1.
Aliran Pemikiran Filsafat Islam ( Irfani / Gnosisme).
Tidak dapat kita ragukan lagi bahwa Umat Islam ikut terlibat dalam
pemikiran Filsafat yang kemudian mendeskripsikan dan mengenalkan banyak
Filosof Muslim yang bergelut didalamnya. Jika dalam disiplin ilmu
orang-orang Yunani, kita sebut sebagai Filsafat Yunani (Greek), akan
tetapi jika dibawah naungan Islam boleh lah kita katakan sebagai Filsafat
Islam, karena dipengaruhi oleh nilai-nilai corak keislaman.
Kita juga sering menyebutnya Filsafat Arab, karena bahasa
yang paling popular pada saat ilmu ini berkembang pesat di dunia Islam
adalah bahasa Arab, dan sangat membuang waktu jika penyebutan tersebut
menjadikan perpecahan karena adanya Rasisme, karena hal ini tidak sesuai
dengan kaidah kefilsafatan Islam itu sendiri yang harus bebas dari hal-hal yang
bertolak belakang dengan ajaran murni Islam. Selain itu, Filsafat Islam tampak
lebih luas dari aliran-aliran Aristotelisme Arab, karena aliran Teologis
(kalam) adalah contoh filsafat dari corak Islam dan telah dikenal serta menjadi
tokoh.[1]
Filsafat sangat
diperlukan dalam kehidupan ini, karena dalam menjelaskan sesuatu yang tabu dan
Mistik di dunia ini menjadi sebuah hal yang Rasional yaitu dengan metode
Filsafat, yang dengannya, suatu doktrin atau ilmu tidak hanya
sebatas diyakini tanpa dilihat kebenarannya. Salah satu cabang dari Filsafat
adalah Epistemologi, epistemologi
adalah cara mendapatkan pengatahuan yang benar[2]
sebab didalamnya terdapat pembahasan menganai bagaimana cara mendapatkan
pengetahuan.
Sesuai dengan hal ini maka pada Ending-nya yang dikatakan
oleh Filsafat dengan Epistemologi pasti akan bersentuhan dengan
yang dinamakan Logika.[3]
Meskipun logika itu sendiri disusun pertama kali oleh Aristoteles
(384-322 SM), yang juga disebut sebuah ilmu tentang hukum berfikir agar
terpelihara dari setiap kekeliruan, dan juga membimbing dan menuntun seseorang
supaya berfikir teliti.[4]
Metodologi (Epistemologi) pemikiran Islam bukan hanya
sebatas mengandalkan Eksperimen Lahiriyah, akan tetapi harus dengan kesucian
hati, setidaknya ada dua manfaat yang bisa kita peroleh dari model gabungan
antara Rasio dan hati:[5]
Manfaat yang bisa diambil dari kedua model tersebut adalah:
Pertama, agar kita
tidak ikut jatuh dalam problem spiritulitas manusia modern (Barat), yang hanya
berpegang pada kekuatan rasio, tanpa kekuatan spiritual dan
agama.
Kedua, diharapkan
akan diperoleh nilai atau ide-ide yang lebih tinggi dari “alam langit” sehingga
bisa menghasilkan manfaat yang besar bagi kemanusiaan.
Dan bagian dari cabang Filsafat yang paling mendasar adalah sebagai
berikut:
Ontologi Teologi (Ketuhanan)
Filsafat Epistemologi
Antropologi Manusia(Humanistis)
Aksiologi Kosmologis Alam Semesta(Universe)
-Estetika
(Keindahan)
-
Etika (Tingkah Laku)
Sementara
Epistemologi terbagi dalam dua kategori:[6]
1.
Epistemologi keilmuan
Barat Natural Science,
Humanity, Social Science
2.
