A.
Pendahuluan
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi dewasa ini mendapat
tantangan yang sangat kuat, terutama karena pengaruh kekuasaan internasional.
Menurut Berger dalam The Capitalis Revolution, era globalisasi dewasa
ini ideologi kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah
masyarakat satu parsatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib
ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga
nasib, sosial, politik dan kebudayaan.
Tentunya dengan kondisi seperti ini akan menimbulkan dampak yang
negative bagi Negara-negara, yang kebangsaannya lambat laun akan semakin
terdesak. Namun demikian dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat
tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, ciri khas
suatu bangsa yang merupakan lokal genius dalam menghadapi pengaruh
budaya asing akan menghadapi challance dan response. Jikalau challance
cukup besar sementara response kecil maka, bangsa tersebut akan punah dan
hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangsa Indian
di Amerika. Namun demikian jikalau challance kecil sementara response
besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang
kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi
maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan
kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya
globalisasi. Sebagaimana terjadi diberbagai negara di dunia, justru dalam era
globalisasi dengan penuh tantangan yang cendrung menghancurkan nasionalisme,
muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
B.
Pengertian
Indentitas Nasional
Istilah “identitas nasional” secara terminologis adalah suatu ciri
yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa
tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian yang demikian ini maka
setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai
dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Demikian
pula hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut
terbentuk secara historis. Berdasarkan hakikat pengertian “identitas nasional”
ialah suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau
lebih popular disebut sebagai kepribadian suatu bangsa. .
Setiap bangsa pasti butuh
identitas. Paling tidak, dalam satu dua hal, berbeda satu dengan lainnya. Entah
itu dari kebijakan politik, ekonomi, hukum, seni, terutama pada unsur yang
lebih komprehensif, yakni kebudayaan selama ini, katakanlah sejak Sumpah Pemuda
,lalu dipertajam oleh polemik kebudayaan, Indonesia pun sudah menganggap
memiliki identitas diri. Dan dalam perjalanan sebagai bangsa yang merdeka
selama setengah abad ini, ternyata Indonesia terus bergolak dengan peristiwa-peristiwa
kekerasan yang telah demikian banyak memakan korban fisik maupun psikis bangsa
sendiri. Sepertinya Negara ini menjelma menjadi sebuah
identitas besar, yakni sebagai Negara kekerasan. [1]
Bangsa pada hakikatnya
adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses
sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk
bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu “kesatuan
nasional”. Para tokoh besar ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang hakikat
kepribadian bangsa tersebut adalah dari beberapa disiplin ilmu, antara lain
antropologi, psikologi dan sosiologi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain
Margareth Mead, Ruth Benedict, Ralph Linton, Abraham Kardiner, David Riesman.
Menurut Mead dalam “Antropology to Day” (1954) misalnya, bahwa studi
tentang “National Character” mencoba untuk menyusun suatu kerangka
pikiran yang merupakan suatu konstruksi tentang bagaimana sifat-sifat yang
dibawa oleh kelahiran dan unsur-unsur ideotyncrotie pada tiap-tiap
manusia dan patroom umum serta patroom individu dari proses pendewasaannya
diintegrasikan dalam tradisi sosial yang didukung oleh bangsa itu sedemikian
rupa sehingga nampak sifat-sifat kebudayaan yang sama, yang menonjol yang menjadi
ciri khas suatu bangsa tersebut (Kroeber, 1954; Ismaun, 1981:7).
Demikian pula tokoh antropologi Ralph Linton bersama dengan pakar
Psikologi Abraham Kardiner, mengadakan suatu proyek penelitian tentang watak
umum suatu bangsa dan sebagai objek penelitiannya adalah bangsa Maequesesas dan
Tanala, yang kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam suatu buku yang
bertitel “The Individual dan His Society” (1938). Dari hasil
penelitian tersebut dirumuskan sebuah konsepsi tentang basic personality
structure. Dengan konsepsi itu dimaksudkan bahwa semua unsur watak sama
dimiliki oleh sebagian besar warga suatu masyarakat. Unsur watak yang sama
seperti ini disebabkan oleh pengamalan-pengamalan yang sama yang telah di alami
oleh warga masyarakat tersebut, karena mereka hidup di bawah pengaruh suatu
lingkungan kebudayaan selama masa tumbuh dan berkembangnya bangsa tersebut.
