gema Insani Press, cet.ke
II, 1995),hal. 26.
[4] Thaaha : 14.
[5] Asy Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal:
Aliran-aliran Theologi dalam sejarah umat manusia, diterjemahkan oleh
Asywadie Syukur, ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003) . hal.
[6] Maksudnya: kaum muslimin
waktu itu berada di pinggir lembah yang dekat ke Madinah, dan orang-orang kafir
berada di pinggir lembah yang jauh dari Madinah. sedang kafilah yang dipimpin
oleh Abu Sofyan itu berada di tepi pantai kira-kira 5 mil dari Badar.
[8] Maksudnya: agar
orang-orang yang tetap di dalam kekafirannya tidak mempunyai alasan lagi untuk
tetap dalam kekafiran itu, dan orang-orang yang benar keimanannya adalah
berdasarkan kepada bukti-bukti yang nyata
[9] Wardani, epistemologi Kalama abad
pertengahan,(Yogyakarta: LKis,2003).hal.
[13] Harun Nasution, Teologi islam:Aliran-aliran sejarah
analisa perbandingan, (UI Press: Jakarta, 1986).,h.135.
[15] Abi
Al Fath Muhammad Abd. Al Karim Ibn Abi Bakr Al Syahrastani, Al Milal wa Al
Nihal, Darl Al Fikr h, 116.
[16] Francis
Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. (Yogyakarta:
Qalam, 2001),
hal. 10
[17] Al-As’ari, Prinsip-prinsip dasar aliran teologi islam,
Buku 2, terj. Rosihan Anwar dan Taufik Rahman, (Pustaka Setia:Bandung,2000)
[18] Dia adalah salah seorang tokoh Mu,Tazilah terkemuka. Nama
lengkapnya adalah Muhammad Al-Hudzail bin Abdillah Al-Bashri al-Allaf. Ia
adalah murid abu Ustman Al-Za’fari (salah seorang murid Washil Atha) sebutan
Al-Allaf diperolehnya karna tempat tinggalnya di basrah terletak di kampung
tempat orang menjual hewan ternak, Ia lahir pada tahun 135 H di Bashrah dan
wafat pada tahun
[19] Amal Fathullah Zarkasyi, Ilmu Al-
Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa Qodloyaha Al-Kalamiyyah, (Ponorogo:
Darussalam University Press, 2006) hal. 47.
[20] Amal
Fathullah Zarkasyi, Ilmu Al- Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa
Qodloyaha Al-Kalamiyyah, h, 50.
[21] Amal Fathullah Zarkasyi, Kuliah Tentang
Konsep Tauhid Dalam Perspektif Filsafat, Ilmu Kalam dan Tasawwuf,
(Ponorogo: Fakultas Ushuluddin ISID, 2006) hal. 7.
[22] Asy Syahrastani, Al-Milal
Wa Al-Nihal: Alliaran-aaliran teologi dalah sejarah umat manusia di terjemahkan
oleh Asywadie Sykur, (Pt.Bintang Ilmu: Surabaya, 2003),. h.
[27] Abd. Jabbar Adlan et.al. Dirasah Islamiyah
Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam (Surabaya: CV Anika Bahagia
Offset, 1995), h, 39.
[31] Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Al-Ibanah an
al-Diyanah al-Diyanah, (Madinah: al-jami’ah al-Islamiyah Markaz su’untuk
al-dakwah, 1409), h. 16.
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100