ALIRAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM (BAYANI)
A. Pendahuluan
Terkadang
apabila berbicara tentang filsafat, yang ada dalam pikiran kita adalah hal-hal
yang berbau dengan isme-isme. Dan juga berupa sebuah rumusan dari hasil
pemikiran-pemikiran.
Filsafat
sesungguhnya bukan hanya sekedar bahasan tentang isme-isme atau aliran-aliran
pemikiran, apalagi sekedar uraian tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam
lengkap dengan tokoh-tokohnya, tetapi lebih merupakan bahasan tentang proses
berpikir. Filsafat adalah “metodologi atau epistemologi
berpikir”, yaitu berpikir kritis, analisis dan sistematis. Filsafat
lebih mencerminkan “proses” berpikir dan bukan sekedar “produk” pemikiran.
Sebenarnya
filsafat melatih akal pikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan
ide-ide yang segar sehingga ia menjadi alat intelektual yang sangat penting
bagi ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu agama dan teologi, oleh karena itu orang
yang menjauhi filsafat dikatakan telah melakukan bunuh diri intelektual. Kelesuan berfikir dan
berijtihad dikalangan umat Islam sampai saat ini, salah satunya disebabkan oleh
keengganan dan kesalah fahaman mereka dengan filsafat. Bahkan, menurut
Al-Jabiri, sejak pertengahan abad ke-12 M, hampir semua khazanah inelektual
Islam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan,
metodologi maupun disiplin keilmuan.[1]
Dalam kajian epistemologi Barat,
dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan
intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa
kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman
pribadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam
kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model
system berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani, yang masing-masing mempunyai
pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.
Dalam makalah ini kami akan
mencoba membahas hal-hal yang terkait mengenai aliran pemikiran islam BAYANI atau biasa pula di sebut dengan
epistimologi BAYANI.
B.
Pengertian Bayani
Kata Bayan ini berasal dari
bahasa arab yang berarti penjelasan (eksplanasi). Dan berdasarkan kamus karya Ibn
Mandzur yaitu kamus Lisan al-Arab kamus yang dianggap sebagai karya
pertama yang belum dicemari pengertian lain, mengenai kata Bayan ini diartikan al-fashl
wa infishal (memisahkan dan terpisah) dan al-zhuhur wa al-izhhar (jelas
dan penjelas). Makna Al-fash wa al-izhhar dikaitkan dengan
metodeloginnya sedangkan infishal wa zhuhur dikaitkan dengan visi[2] (ru’y)
dari metode Bayani.[3]
Sementara
itu, secara terminologi, bayan membunyai dua arti, yang pertama : Sebuah
aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin tafsir al-khitabi), yang
kedua : Syarat-syarat memproduksi wacana (syurut intaj al-khithab).[4] Makna
termonologi ini baru muncul pada masa kodifikasi (tadwin).
Bayani adalah metode berfikir
khas Arab yang menekankan otoritas[5]
teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dijustifikasi[6]
oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi[7] (Istidlal).
Yang dimaksud dengan secara langsung ialah memahami teks sebagai pengetahuan
jadi dan langsung mengaflikasikannya. Sedangkan yang dimaksud dengan secara
tidak langsung ialah memahami teks sebagai pengetahuan menta sehinnga perlu
tafsir dan penalaran.
Meskipun secara tidak lansung memerlukan
tafsir dan penalaran, tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna
dan maksudnya, tetapi tetap haris bersandar pada teks.
Dalam bayani, raiso dianggap
tidak mampu memberikan pengetahuan keculi disandarkan pada teks. Dalam
perspektif[8]
keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik[9] (syariat).[10] Rasio menurut metodologi ini hanya berperan-fungsi sebagai pengawal
bagi keamanan otoritas teks tersebut.[11]
Adapun Teks yang di maksud disini adalah secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1.
Teks nash :
al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW,
2.
Teks
non-nash : karya para Ulama.[12]
C. Perkembangan Bayani
Pada masa Syafi’i yang dianggap
sebagai letak dasar yurisprudensi[13]
islam, bayani berupa nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul
(pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furu’). Kemudian sedangkan
dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayani ini dalam lima bagian dan
tingkatan:
1.
Bayan yang
tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah di jelaskan
Allah dalam Al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
2.
Bayan yang
beberapa bagian masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
3.
Bayan yang
keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
4.
Bayan sunnah
sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
5.
Bayani
Ijtihad yang di lakukan dengan kias karna sesuatu yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an ataupun sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut
Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yakni Al-Qur’an, sunnah,
dan Qias, kemudian di tambah ijma’.