Linton juga mengemukakan pengertian tentang status personality,
yaitu watak individu yang ditentukan oleh statusnya yang didapatkan dari
kelahiran maupun dari segala daya upayanya. Status personality seseorang
mengalami perubahan dalam suatu saat, jika seseorang tersebut bertindak dalam
kedudukanya yang berbeda-beda, misalnya sebagai ayah, sebagai pegawai, sebagai
anak laki-laki, sebagai pedagang dan lain sebagainya. Berdasarkan pengertian
tersebut maka dalam hal basic personality structure dari suatu
masyarakat, seorang peneliti harus memperhatikan unsur-unsur status personality
yang kemungkinan mempengaruhinya (ismaul, 1981:8).
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian kepribadian sebagai
suatu identitas nasional suatu bangsa, adalah keseluruhan atau totalitas dari
kepribadian individu-individu sebagai unsur yang membentuk bangsa tersebut.
Oleh karena itu pengertian identitas nasional suatu bangsa tidak dapat
dipisahkan dengan pengertian “peoples Character”. “National Charaktar” atau
“National Identity”. Dengan hubungannya dengan identitas nasional
Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia kirannya sangat sulit jikalau hanya
dideskripsikan berdasarkan ciri khas fisik. Hal ini mengingat bangsa Indonesia
itu terdiri atas berbagai macam unsur etnis, ras, suku, kebudayaan, agama,
serta karakter yang sejak asalnya memang memiliki suatu perbedaan. Oleh karena
itu kepribadian bangsa Indonesia sebagai suatu identitas nasional secara
historis berkembang dan menemukan jati dirinya setelah proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945. Namun demikian identitas nasional suatu bangsa tidak cukup
hanya dipahami secara statis mengingat bangsa adalah merupakan kumpulan
dari manusia-manusia yang senantiasa berinteraksi dengan bangsa lain di dunia
dengan segala hasil budayanya. Oleh karena itu identitas nasional suatu bangsa
termasuk identitas nasional Indonesia juga harus dipahami dalam konteks dinamis.
Menurut Robert de Ventos sebagaimana dikutip oleh Manuel Castells dalam
bukunya, The Power of Identity (dalam
Suryo, 2002), mengemukakan bahwa selain factor etnisitas, teritorial, bahasa,
agama serta budaya, juga factor dinamika suatu bangsa tersebut dalam proses
pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu identitas nasional
bangsa Indonesia juga harus dipahami dalam arti dinamis, yaitu bagaimana bangsa
itu melakukan akselerasi dalam pembangunan, termasuk proses interaksinya secara
global dengan bangsa-bangsa lain di dunia internasional.
Sebagaimana kita ketahui di dunia internasional bahwa bangsa-bangsa
besar yang telah mengembangkan identitasnya secara dinamis membawa nama bangsa tersebut baik dalam
khazanah dunia ilmu pengetahuan maupun dalam khazanah dunia pergaulan antara
bangsa di dunia. Bagi bangsa Indonesia dimensi dinamis identitas nasional
Indonesia belum menunjukkan perkembangan kearah sifat kreatif serta dinamis.
Setelah bangsa Indonesia mengalami kemerdekaan 17 Agustus 1945, berbagai
perkembangan kearah kehidupan kebangsaan dan kenegaraan mengalami kemerosotan
dari segi identitas nasional. Pada masa mempertahankan kemerdekaan bangsa
Indonesia dihadapkan pada kemelut kenegaraan sehingga tidak membawa kemajuan
bangsa dan negera.
Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 bangsa Indonesia kembali ke UUD
1945. Pada saat itu dikenal periode orde lama dengan penekanan kepada
kepemimpinan yang sifatnya sentralistik. Pada periode tersebut partai komunis
semakin berkembang dengan subur, bahkan tatkala mencapai kejayaannya berupaya
untuk menumbangkan pemerintahan Indonesia, yang ditandai dengan timbulnya
gerakan G 30 S. PKI. Rakyat Indonesia semakin tidak menentu. Identitas dinamis
bangsa Indonesia saat itu ditandai dengan perang saudara yang memakan banyak
korban rakyat kecil. Maka muncullah gerakan aksi dari para pemuda, pelajar dan
mahasiswa untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya Negara atheistik.
