filsafat bayani

author photo May 14, 2012

ALIRAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM (BAYANI)
A.   Pendahuluan
Terkadang apabila berbicara tentang filsafat, yang ada dalam pikiran kita adalah hal-hal yang berbau dengan isme-isme. Dan juga berupa sebuah rumusan dari hasil pemikiran-pemikiran.
Filsafat sesungguhnya bukan hanya sekedar bahasan tentang isme-isme atau aliran-aliran pemikiran, apalagi sekedar uraian tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam lengkap dengan tokoh-tokohnya, tetapi lebih merupakan bahasan tentang proses berpikir. Filsafat adalah “metodologi atau epistemologi  berpikir”, yaitu berpikir kritis, analisis dan sistematis. Filsafat lebih mencerminkan “proses” berpikir dan bukan sekedar “produk” pemikiran.
Sebenarnya filsafat melatih akal pikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide yang segar sehingga ia menjadi alat intelektual yang sangat penting bagi ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu agama dan teologi, oleh karena itu orang yang menjauhi filsafat dikatakan telah melakukan bunuh diri intelektual. Kelesuan berfikir dan berijtihad dikalangan umat Islam sampai saat ini, salah satunya disebabkan oleh keengganan dan kesalah fahaman mereka dengan filsafat. Bahkan, menurut Al-Jabiri, sejak pertengahan abad ke-12 M, hampir semua khazanah inelektual Islam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan.[1]
Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.
Dalam makalah ini kami akan mencoba membahas hal-hal yang terkait mengenai aliran pemikiran islam BAYANI atau biasa pula di sebut dengan epistimologi BAYANI.
B.     Pengertian Bayani
Kata Bayan ini berasal dari bahasa arab yang berarti penjelasan (eksplanasi). Dan berdasarkan kamus karya Ibn Mandzur yaitu kamus Lisan al-Arab kamus yang dianggap sebagai karya pertama yang belum dicemari pengertian lain, mengenai kata Bayan ini diartikan al-fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dan al-zhuhur wa al-izhhar (jelas dan penjelas). Makna Al-fash wa al-izhhar dikaitkan dengan metodeloginnya sedangkan infishal wa zhuhur dikaitkan dengan visi[2] (ru’y) dari metode Bayani.[3]
Sementara itu, secara terminologi, bayan membunyai dua arti, yang pertama : Sebuah aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin tafsir al-khitabi), yang kedua : Syarat-syarat memproduksi wacana (syurut intaj al-khithab).[4] Makna termonologi ini baru muncul pada masa kodifikasi (tadwin).
Bayani adalah metode berfikir khas Arab yang menekankan otoritas[5] teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dijustifikasi[6] oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi[7] (Istidlal). Yang dimaksud dengan secara langsung ialah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaflikasikannya. Sedangkan yang dimaksud dengan secara tidak langsung ialah memahami teks sebagai pengetahuan menta sehinnga perlu tafsir dan penalaran.
Meskipun secara tidak lansung memerlukan tafsir dan penalaran, tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap haris bersandar pada teks.
Dalam bayani, raiso dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan keculi disandarkan pada teks. Dalam perspektif[8] keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik[9] (syariat).[10] Rasio menurut metodologi ini hanya berperan-fungsi sebagai pengawal bagi keamanan otoritas teks tersebut.[11]
Adapun Teks yang di maksud disini adalah secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1.      Teks nash : al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW,
2.      Teks non-nash : karya para Ulama.[12]