Kemudian Al-Jahizh datang
mengkritik konsep bayan Syafi’i. Menurutnya apa yang dilakukan Syafi’i baru
pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan
pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal menurutnya
inilah yang terpenting dari proses bayani.
Karena itu sesuai dengan
asumsinya bahwa bayan adalah syarat-ayarat untuk memproduksi wacana dan bukan
hanya sekedar aturan-aturan penafsiran wacana, Jahizh menetapkan syarat bagi
bayani :
1.
Syarat
kefasehan ucapan,
2.
Seleksi
huruf dan lafal sehingga apa yang di sampaikan bisa menjadi tepat,
3.
Adanya
keterbukaan makna yakni bahwa makna harus bisa diungkapkan dengan salah satu
dari lima bentuk penjelasan yakni lafal, isyarat, tulisan, keyakinan dan
nisbah,
4.
Adanya kesesuaian
antara kata dan makna,
5.
Adanya
kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang disampaikan dan
mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.[14]
Sampai di sini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sebagai
sekedar penjelas atas kata-kata sulit dalam al-Qur`an tetapi telah berubah
menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks (nash), membuat kesimpulan
dan keputusan atasnya, kemudian memberikan uraian secara sistematis atas
pemahaman tersebut kepada pendengar, bahkan telah ditarik sebagai alat untuk
memenangkan perdebatan.
Namun, apa yang ditetapkan
al-Jahizh dalam rangka memberikan uraian pada pendengar tersebut, pada masa
berikutnya, dianggap kurang tepat dan sistematis. Menurut Ibn Wahhab, bayani
bukan diarahkan untuk ‘mendidik’ pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun
konsep diatas dasar ashul-furu`; caranya dengan menggunakan paduan pola yang
dipakai ulama fiqh dan kalam (teologi).[15]
Paduan antara metode fiqh yang
eksplanatoris (keterangan yang bersifat menjelaskan) dan teologi yang dialektik[16]
dalam rangka membangun epistemologi bayani baru ini sangat penting, karena
menurutnya, apa yang perlu penjelasan (bayan) tidak hanya teks suci tetapi
mencakup empat hal, Yaitu :
1. Wujud materi yang mengandung aksiden dan
substansi,
2. Rahasia hati yang memberi keputusan bahwa itu
benar-salah, dan subhat, saat terjadi perenungan,
3. Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak
dimensi,
4. Teks-teks yang merupakan representasi[17]
pemikiran dan konsep.
Dari empat objek diatas, Ibn
Wahhab menawarkan 4 macam Bayani, yaitu :
1. Bayan al-I’tibar untuk
menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan materi,
2. Bayan al-I’tiqad berkaitan
dengan hati (qalb),
3. Bayan al-‘Ibarah berkaitan
dengan teks dan bahasa,
Pada periode terakhir, muncul al-Syatibi
sekitar abad ke-12 menurutnya , sampai
sejauh itu bayan belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qoth’i)
tapi baru derajat dugaan (zhonn) sehingga tidak bisa di pertanggung
jawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani yaitu istinbat dan qiyas
hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan.[19]
Oleh karena itu al-Syatibi menawarkan 3 teori yaitu: Al-IstinIaj,
Al-Isthiqra’ dan Maqasid al-Syari’, yang
dieleminir dari pemikiran Ibn Rusyd dan Ibn Hazam.[20]
Al-istintaj sama dengan
silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului. Menurut
Syibthibi proses silogisme ini penting, sebab menurutnya semua dalil syara’
telah mengandung dua premis, yaitu : naqliyah dan nazhariyah. Istiqra’
adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema kemudian diambil tema
pokoknya, tidak berbeda dengan tematik induction. Sedangkan maqasid al-syari’
berarti bahwa diturunkannya syariah ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu,
yaitu: primer (dharuriyah), sekunder (hajiyah) dan tersier (tahsiniyah).
Pada tahap ini, metode bayani
telah lebih sempurna dan sistematis, dimana proses pengambilan hukum atau
pengetahuaan tidak sekedar mengqiyaskan furu’ pada ashl tetapi
juga melalui silogisme.
D. Sumber Pengetahuan Bayani
Meski menggunakan metode rasional
filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks
(nash). Dalam ushul al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani
adalah al-Qur`an dan hadis. Ini berbeda dengan pengetahuan Burhani yang
mendasarkan diri pada rasio dan Irfani[21]
pada intuisi. Karena itu, epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan
teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.