Epistemologi Islamic
Studies Classical Science
Baik diperselisihkan ataupun
tidak baik dari segi nama maupun kandungannya, Filsafat Islam tetap dipandang
mempunyai corak yang tersendiri dan problem yang Khas serta kepribadian
sendiri dari Filsafat Barat, sehingga ia give a contribution yang
tak bisa kita remehkan dalam kinerja manusia yang mempunyai tempat sendiri
dalam dunia.[7]
Para Filosof Islam selain juga mereka sebagai Filosof,
mereka juga sebagai Ilmuan yang berkecimpung dalam dunia Science, yang
mengembangkan ilmu agar sesuai dengan zaman, karenanya tidak ada Filsafat yang
terpisah dari suatu kajian yang kita namakan dengan kajian Ilmiah atau keilmuan
yang menyesuaikan dengan peradaban manusia di masing-masing Zaman.[8]
Untuk perangkat analisis Epistemologi yang bercorak keislaman, maka kita
memerlukan apa yang disebut oleh M. Abid al-Jabiri dengan Epistemologi
Bayani, Irfani dan Burhani.[9]
Irfan semakna dengan Ma’rifat yang berasal dari bahasa Arab yakni
‘arafa yang berarti pengetahuan.[10] Akan
tetapi Irfan berbeda dengan ilmu, yang berkaitan dengan rasional yang
dibuktikan melewati research tetapi berkaitan dengan pengetahuan yang
diperoleh langsung dari atau melewati pengalaman (Experience).Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat dengan Konsepsi Tasawuf.[11]
Karena
itu, pengetahuan Irfani
tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana
dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain
secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan Irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan;[12]
2.
Teknik Penelitian Irfani:
Secara umum kita ketahui bersama
bahwa teknik penelitian Irfani terbagi kepada:[13]
1. Riyâdhâh: yakni rangkaian latihan dan Ritus dengan tahap dan
prosedur tertentu.
2. Tharîqah: yaknikehidupan berjamaah yang mengikuti aliran tasawuf
yang sama.
3. Ijazah: yakni murid yang telah dianggap memenuhi syarat, akan
diberikan wewenang oleh sang mursyid untuk mengajarkan ilmunya.
Irfani juga mampunyai langkah-langkah penelitian yaitu:[14]
Irfani Takhîlyah
Tahlîyah
Langkah (metodologi).
Tajlîyah
Takhlîyah: Mengosongkan pikiran dari makhluk dan mamusatkan perhatian pada
Tuhan.
Tahlîyah: memperbanyak amal Shaleh dan melazimkan korelasi dengan sang
Khaliq lewat ritus-ritus tertentu.
Tajlîyah: menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapi.
Secara terminologis, Irfan
dapat diartikan sebagai ekspresi atas pengetahuan yang diperoleh melalui
kedekatannya kepada Tuhan setelah adanya olah ruhani (Riyâdlah) atas dasar
cinta kepada Tuhan. Ilmu (pengetahuan) yang kemudian menjadikan Irfan
lebih dikenal dengan Terminologi Mistis yang secara khusus berarti Ma’rifat
dalam pengertian pengetahuan Tuhan.[15]
Irfan Irfan Ilmi
Irfan
Amali
Irfan
Ilmi lebih bersifat Teoretis, karena bersifat Ilmiah,Rasional
dan mempunyai metode, berhubungan dengan Ontologi, karena membicarakan
Tuhan, dunia, dan manusia, Irfan Ilmi merupakan gabungan antara Filsafat dan Isyraqiyah,
dan pada dasarnya aliran Irfan dan Isyraq merupakan aliran
Filsafat Sufisme yang meninggalkan kerangka kerja Operatif dan
metodenya yaitu Dzikir.[16]Sementara itu, Irfan
teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (Ontologi),
mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini
menyerupai teosofi (Falsafah Ilahi) yang juga
memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini
mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya. Namun, jika filsafat
hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, Irfan mendasarkan
diri pada ketersibukan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
rasional untuk menjelaskannya.[17]
Sementara Irfan
Amali bersifat praktis (hubungan Vertikal antara Hamba dengan Tuhan)
atau lebih mirip dengan Tasawuf. Menurut Irfaniyyun, Ilmu ada dua macam:
a. Ilmu lahir
Ilmu lahir untuk masyarakat Awam yang
memperoleh ilmu dari Nabi Saw.