C.     Perkembangan Bayani
Pada masa Syafi’i yang dianggap sebagai letak dasar yurisprudensi[13] islam, bayani berupa nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furu’). Kemudian sedangkan dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayani ini dalam lima bagian dan tingkatan:
1.      Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah di jelaskan Allah dalam Al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
2.      Bayan yang beberapa bagian masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
3.      Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
4.      Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
5.      Bayani Ijtihad yang di lakukan dengan kias karna sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an ataupun sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yakni Al-Qur’an, sunnah, dan Qias, kemudian di tambah ijma’.
Kemudian Al-Jahizh datang mengkritik konsep bayan Syafi’i. Menurutnya apa yang dilakukan Syafi’i baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal menurutnya inilah yang terpenting dari proses bayani.
Karena itu sesuai dengan asumsinya bahwa bayan adalah syarat-ayarat untuk memproduksi wacana dan bukan hanya sekedar aturan-aturan penafsiran wacana, Jahizh menetapkan syarat bagi bayani :
1.      Syarat kefasehan ucapan,
2.      Seleksi huruf dan lafal sehingga apa yang di sampaikan bisa menjadi tepat,
3.      Adanya keterbukaan makna yakni bahwa makna harus bisa diungkapkan dengan salah satu dari lima bentuk penjelasan yakni lafal, isyarat, tulisan, keyakinan dan nisbah,
4.      Adanya kesesuaian antara kata dan makna,
5.      Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.[14]
Sampai di sini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sebagai sekedar penjelas atas kata-kata sulit dalam al-Qur`an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks (nash), membuat kesimpulan dan keputusan atasnya, kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar, bahkan telah ditarik sebagai alat untuk memenangkan perdebatan.
Namun, apa yang ditetapkan al-Jahizh dalam rangka memberikan uraian pada pendengar tersebut, pada masa berikutnya, dianggap kurang tepat dan sistematis. Menurut Ibn Wahhab, bayani bukan diarahkan untuk ‘mendidik’ pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun konsep diatas dasar ashul-furu`; caranya dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqh dan kalam (teologi).[15]
Paduan antara metode fiqh yang eksplanatoris (keterangan yang bersifat menjelaskan) dan teologi yang dialektik[16] dalam rangka membangun epistemologi bayani baru ini sangat penting, karena menurutnya, apa yang perlu penjelasan (bayan) tidak hanya teks suci tetapi mencakup empat hal, Yaitu :
1.  Wujud materi yang mengandung aksiden dan substansi,
2.  Rahasia hati yang memberi keputusan bahwa itu benar-salah, dan subhat, saat terjadi perenungan,
3.  Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi,
4.  Teks-teks yang merupakan representasi[17] pemikiran dan konsep.
Dari empat objek diatas, Ibn Wahhab menawarkan 4 macam Bayani, yaitu :
1.  Bayan al-I’tibar untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan materi,
2.  Bayan al-I’tiqad berkaitan dengan hati (qalb),
3.  Bayan al-‘Ibarah berkaitan dengan teks dan bahasa,
4.  Bayan al-Kitab yang berkaitan dengan konsep-konsep tertulis.[18]