Persoalan proses tranmisi ini sangat penting bagi bayani, karena sebagai
sumber pengetahuan benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya
ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa di pertanggungjawabkan
berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika
transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggungjawabkan
dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum (hujjah).[22]
Karena itu, pada masa tadwin (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis,
para ilmuan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima. Misalnya
Imam Bukhari, memberikan syarat yang tegas untuk penerimaan sebuah teks hadist.[23]
Pada masa sahabat pun punya syarat yang tegas dalam penerimaan teks hadist.
Tentang nash al-Qur`an, dari segi
penunjuk hukumnya (dilalah) ada terbagi dua, Qath’i dan zhanni. Nash
yang qath’i ialah nash-nash yang menunjukan adanya makna yang dapat dipahami
dengan pemahaman tertentu, atau tidak perlu menggunakan tafsir atau takwil,
atau teks yang tidak mempunyai arti yang lain kecuali yang satu itu. Dalam
konsep Syafi’i ini yang disebut bayan yang tidak perlu penjelasan. Nash
yang zhanni nash-nash yang pada maknanya
masih memerlukan adanya penakwilan.
Pada sunnah lebih luas lagi,
dalam al-Qur`an hanya berkaitan dengan penunjuk hukumnya saja, sedangkan dalam sunnah dari segi periwayatan
dan dilalah-nya. Disegi periwayatanya teks hadist tersebut benar-benar
dari nabi atau tidak, bahkan proses ini sangat menentukan sah tidaknya proses
tranmisi teks hadist, yang dari sana kemudian lahir berbagai macam kualitas
hadist, seperti mutawwatir, ahad, shahih, dhoif, marfu’, maqtu’ dan yang
lainnya. Dari segi dilalah, makna teks hadist tersebut tellah memberikan
makna yang pasti atau masih bisa ditakwil.[24]
E.
Metode
Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan,
epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks
dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog)
dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fiqh, qiyas
diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalh lain yang
telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan inilah. Ada
beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas:
1.
Adanya al-ashl
yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, Ashl disebut
juga al-maqis ‘alaih (tempat mengiaskan sesuatu).
2.
Al-far yakni
sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash ,
3.
Hukum al-ashl
yakni ketetapn hukum yang diberikan oleh ashl,
4.
‘Illah yakni keadaan
tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum ashl.[25] berdasarkan illah inilah hukum-hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dapat di kembangkan.[26]
Contoh qiyas, keharaman memukul
orang tua, diqiyaskan memakinya saja sudah haram. Memukul orang tua disebutkan
sebagai far, diqiyaskan kepada kalimat Uf yaitu ashl-nya. Hukumnya haram, karena
mempunyai ‘illah yang sama.[27]
Menurut Jabiri, metode qiyas
sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani digunakan dalam
3 aspek yaitu : 1) qiyas jali , dimana far mempunyai persaolan hukum
yang kuat di banding ashl , 2) qiyas fi makna an nash dimana ashl dan
far mempunyai derajat hukum yang sama, 3)qiyas al kahfi dimana illat
ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Menurut
Abd al jabar, seorang pemikir teologi muktazilah, metode qiyas bayani diatas
tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan
dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan non fisik.[28]
F. Kritik Terhadap Bayani
Metodologi berfikir tersebut dalam lembaran sejarah telah menorehkan
prestasinya. Nalar
bayani telah membesarkan disiplin fiqh dan teologi (ilmu kalam).
Namun bukan berarti ketiga
metodologi tersebut bebas cacat. Kelemahan bayani adalah ketika berhadapan
dengan teks yang berbeda milik komunitas atau bangsa lain. Karena otoritas
terletak ditangan teks sedangkan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal,
sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh komunitas lain, maka pada saat
berhadapan dengan pertentangan tersebut nalar bayani biasanya cenderung
mengambil sikap dogmatik[29],
defensif[30]
dan apologetik[31],
ia demikian tertutup sehingga kadang sulit untuk bisa diajak berdialog yang
sehat.[32]
Walaupun Islam memerlukan nalar
bayani, namun di sisi lain penggunaan nalar bayani secara berlebihan akan
menimbulkan permasalahan baru, yaitu kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan
sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat berubah. Faktanya, pemikiran
Islam saat ini yang masih banyak didominasi pemikiran bayani fiqhiyyah kurang
bisa merespon dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Dengan begitu,
mestinya kajian model ini diperkuat dengan analisis konteks, bahkan
kontekstualisasi (relevansi).[33]
Tentunya Bayani ini tidak bisa
berdiri sendiri, perlu untuk menyatukannya dengan Metodologi Burhani(rasional)
dan Irfani(ma’rifat). Maksudnya, ketiga model tersebut diikat dalam sebuah
jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing
sehingga terciptalah Islam yang 'shalih li kulli zaman wa makan', Islam
yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban.