Kejatuhan kekuasaan Orde lama diganti dengan kekuasaan Orde Baru
dengan munculnya pemimpin kuat yaitu Jendral Soeharto. Pada periode Orde Baru
Soeharto banyak mengembangkan program pembangunan nasional yang sangat populer
dengan program Repelita. Memang sudah banyak yang dilakukan Soeharto melalui
pembangunan yang banyak dinikmati rakyat, namun dalam kenyataannya pemerintah
saat itu banyak melakukan hutang ke dana moneter internasional, sehingga rakyat
kembali dihadapkan pada beban yang sangat berat yaitu menanggung hutang negara.
Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun Soeharto berkuasa seakan-akan bangsa
Indonesia menunjukkan kepada masyarakat dunia internasional bahwa bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang demokratis. Namun dalam kenyataannya hanya semu
belaka, pemerintah melakukan pemilu memilih wakil-wakil rakyat namun secara
langsung atau tidak langsung juga mengarah kepada model kepemimpinan yang
sentralistik bahkan juga ditandai dengan kekuasaan militer. Pada saat itu
bangsa Indonesia berupaya secara dinamis akan mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi melalui menristek, bahkan juga dikembangkannya teknologi modern
dengan mengembangkan perusahaan pesawat terbang “Nurtanio” yang dipelopori oleh
B.J. Habibie. Meskipun seakan-akan pemerintah saat itu mengembangkan teklologi
modern, namun dalam kenyataannya industri pesawat tersebut belum memberikan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Yang paling memprihatinkan saat ini adalah
perkembangan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN), yang mengakar pada pejabat pemerintahan Negara, sehingga konsekuensinya
identitas nasional Indonesia saat ini dikenal sebagai bangsa yang “korupsi”.
Selain itu penguasa Orde Baru saat itu menempatkan filsafat Negara pancasila
yang sekaligus juga sebagai identitas bangsa dan Negara Indonesia, sebagai alat
legitimasi politis untuk mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu akibatnya
saat ini sebagian rakyat bahkan banyak kalangan elit politik memiliki pemahaman
epistemologis yang sesat yaitu pancasila sebagai dasar filsafat Negara dan
kepribadian bangsa Indonesia, seakan-akan identik dengan kekuasaan Orde Baru.
Pasca kekuasaan Orde Baru bangsa Indonesia melakukan suatu gerakan
nasional yang populer dewasa ini disebut sebagai gerakan “repormasi”. Rakyat
dengan ditokohi oleh kalangan elit politik, para intelektual termasuk mahasiswa
melakukan repormasi dengan tujuan seharusya adalah meningkatkan kesejahteraan
atas kehidupan rakyat. Di harapkan pada era repormasi dewasa ini kehidupan
rakyat menjadi semakin bebas, demokratis, dan yang terlebih penting lagi adalah
meningkat kesejahteraannya baik lahir maupaun batin. Sudah banyak memang yang
dilakukan pemerintahan Negara Indonesia dalam melakukan repormasi, baik
dibidang politik, hukum, ekonomi, militer, pendidikan serta bidang-bidang
lainnya. Satu hal yang sangat memprihatinkan dewasa ini adalah seharusnya kita
bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa, kita dikaruniai kesempatan untuk
melakukan suatu repormasi dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan, namun saat
ini kita lupa akan tujuan hidup berbangsa dan bernegara, arah kehidupan kita
tidak jelas, ideologi dan filsafat bangsa dan Negara hanya sebagai simbol
kosong belaka. Konsekuensinyang dewasa ini ideologi kebangsaan dan kenegaraan
bangsa Indonesia adalah repormasi itu sendiri, sementara arah dan makna
repormasi juga dimaknai secara baragam. Unsur-unsur filosofi bangsa Indonesia
yang menekankan kebangsaan dalam hidup berbangsa dan bernegara di samping
berbagai perbedaan, dewasa ini di anggap kosong belaka. Akibatnya dalam era
repormasi dewasa ini muncullah berbagai konflik perbedaan yang bahkan ditandai
dengan konflik fisik diantara elemen-elemen masyarakat berbagai pembentuk bangsa
Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita konflik, Ambon,Sampit antara suku
Madura dengan Dayak, Sambas, Kalimantan Barat, Poso, konflik antar daerah di
berbagai wilayah, konflik antar pemeluk agama, misalnya kasus Achmadiyah, kasus
Salafiyah, serta kasus konflik antar pemeluk agama lainnya. Selain itu juga
konflik politik baik dalam tubuh partai politik, proses pilkada, bahkan
ironisnya juga terjadi di dunia kehidupan kampus.