b. Ilmu Bathin
Ilmu Bathin untuk
para Imam dan wali yang diperoleh malalui Kasyf, maka dalam Irfan
dikenal dengan Pasangan kewalian dan kenabian sebagai representasi yang lahir,
kenabian ditandai dengan wahyu dan mukjizat serta dari bawaan (sebagai bawaan,
Fitrah), sementara kewalian ditandai dengn Irfan dan Karamah.Dalam epistemologi irfani, untuk
bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan
spiritual. . Namun, karena pengetahuan Irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan
representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri
dan kehadiran diri dalam Tuhan,[18] Sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak
semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[19]
Setidaknya
ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh
tahapan itu adalah:
a. Taubat, yakni meninggalkan
segala perbuatan yang kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang
kemudian diganti dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak
jelas statunya . apakah sesuatu tersebut halal atau haram (Syubhât).
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan
dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari
kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki
apapun kecuali Tuhan swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan
rela namun tidak berarti diam.
f. Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh Tuhan.
g. Ridla,hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya
gembira dan suka cita.
Dengan kedekatan kepada Tuhan maka penyinaran atau Ilham
dari Tuhan, maka seseorang yang menjalaninya akan mendapat suatu pengetahuan
yang telah didapatkan melalui pengalaman (Experience). Metode ini
menggunakan aspek kesucian hati sebagai syarat untuk memperoleh ilham dari
Allah.
Hakikat Allah
sebagai cahaya, telah mewariskan pengaruhnya pada Spiritualitas
keislaman, bukan hanya melalui Mazhab Illuminasi (Isyrâq), yang
didirikan oleh Syihâb Al-Dîn Suhrawardi, melainkan juga dalam cabang
mazhab Illuminasionis yang lebih umum yang dijumpai secara luas dalam
berbagai bentuk dan mazhab dan Filsafat Islam, termasuk Irfani.[20]
Isyraq
berarti bersinar atau memancarkan cahaya dan tampak searti dengan Kasyf tapi
intinya adalah penyinaran (Illuminasi).[21]
Isyrâq
(Iluminasi) mula-mula
digagas oleh Al-Fârâbî, Filosof Iluminasi yang pertama dan merupakan
titik temu antara Filosof Muslim dengan kaum Sufi, yang teorinya cukup
mempunyai andil besar terhadap pengaruh pondasi Ma’rifat (Irfan) yang
dibuat oleh Sufi meskipun dengan manifestasi dan Metodologi
yang dibuat oleh orang Filosof.[22]
Kaum Filosof yang mengenalkan Teori Iluminasi Plato, kemudian
berkembang di abad ke-3 oleh Plotinus.
3.
Hakikat
Irfani
Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua
aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian
yang menjelaskan hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap dirinya,
dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian
praktis ini disebut Sayr wa Suluk
(perjalanan
rohani). Bagian ini menjelaskan bagaimana seseorang penempuh rohani (Salik) yang ingin
mencapai tujan puncak kemanusiaan, yakni Tauhid, harus
mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan (Maqam) perjalanannya
secara berurutan, dan keadaan jiwa (hal) yang bakal dialaminya sepanjang
perjalanannya tersebut. Jenis pengetahuan al-Dzauqîyah (berdasarkan perasaan)
atau Irfan (berdasarkan kearifan) ini bertentangan dengan pengetahuanRasional,
namun dalam sebuah istilah Filsafat, ia adalah pengetahuan jenis khusus yang
diproyeksikan unstuck sampai kepada penyingkapan suatu jenis
pengetahuan-pengetahuan yang maha tinggi atau merasakan pengetahuan tersebut
tertanam dalam jiwa[23]
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan
perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, Tuhan serta
alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah
ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya
filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya. Namun,
jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional,
‘irfan mendasarkan diri pada ketersibukan mistik yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.[24]
4.