Pada periode terakhir, muncul al-Syatibi sekitar abad ke-12  menurutnya , sampai sejauh itu bayan belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qoth’i) tapi baru derajat dugaan (zhonn) sehingga tidak bisa di pertanggung jawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani yaitu istinbat dan qiyas hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan.[19] Oleh karena itu al-Syatibi menawarkan 3 teori yaitu: Al-IstinIaj, Al-Isthiqra’ dan Maqasid al-Syari’, yang dieleminir dari pemikiran Ibn Rusyd dan Ibn Hazam.[20]
Al-istintaj sama dengan silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului. Menurut Syibthibi proses silogisme ini penting, sebab menurutnya semua dalil syara’ telah mengandung dua premis, yaitu : naqliyah dan nazhariyah. Istiqra’ adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema kemudian diambil tema pokoknya, tidak berbeda dengan tematik induction. Sedangkan maqasid al-syari’ berarti bahwa diturunkannya syariah ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu: primer (dharuriyah), sekunder (hajiyah) dan tersier (tahsiniyah).
Pada tahap ini, metode bayani telah lebih sempurna dan sistematis, dimana proses pengambilan hukum atau pengetahuaan tidak sekedar mengqiyaskan furu’ pada ashl tetapi juga melalui silogisme.
D.    Sumber Pengetahuan Bayani
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushul al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan hadis. Ini berbeda dengan pengetahuan Burhani yang mendasarkan diri pada rasio dan Irfani[21] pada intuisi. Karena itu, epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.
Persoalan proses tranmisi ini sangat penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa di pertanggungjawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggungjawabkan dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum (hujjah).[22] 
   Karena itu, pada masa tadwin (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para ilmuan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima. Misalnya Imam Bukhari, memberikan syarat yang tegas untuk penerimaan sebuah teks hadist.[23] Pada masa sahabat pun punya syarat yang tegas dalam penerimaan teks hadist.
Tentang nash al-Qur`an, dari segi penunjuk hukumnya (dilalah) ada terbagi dua, Qath’i dan zhanni. Nash yang qath’i ialah nash-nash yang menunjukan adanya makna yang dapat dipahami dengan pemahaman tertentu, atau tidak perlu menggunakan tafsir atau takwil, atau teks yang tidak mempunyai arti yang lain kecuali yang satu itu. Dalam konsep Syafi’i ini yang disebut bayan yang tidak perlu penjelasan. Nash yang  zhanni nash-nash yang pada maknanya masih memerlukan adanya penakwilan.
Pada sunnah lebih luas lagi, dalam al-Qur`an hanya berkaitan dengan penunjuk hukumnya saja,  sedangkan dalam sunnah dari segi periwayatan dan dilalah-nya. Disegi periwayatanya teks hadist tersebut benar-benar dari nabi atau tidak, bahkan proses ini sangat menentukan sah tidaknya proses tranmisi teks hadist, yang dari sana kemudian lahir berbagai macam kualitas hadist, seperti mutawwatir, ahad, shahih, dhoif, marfu’, maqtu’ dan yang lainnya. Dari segi dilalah, makna teks hadist tersebut tellah memberikan makna yang pasti atau masih bisa ditakwil.[24]
E.     Metode Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fiqh, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalh lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan inilah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas:
1.      Adanya al-ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, Ashl disebut juga al-maqis ‘alaih (tempat mengiaskan sesuatu).
2.      Al-far yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash ,
3.      Hukum al-ashl yakni ketetapn hukum yang diberikan oleh ashl,
4.      ‘Illah yakni keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum ashl.[25] berdasarkan illah inilah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dapat di kembangkan.[26]
Contoh qiyas, keharaman memukul orang tua, diqiyaskan memakinya saja sudah haram. Memukul orang tua disebutkan sebagai far, diqiyaskan kepada kalimat Uf  yaitu ashl-nya. Hukumnya haram, karena mempunyai ‘illah yang sama.[27]
Menurut Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1) qiyas jali , dimana far mempunyai persaolan hukum yang kuat di banding ashl , 2) qiyas fi makna an nash dimana ashl dan far mempunyai derajat hukum yang sama, 3)qiyas al kahfi dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Menurut Abd al jabar, seorang pemikir teologi muktazilah, metode qiyas bayani diatas tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan non fisik.[28]
F.     Kritik Terhadap Bayani
Metodologi berfikir tersebut dalam lembaran sejarah telah menorehkan prestasinya. Nalar bayani telah membesarkan disiplin fiqh dan teologi (ilmu kalam).
Namun bukan berarti ketiga metodologi tersebut bebas cacat. Kelemahan bayani adalah ketika berhadapan dengan teks yang berbeda milik komunitas atau bangsa lain. Karena otoritas terletak ditangan teks sedangkan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh komunitas lain, maka pada saat berhadapan dengan pertentangan tersebut nalar bayani biasanya cenderung mengambil sikap dogmatik[29], defensif[30] dan apologetik[31], ia demikian tertutup sehingga kadang sulit untuk bisa diajak berdialog yang sehat.[32]
Walaupun Islam memerlukan nalar bayani, namun di sisi lain penggunaan nalar bayani secara berlebihan akan menimbulkan permasalahan baru, yaitu kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat berubah. Faktanya, pemikiran Islam saat ini yang masih banyak didominasi pemikiran bayani fiqhiyyah kurang bisa merespon dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Dengan begitu, mestinya kajian model ini diperkuat dengan analisis konteks, bahkan kontekstualisasi (relevansi).[33]
Tentunya Bayani ini tidak bisa berdiri sendiri, perlu untuk menyatukannya dengan Metodologi Burhani(rasional) dan Irfani(ma’rifat). Maksudnya, ketiga model tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing sehingga terciptalah Islam yang 'shalih li kulli zaman wa makan', Islam yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban.
G.    Kesimpulan