G. Kesimpulan
Bayani adalah metode berfikir
khas Arab yang menekankan otoritas teks
(nash), secara langsung atau tidak langsung, dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat
inferensi (Istidlal). Yang dimaksud
dengan secara langsung ialah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsung mengaflikasikannya. Sedangkan yang dimaksud dengan secara tidak
langsung ialah memahami teks sebagai pengetahuan menta sehinnga perlu tafsir
dan penalaran.
Pengertian tentang bayan ini
berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Pada masa Syafi’i yang dianggap
sebagai letak dasar yurisprudensi islam,
bayani berupa nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul
(pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furu’).
Al-Jahizh datang mengkritik
konsep bayan Syafi’i. Karena itu sesuai dengan asumsinya bahwa bayan adalah
syarat-ayarat untuk memproduksi wacana dan bukan hanya sekedar aturan-aturan
penafsiran wacana. Dan bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas
pemahaman yang diperoleh.
Apa yang ditetapkan al-Jahizh
dianggap kurang tepat dan sistematis. Menurut Ibn Wahhab, bayani bukan
diarahkan untuk ‘mendidik’ pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun
konsep diatas dasar ashul-furu`; caranya dengan menggunakan paduan pola yang
dipakai ulama fiqh dan kalam (teologi).
Meski menggunakan metode rasional
filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks
(nash). Persoalan proses tranmisi sangat
penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan benar tidaknya transmisi
teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil.
Untuk mendapatkan pengetahuan,
epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks
dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog)
dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.
Walaupun Islam memerlukan nalar
bayani, namun di sisi lain penggunaan nalar bayani secara berlebihan akan
menimbulkan permasalahan baru, yaitu kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan
sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat berubah.
DAFTAR
PUSTAKA
Djunaidi, Wawan, Fikih,Jakarta, UFS Putra, 2008.
Nasution, Khairuddin, Pengantar Studi Islam,
Yogyakarta : ACA de MIA+TAZZAFARA, 2009.
Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2004.
Dari internet :
http://Albi4ever.Blogspot.Com/2007/09/Filsafat-Dan-Metodologi-Pemikiran-Islam.Html (22-04-12).
http://blog.uin-malang.ac.id/ansur/2011/06/10/epistemologi-islam/.
(25-04-2012).
http://cpchenko.blogspot.com/2011/11/epistemologi-bayani.html
(22-04-2012).
[2] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2004), h. 177-178.
[3] Visi : 1. Kemampuan untuk melihat inti
persoalan, 2. Pandangan atau wawasan kedepan, 3. Penglihatan; pengamatan. Lihat
KBBI v1.3.
[5]
Otoritas : 1. Hak untuk bertindak, 2. Kekuasaan; wewenang, 3. Hak melakukan
tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain. Lihat KBBI v1.3.
[7]
Inferensi : Simpulan; yang disimpulkan. Lihat KBBI v1.3.
[9]
Eksoterik : Pengetahuan yang boleh
diketahui atau dimengerti oleh siapai saja. Lihat KBBI v1.3.
[11]http://Albi4ever.Blogspot.Com/2007/09/Filsafat-Dan-Metodologi-Pemikiran-Islam.Html (22-04-12)
[14] A.
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 178-179.
[21]
Burhani & Irfani akan dibahas di makalah berikutnya.
[23]
http://cpchenko.blogspot.com/2011/11/epistemologi-bayani.html (22-04-2012).
[25]
http://blog.uin-malang.ac.id/ansur/2011/06/10/epistemologi-islam/.
(25-04-2012).
[26] http://cpchenko.blogspot.com/2011/11/epistemologi-bayani.html
(22-04-2012).
[29]
Dogmatik : Hal ihwal ajaran serta keyakinan agama atau kepercayaan yang tidak
boleh dipersoalkan (harus diterima sebagai kebenaran). Lihat KBBI v1.3.
[31]
Apologetik : Uraian sistematis untuk mempertahankan suatu ajaran. Lihat KBBI
v1.3.
[32]
http://Albi4ever.Blogspot.Com/2007/09/Filsafat-Dan-Metodologi-Pemikiran-Islam.Html (22-04-12).
[33]
http://cpchenko.blogspot.com/2011/11/epistemologi-bayani.html
(22-04-2012).
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100