Sumber Awal Irfani.[25]
Para pakar
berbeda pendapat tentang asal mula sumber irfani. Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai Sumber awal Irfani:
a. Irfan Islam berasal dari sumber Majusiseperti yang dikatakan oleh
Orientalis, alasan mereka adalah sejumlah orang yang sebagian besarnya adalah
Majusi di Iran Utara tetap pada agama mereka meskipun penaklukan oleh Islam
sudah dilakukan dan banyak tokoh Sufi berasal dari Khurasan, disamping itu
aliran-aliran Sufi dari kelompok Majusi telah ada,seperti:Ma’ruf
al-Kharki yang wafat pada tahun 815 M dan Bayazid Busthami yang
wafat pada tahun 877 M,[26] hal
ini disampaikan oleh orang Orientalis Dozy dan Thoulk.
b.
Irfan
berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan oleh Von Kramer,Ignaz
Goldziher,Nicholson, Asin Palacios dan O’lery, alasanya:
(1). Adanya Interaksi antara
orang-orang Arab dengan kaum Nashrani pada Zaman Jahiliyah maupun Zaman Islam.
(2). Adanya segi kesamaan antara
kehidupan para Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (Riyâdhah)
dan mengasingkan diri (Khalwât), dengan kehidupan Yesus (Jesus)
dan ajarannya, juga para Rahib (Pendeta) dalam soal pakaian serta cara
sembahyang.
c. Irfan ditimba/ dirujuk dari India,
seperti pendapat Horten dan Hartman, alasanya:
(1) Kemunculan dan penyebaran Irfan (Tasawuf) pertama kali
adalah di Khurasan, (2) kebanyakan dari para Sufi angkatan
pertama bukan berasal dari kalangan Arab, seperti Ibrahim Ibn Adham (w.782 M),
Syaqiq al-Balkh (w.810) dan Yahya ibn Muadz (w. 871 M) (3) Pada masa sebelum Islam, Turkistan
adalah pusat agama dan kebudayaan Timur dan Barat, mereka member warna Mistisisme
lama ketika memeluk Islam, (4) Konsep dan metode Tasawuf seperti
keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek yang sudah dilakukan oleh orang
India, khususnya orang Hindu.
d. Irfan berasal dari sumber-sumber Yunani,
khususnya Neo-Platonisme dan Hermes, seperti yang disampaikan oleh O’eary dan
Nicholson, alasannya adalah Theologi Aristoteles yang merupakan
perpaduan antara sistem Pophiri dan Proclus telah dikenal baik
dalam Filsafat Islam, nyatanya Dzun al-Nun al-Mishri (796-861 M), tokoh sufisme
yang dikenal sebagai Filosof dan pengikut Sains Hellenistik.[27]
Lalu, apakah benar bahwa Irfan bukan dari Islam?
Pendapat
pertama, bahwa Irfan bersumber dari Majusi, jelas tidak mempunyai dasar yang
kuat. (1) Perkembangan Irfan dan Sufisme tidak sekedar keinginan Ma’ruf
al-Kharki dan Bayazid Busthami, tetapi banyak juga tokoh Sufis Arab yang hidup
di Mesir, Syiria dan Baghdad, Seperti Dzun al-Mishri (w.861 M), Abd Qadir
Jailani (w.1165 M), Ibnu Arabi (w.1240 M), Umar ibnu Faridh (w.1234 M), dab
Ibnu Athaillah al-Iskandari (w.1309 M), mereka mempunyai pengaruh cukup besar
bagi perkembangan Irfan di kemudian hari, (2) Kemunculan Ma’ruf al-Kharki
(w.815 M) dan Bayazid Busthami (w.877 M), adalah setelah masa Rasul, Sahabat,
dan angkatan kaum Sufi yang pertama.[28]
Pendapat kedua
yang menyatakan bahwa Irfan berasal dari kaum Nashrani, memang diakui
bahwa ada kesamaan/ kemiripan antara Tasawuf Islam dengan mistisisme Kristen,
tapi hal itu tak cukup dijadikan sebagai dasar alasan bahwa Irfan berasal dari
ajaran Kristen, begitu pula tak dapat dipungkiri bahwa ada pengaruh ajaran
Kristen pada sebagian tokoh Sufis, salah satunya al-Hallaj (858-913 M) yang
menggunakan terminology Kristen seperti malakût, lahût dan nasût, akan tetapi
gejala itu muncul setelah masa kedua dan ketiga Sufisme sudah mapan dan
berpotensi menyangga munculnya angkatan tasawuf berikutnya.[29]
5.