Nampaknya makna dalam kebebasan dalam era repormasi dewasa ini
dimaknai lain oleh sebagian besar masyarakat, bahkan kadangkala aparat penegak
hukum serta peraturan perundang-undangan dibuat tidak berdaya. Berbagai konflik
tersebut di atas memakan banyak korban nyawa anak-anak bangsa yang tidak
berdosa, dan anehnya tidak ada seorangpun yang mau bertanggungjawab atas
musibah tersebut. Bahkan tatkala terjadi konflik etnis di Kalimantan dimana
antar suku saling membantai, bangsa Indonesia di dunia internasional mendapat
identitas yang negative sebagai bangsa yang berbudaya dan beradab.
Dalam hubungan dengan konteks identitas nasional secara dinamis
dewasa ini nampaknya bangsa Indonesia tidak merasa bangga dengan bangsa dan
negaranya di dunia internasional. Akibatnya dewasa ini semangat patriotisme,
semangat kebangsaan, semangat untuk mempersembahkan karya terbaik bagi bangsa
dan Negara di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, bangsa
Indonesia belum menunjukkan ekselerasi yang berarti, pada hal jikalau kita
lihat sumber daya manusia Indonesia ini juga seharusnya dapat dibanggakan
sebagai contoh fakta kongkrit, anak-anak kita sering berprestasi internasional
dalam Olympiade ilmu pengetahuan. Terlebih lagi dewasa ini muncul budaya “mudah
menyalahkan orang lain” tanpa diimbangi dengan ide serta solusi yang realistik.
Oleh karena itu dalam hubungannya dengan identitas nasional secara
dinamis, dewasa ini bangsa Indonesia harus memiliki visi yang jelas dalam
melakukan repormasi, melalui dasar filosofi bangsa dan Negara yaitu Bhinneka
Tunggal Ika, yang terkandung dalam filosofi pancasila. Masyarakat harus semakin
terbuka, dan dinamis namun harus berkeadaban serta kesadaran akan tujuan hidup
bersama dalam berbangsa dan bernegara. Dengan kesadaran akan kebersamaan dan
persatuan tersebut maka Insya Allah bangsa Indonesia akan mampu mengukir
identitas nasionalnya secara dinamis di dunia internasional.
C.
Faktor-faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional
Kelahiran identitas nasional suatu bangsa memiliki sifat, ciri khas
serta keunikan sendiri-sendiri, yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang
mendukung kelahiran identitas nasional tersebut. Adapun faktor-faktor yang
mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi (1) faktor
objektif, yang meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis, (2) faktor
subjektif, yaitu faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan yang dimiliki
bangsa Indonesia (Suryo, 2002)
Kondisi geografis-ekologis yang membentuk Indonesia sebagai wilayah
kepulauan yang beriklim tropis dan terletak di persimpangan jalan komunikasi
antar wilayah dunia di Asia Tenggara, ikut mempengaruhi perkembangan kehidupan
demografis, ekonomis, sosial dan kultural bangsa Indonesia. Selain itu faktor
historis yang dimiliki Indonesia ikut memengaruhi proses pembentukan masyarakat
dan bangsa Indonesia beserta identitasnya, melalui interaksi berbagai faktor
yang ada didalamnya. Hasil dari interaksi dari berbagai faktor tersebut
melahirkan peroses pembentukan
masyarakat, bangsa, dan negara bangsa
beserta identitas bangsa Indonesia, yang muncul tatkala nasionalisme berkembang
di Indonesia pada awal abad XX.
Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells dalam
bukunya, The Power of Identity (Surya,2002), mengemukakan teori tentang
munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis
antara empat factor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor
penarik dan faktor reaktif. Faktor pertama, mencakup etnisitas,
teritoral, bahasa, agama, dan yang sejenisnya. Bagi bangsa Indonesia yang
tersusun atas berbagai macam etnis, bahasa, agama wilayah serta bahasa daerah,
merupakan suatu kesatuan meskipun berbeda-beda dengan kekhasan masing-masing.
Unsur-unsur yang beraneka ragam yang masing-masing memiliki ciri khasnya
sendiri-sendiri menyatukan diri dalam suatu persekutuan hidup bersama yaitu
bangsa Indonesia. Kesatuan tersebut tidak menghilangkan keberanekaragaman, dan
hal inilah yang dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika. Faktor kedua,
meliputi pembangunan komonikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata
modern dan pembangunan lainnya dalam kehidupan negara. Dalam hubungan ini bagi
suatu bangsa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan negara
dan bangsanya juga merupakan suatu identitas nasional yang bersifat dinamis.
Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia proses pembentukan identitas nasional
yang dinamis ini sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dan prestasi bangsa
Indonesia dalam membangun bangsa dan negaranya. Dalam hubungan ini sangat
diperlukan persatuan dan kesatuan bangsa, serta langkah yang sama dalam memajukan
bangsa dan negara Indonesia. Faktor ketiga, mencakup kodifikasi bahasa
dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem
pendidikan nasional. Bagi bangsa Indonesia unsur bahasa telah merupakan bahasa
persatuan dan kesatuan nasional, sehingga bahasa Indonesia telah merupakan
bahasa resmi negara dan bangsa Indonesia. Bahasa Melayu telah dipilih sebagai
bahasa antar etnis yang ada di Indonesia, meskipun masing-masing etnis atau
daerah di Indonesia telah memiliki bahasa daerah masing-masing. Demikian pula
menyangkut birokrasi serta pendidikan nasional telah dikembangkan sedemikian
rupa meskipun sampaai saat ini masih senantiasa dikembangkan. Faktor keempat,
meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui
memori kolektif rakyat. Bangsa Indonesia yang hampir tiga setengah abad
dikuasai oleh bangsa lain sangat dominan dalam mewujudkan faktor keempat
melalui memori kolektif rakyat
Indonesia. Penderitaan, dan kesengsaraan hidup serta semangat bersama dalam memperjuangkan
kemerdekaan merupakan faktor yang sangat strategis dalam membentuk memori
kolektif rakyat. Semangat perjuangan, pengorbanan, menegakkan kebenaran dapat
merupakan identitas untuk memperkuat persatuan
dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses
pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia, yang telah berkembang dari
masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain.
Pencarian identitas nasional bangsa Indonesia pada dasarnya melekat erat dengan
perjuangan bangsa Indonesia untuk membangun bangsa dan negara dengan konsep
nama Indonesia. Bangsa dan negara Indonesia ini dibangun dari unsur-unsur masyarakat
lama dan dibangun menjadi suatu kesatuan bangsa dan negara dengan prinsip
nasionalisme modern. Oleh karena itu pembentukan identitas nasional Indonesia
melekat erat dengan unsur-unsur lainnya seperti sosial, ekonomi, budaya, etnis,
agama serta geografis, yang saling berkaitan dan terbentuk melalui suatu proses
yang cukup panjang.
D.
Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat
internasional, memiliki sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia berkembang menuju
fase nasionalisme modern, diletakkanlah prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai
suatu asas dalam hidup berbangsa dan bernegara. Para pendiri negara menyadari
akan pentingnya dasar filsafat ini, kemudian melakukan suatu penyelidikan yang
dilakukan oleh badan yang akan meletakkan dasar filsafat bangsa dan negara
yaitu BPUPKI. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa
tersebut yang di angkat dari filsafat hidup atau pandangan hidup bangsa
Indonesia, yang kemudian diabsraksikan
menjadi suatu prinsip dasar filsafat negara yaitu Pancasila. Jadi dasar
filsafat suatu bangsa dan negara berakar pada pandangan hidup yang bersumber
kepada kepribadiannya sendiri. Hal inilah menurut Titus dikemukakan bahwa salah
satu fungsi filsafat adalah kedudukannya sebagai suatu pandangan hidup
masyarakan (Titus, 1984).
Dapat pula dikatakan bahwa pancasila sebagai dasar filsafat bangsa
dan negara Indonesia pada hakikatnya
bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi filsafat pancasila itu bukan muncul
secara tiba-tiba dan dipaksa oleh suatu rezim atau penguasa melainkan melalui
suatu fase historis yang cukup panjang. Pancasila sebelum dirumuskan secara
formal yuridis dalam penggunakan UUD 1945 sebagai dasar filsafat negera
Indonesia, nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia, dalam kehidupan
sehari-hari sebagai suatu pandangan hidup, sehingga materi pancasila yang
berupa nilai-nilai tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri.
Dalam pengertian seperti ini menurut Notonegoro bangsa Indonesia adalah sebagai
kaus materialis Pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat
dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai
dasar Negara Republik Indonesia. Proses perumusan materi pancasila secara
formal tersebut dilakukan dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, sidang “ panitia 9”, sidang
BPUPKI kedua, akhirnya di syahkan secara
formal yuridis sebagai dasar filsafat
Negara Republik Indonesia.