Bayani adalah metode berfikir khas Arab yang menekankan otoritas  teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dijustifikasi  oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi  (Istidlal). Yang dimaksud dengan secara langsung ialah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaflikasikannya. Sedangkan yang dimaksud dengan secara tidak langsung ialah memahami teks sebagai pengetahuan menta sehinnga perlu tafsir dan penalaran.
Pengertian tentang bayan ini berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Pada masa Syafi’i yang dianggap sebagai letak dasar yurisprudensi  islam, bayani berupa nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furu’).
Al-Jahizh datang mengkritik konsep bayan Syafi’i. Karena itu sesuai dengan asumsinya bahwa bayan adalah syarat-ayarat untuk memproduksi wacana dan bukan hanya sekedar aturan-aturan penafsiran wacana. Dan bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh.
Apa yang ditetapkan al-Jahizh dianggap kurang tepat dan sistematis. Menurut Ibn Wahhab, bayani bukan diarahkan untuk ‘mendidik’ pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun konsep diatas dasar ashul-furu`; caranya dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqh dan kalam (teologi).
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Persoalan proses tranmisi  sangat penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.
Walaupun Islam memerlukan nalar bayani, namun di sisi lain penggunaan nalar bayani secara berlebihan akan menimbulkan permasalahan baru, yaitu kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat berubah.

















DAFTAR PUSTAKA

Djunaidi, Wawan, Fikih,Jakarta, UFS Putra, 2008.
Nasution, Khairuddin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta : ACA de MIA+TAZZAFARA, 2009.
Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2004.

Dari internet :

http://Albi4ever.Blogspot.Com/2007/09/Filsafat-Dan-Metodologi-Pemikiran-Islam.Html  (22-04-12).
http://blog.uin-malang.ac.id/ansur/2011/06/10/epistemologi-islam/. (25-04-2012).
http://cpchenko.blogspot.com/2011/11/epistemologi-bayani.html (22-04-2012).




[2]  A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2004), h. 177-178.
[3]  Visi : 1. Kemampuan untuk melihat inti persoalan, 2. Pandangan atau wawasan kedepan, 3. Penglihatan; pengamatan. Lihat KBBI v1.3.
[4] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 178.
[5] Otoritas : 1. Hak untuk bertindak, 2. Kekuasaan; wewenang, 3. Hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain.  Lihat KBBI v1.3.
[6] Justifikasi : Putusan (alasan, pertimbangan) berdasarkan hati nurani. Lihat KBBI v1.3.
[7] Inferensi : Simpulan; yang disimpulkan. Lihat KBBI v1.3.
[8] Perspektif : Sudut pandang; pandangan. Lihat KBBI v1.3.
[9] Eksoterik  : Pengetahuan yang boleh diketahui atau dimengerti oleh siapai saja. Lihat KBBI v1.3.
[10] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 177.
[11]http://Albi4ever.Blogspot.Com/2007/09/Filsafat-Dan-Metodologi-Pemikiran-Islam.Html  (22-04-12)
[12] Khairuddin Nasution, Pengantar Studi Islam, ( Yogyakarta : ACA de MIA+TAZZAFARA, 2009), h. 43.
[13] Yurisprudensi : Ajaran hukum melalui peradilan. Lihat KBBI v1.3.
[14] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 178-179.
[16] Dialektik :  Seni berfikir yang teratur, logis dan teliti. Lihat KBBI v.1.3.
[17]  Representasi : 1. Apa yang mewakili; perwakilan. Lihat KBBI v.1.3.
[18] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 180.
[19] http://blog.uin-malang.ac.id/ansur/2011/06/10/epistemologi-islam/. (25-04-2012).
[20] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 181.
[21] Burhani & Irfani akan dibahas di makalah berikutnya.
[22] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 182.
[23]   http://cpchenko.blogspot.com/2011/11/epistemologi-bayani.html (22-04-2012).
[24] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 183.
[25]  http://blog.uin-malang.ac.id/ansur/2011/06/10/epistemologi-islam/. (25-04-2012).
[26]  http://cpchenko.blogspot.com/2011/11/epistemologi-bayani.html (22-04-2012).
[27] Wawan Djunaidi, Fikih,( Jakarta : UFS Putra, 2008), h. 48.
[28] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 188-189.
[29] Dogmatik : Hal ihwal ajaran serta keyakinan agama atau kepercayaan yang tidak boleh dipersoalkan (harus diterima sebagai kebenaran). Lihat KBBI v1.3.
[30] Defensif : 1. Bertahan.
[31] Apologetik : Uraian sistematis untuk mempertahankan suatu ajaran. Lihat KBBI v1.3.
[32]  http://Albi4ever.Blogspot.Com/2007/09/Filsafat-Dan-Metodologi-Pemikiran-Islam.Html  (22-04-12).
[33]  http://cpchenko.blogspot.com/2011/11/epistemologi-bayani.html (22-04-2012).

This post have 0 komentar


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
Previous article Previous Post