Tokoh-tokoh Irfani (Irfaniyûn):[30]
1.
Rabi’ah
Al-Adawiyah 96 H/ 713 M – 185H/ 1801 M.
Dia mempunyai
teori yang mirip dengan Irfani(Ma’rifah) yakni Mahabbah(Cinta)
kepada Tuhan. Dia tokoh pertama Sufi yang diperkenalkan dalam Literatur
Eropa, orang yang terkenal pada abad ke-8 M, sejarahnya dibawa ke Eropa oleh Joinvile,
seorang Kanselir Luis IXsetelah abad ke 13 M.[31]
2.
Dzu
al-Nun al-Mishri 180 H/ 796M - 246H/ 856 M.
3.
Tentang keabsahan Epistemologi Irfani, banyak
tokoh yang membantah dan mengkritiknya, Ibnu Hazm misalnya: menurutnya metode
Ilham yangdiakui kalangan Irfan ini tidak bisa dijadikan sumber pengetahuan
yang mengharuskan semua orang mengakui kebenarannya, disamping itu, Epistemologi
Irfani ini bersumber dari pengetahuan (Experience) sehingga selalu
mengarah pada aspek-aspek yang bersifat Pribadi, Oleh karena itu, selamanya
akan merupakan milik pribadi yang Privat dan tak bisa dikomunikasikan
dengan orang lain, juga Validitas kebenaran Epistemologi Irfani
hanya dapat dirasakan langsung oleh orangnya.[32]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Amin. 2006. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Pendekatan
Integratif-Interkonektif), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
al-Attar, Farid
al-Din. 1994. Warisan para Aulia, terj. Anas Muhyidin, Bandung:
Pustaka.
Al-Jabiri, 1993.
Bunyah al-Aql al-Arabi, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi.
Al-Mayli, Muhsin. 1996. Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan
Religius Roger Garaudi, ter. Rifyal Ka’bah, Jakarta: Paramadina.
Damami,Mohammad.
2002. Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta: Lesfi.
Hanafi, Ahmad.
1990. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Hilal, Ibrahim.
2002. Tasawuf Antara Agama dan Filsafat, terj. Ija Suntana dan E.
Kusdian, (Jakarta: Pustaka Hidayah.
Hossein
Nasr,Seyyed. 2002. Ensiklopedi Tematis Spiiritual Islam, terj. Rahmani
Astuti, Bandung: Mizan.
Jumantoro,Totok.
Munir Amin, Samsul. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah.
Muthahari, Murtadha. 2002. Mengenal
‘Irfan, terj. C. Ramli Bihar Anwar, Jakarta;Hikmah.
Muthahari,Murtadha. 2002. Mengenal
‘Irfan, terj. C. Ramli Bihar Anwar, Jakarta: Hikmah.
Nasution,Khoiruddin.
2009. Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA.
Nicholson. 1998.
Mistik dalam Islam, Terj. Tim Bumi Aksara, Jakarta: Bumi Aksara.
Schimmel,Annemarie.
1992. Mystical Dimenstion Of Islam, Carolina: The University Of Calorina
Press.
Seyyed Hossein.
2002. Ensiklopedi Tematis Spiiritual Islam, terj. Rahmani Astuti,
Bandung: Mizan.
Sholeh,
A.Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sou’yb,M.
Joesoef. 1983. Logika: Kaidah Berfikiir Secara Tepat, Jakarta: Mutiara
Sumber Widya.