E.
Pancasila Sebagai Identitas Diri Bangsa Indonesia
Menurut sejarahnya, sejauh pengandaian yang ada diterima. Pancasila
dirumuskan berdasarkan keyakianan bahwa
sudah terdapat nilai-nilai meskipun masih secara samar-samar, tertanam
dan berakar di masa lampau dan tetap berlaku dalam masyarakat Indonesia dewasa
ini. Pancasila sebagai rumusan memang tidak terjadi sebelum tanggal 1 Juni
1945. Namun nilai-nilai yang terkandung didalamnya sudah erat terpadukan dalam
kebudayaan masyarakat Indonesia yang hidup di seluruh kepulauan nusantara.
Dengan demikian, pancasila bukanlah melulu merupakan hasil pikiran
atau penalaran murni yang kemudian dijabarkan, diterapkan, atau (setengah)
dipaksakan bagi kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila diyakini sebagai hasil
penggalian dan perumusan dari nilai-nilai yang telah ada tersebut. “Pemikiran
mengenai pancasila itu tidak terjadi exnihilo tetapi dalam sejarah
masyarakat Indonesia sebagai bagian dari sejarah dan perkembangan masyarakat
dan kebudayaan Indonesia.[2]
F.Sejarah
Budaya bangsa sebagai Akar Identitas
Nasional
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup
panjang. Berdasarkan kenyataan objektif tersebut maka untuk memahami jati diri
bangsa Indonesia serta identitas nasional Indonesia maka tidak dapat dilepaskan
dengan akar-akar budaya yang mendasari identitas nasional Indonesia. Kepribadian,
jati diri, serta identitas nasional Indonesia yang terumuskan dalam filsafat
Pancasila harus dilacak dan dipahami melalui sejarah terbentuknya bangsa
Indonesia sejak zaman, Kutai, Sriwijaya,
Majapahit serta kerajaan lainnya sebelum penjajahan bangsa asing di Indonesia.
Nilai-nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila yaitu:
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan, dalam
kenyataannya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu
kala sebelum mendirikan negara. Proses terbentuknya bangsa dan negara Indonesia
melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman
kerajaan-kerajan pada abad ke IV, ke V kemudian dasar-dasar kebangsaan
Indonesia telah mulai nampak pada abad ke VIII, yaitu ketika timbulnya kerajaan
Sriwijaya dibawah Wangsa Syailendra di Palembang, kemudian kerajaan Airlangga
dan Majapahit di Jawa Timur serta kerajaan-kerajaan lainnya. Proses
terbentuknya nasionalisme yang berakar pada budaya ini menurut Yamin
diistilahkan sebagai fase terbentukny nasionalisme lama, dan oleh karena itu
secara objektif sebagai dasar identitas nasionalisme Indonesia.
Dasar-dasar pembentukan nasionalisme modern menurut Yamin dirintis
oleh para pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oleh
para tokoh pejuang kebangkitan nasional
pada tahun 1908, kemudian dicetuskan pada sumpah pemuda pada tahun 1928.
Akhirnya titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk menemukan
identitas nasionalnya sendiri, membentuk suatu bangsa dan Negara Indonesia
tercapai pada tanggal 17 Agustus 1945 yang kemudian di proklamasikan sebagai
suatu kemerdekaan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu akar-akar nasionalisme Indonesia yang berkembang
dalam perspektif sejarah sekaligus juga merupakan unsur-unsur identitas
nasional, yaitu nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah
terbentuknya bangsa Indonesia.[3]
F.
Identitas kebudayaan
Menata kembali
garis besar tata hubungan antara teknologi dengan kebudayaan, akan berarti
perama-tama keharusan untuk menemukan identitas kebudayaan umat manusia.
Kesulitan terpenting dari pekerjaan semacam ini adalah ketiadaan model
kebudayaan tertentu di antara bangsa-bangsa yang kemudian dapat diteladani oleh
yang lain, atau yang serupa proposal bagi corak kebudayaan dimasa mendatang.
Hal ini dapat dipahami karena kebudayaan merupakan segugus system nilai dan ide
vital yang diyakini sebenarnya oleh (hanya) sekelompok orang atau masyarakat.
Namun demikian, justru disinilah teknologi menyajikan solusi dan pada titik
tertentu intervensi, bagi jalan keluar dari ketertutupan masing-masin corak
kebudayaan ragional dan kebudayaan lokal. Peranan penting teknologi kontekstual
dapat diterima oleh janji kemudahan-kemudahan dalam kebersamaan mondial hidup
manusia. Di sini saling berhubungan antara
teknologi dan kebudayaan menjadi pernyataan penting akan kulturasi
kehidupan manusia.
Di lain pihak
ketika teknologi semakin bergerak kea rah kelipatgandaan liberasi dan malahan
arogansi yang seakan inheren dalam setiap modernitas kehadirannya, menemukan
kembali identitas kebudayaan menjadi syarat pokok, agar saling berhubungan di
antara keduanya yang kemudian timpang itu, mendapatkan kembali eksplisitas
dalam redefinisi dan reinterpretasi kebudayaan itu sendiri. Kecendrungan
terakhir inilah yang menjadi focus operatif tesis yang diteteapkan dalam
diskusi porsi saya ini. Kecendrungan yang akan dan telah ditandai oleh
banyaknya teknologi baru yang sering kali sifatnya social distruptive,
sedemikian rutinnya sehingga dalam banyak hal ia menjadi determinan, lebih dari
peran yang seharusnya, yakni sebagai alat semata. Nilai instrumental teknologi
kemudian beralih teleologis, yang membuat banyak manusia terutama didunia
ketiga terpesona sekaligus runtuh oleh kehadiran teknologi yang sangat ofensif.
Demikian pun rusaknya lingkungan, terkurasnya sumber daya alam, yang semua itu
di akibatkan oleh petualangan teknologi maju yang dapat mengganggu stabilitas
kosmos.
Sebagaimana ditinjau oleh Donald Wilhelm dalam Creative
Alternatives to Communism (1977), yang memberikan kesaksian mulai
bangkrutnya tiga aliran filsafat mutakhir Eksisensialisme Operasionalisme, dan
Positivisme Logis, maka hemat saya perlu diperhatikan dengan seksama
merajalelamya pragmatism “ideology” baru yang secara cerdik mengabaikan
ideologo-ideologi tradisional bangsa-bangsa. Teknologi yang pada dirinya
pragmatis merupakan (semula) jawaban dan sekaligus tantangan berat terutama
bagi negeri-negeri yang sedang berkembang. Banyak negeri dunia ketiga inilah
yang praktis tak mampu menghindarkan diri dari serbuan teknologi, sementara
dilain pihak disadari bahwa keterbelakangannya tidak cukup dipecahkan hanya
oleh teknologi.[4]
G.Kesimpulan
Identitas Nasional adalah jati diri suatu
bangsa, suatu kesatuan yang terikat oleh wilayah dan selalu memiliki wilayah
(tanah tumpah darah mereka sendiri), kesamaan sejarah sistem hukum/perundang-undangan,
hak dan kewaiban serta pembagian kerja berdasarkan profesi.
Hakekat Bangsa adalah sekelompok manusia yang mempunyai persamaan
nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak yang kuat
untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah sebagai suatu
“kesatuan nasional”.
Hakekat Negara adalah merupakan suatu wilayah dimana terdapat sekelompok
manusia melakukan kegiatan pemerintahan.
Bangsa dan Negara Indonesia adalah sekelompok manusia yang
mempunyai persamaan nasib sejarah dan melakukan tugas pemerintahan dalam suatu
wilayah “Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadi, P. Hardono. Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila,
Yogyakarta: kanisus (Anggota IKAPI), 1994.
M.S, Kaelan. Pendidikan
Kewarganegaraan, Yogyakarta: Paradigma, 2010.
Rozak, Abdul. dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education).
Jakarta: Prenada Media, 2004.
Sutrisno,
Slamet. Pancasila:Kebudayaan dan Bangsa,Yogyakarta: Liberty, 1988
[1] .
Abdul Rozak, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (
Jakarta: Prenada Media, 2004),H.1.
[2]P.
Hardono Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, ( Yogyakarta:
Kanisus (Anggota IKAPI, 1994), H. 69.
[3]Kaelan,
M.S. Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Paradigma, 2010). H. 42
[4]
Slamet Sutrisno, PANCASILA, Kebudayaan dan kebangsaan, (Yogyakarta:
Liberty, 1988). H. 175
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100