Sumantri,
Suria. S, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Toriquddin, M. 2008. Sekularitas Tasawuf:
Membumikan Tasawuf Dalam Dunia Modern, Malang: UIN Maliki Press.
al- Wafa
Taftazani, Abu. 1985. Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Rafi Usman,
Bandung: Pustaka.
Yazdi, Mehdi
Hairi. 1994. Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Mizan.
[1]Ibrahim
Wadkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Terjemahan oleh Yudian Wahyudi
Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) cet ke1, hal.2.
[2]Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan,1996) cet. ke 10, hal.100. disampaikan oleh Ahmad, Epistemologi
Ilmu-Ilmu Tasawuf (Makalah Program Pasca Sarjana IAIN Antasari Banjarmasin),
2007, hal.1.
[3] Amin Abdullah,
Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Pendekatan Integratif-Interkonektif),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet ke1, hal.129.
[4] M. Joesoef
Sou’yb, Logika: Kaidah Berfikiir Secara Tepat, (Jakarta: Mutiara Sumber
Widya,1983), cet. ke1, hal.231.
[5] A. Khudori
Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
Cet.ke1, hal.XXVI.
[6] Amin Abdullah,
Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Pendekatan Integratif-Interkonektif),
hal.201.
[8]Ibrahim
Wadkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Terjemahan oleh Yudian Wahyudi
Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), Cet ke2, hal.5.
[9]Amin Abdullah, Islamic
Studies Di Perguruan Tinggi, hal.201.
[10] Al-Jabiri,Bunyah
al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1993), hal.251.
[11]Al
Qusyairi, Al Risalah, Beirut, Dar-al Khair, tt. hal. 89.
[12]Mehdi
Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan: 1994),
hal. 51-53.
[13] Khoiruddin
Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2009), cet ke-1, hal.45-46.
[14] Khoiruddin
Nasution, Pengantar Studi Islam,
hal.45-46.
[15]Totok
Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah,
20005), hal.97.
[16]Totok
Jumantoro,Kamus Ilmu Tasawuf, hal.97.
[17] Murtadha Muthahari, Mengenal ‘Irfan,
terj. C. Ramli Bihar Anwar, (Jakarta: Hikmah, 2002), hal. 3.
[18] Mohammad
Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Lesfi, Yogyakarta :2002),
hal.. 41.
[19]
Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan:
1994), hal.245.
[20] Seyyed Hossein
Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiiritual Islam, Terjemahan oleh Rahmani Astuti,
(Bandung: Mizan, 2002), hal.432-433.
[21]Totok
Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, hal.97.
[22] Ibrahim Hilal,
Tasawuf Antara Agama dan Filsafat, terjemahan oleh Ija Suntana dan E.
Kusdian, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2002), hal.50.
[23] Muhsin
Al-Mayli, Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius Roger Garaudi,
ter. Rifyal Ka’bah, (Jakarta: Paramadina,1996), Cet ke1, hal.71.
[24] Murtadha Muthahari, Mengenal ‘Irfan,
terj. C. Ramli Bihar Anwar, (Jakarta;: hikmah, 2002), Hlm. 3
[25]A. Khudori Sholeh,
Wacana Baru Filsafat Islam, hal.194.
[26] Keterangan
lengkap lihat Farid al-Din al-Attar, Warisan para Aulia, Terjemahan oleh
Anas Muhyidin, (Bandung: Pustaka, 1994).
[27] Nicholson, Mistik
dalam Islam, Terjemahan olehTim Bumi Aksara, (Jakarta: Bumi Aksara,1998),
hal.10-11.
[28]A. Khudori Sholeh,
Wacana Baru Filsafat Islam, hal.196.
[29] Abu al-Wafa
Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Rafi Usman, (Bandung:
Pustaka, 1985), hal.7-8.
[30] M. Toriquddin,
Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf Dalam Dunia Modern, (Malang: UIN Maliki Press, 2008), hal.167.
[31]Annemarie
Schimmel, Mystical Dimenstion Of Islam, (Carolina: The University Of
Calorina Press, 1992), hal.8.
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100