novel Banjarmasin

author photo April 23, 2012

B.  Irfani
Irfani merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ع- ر-ف  memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang.[1] Namun secara harfiyah al-‘irfa>n adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam[2]. Dengan demikian al-‘irfa>n lebih khusus dari pada al-‘ilm.[3]        
Secara termenologi, irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riya>d}ah.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah isyra>qi> yang memandang pengetahuan diskursif (al-h}ikmah al-ba>t}iniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-h}ikmah al-z\awqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-h}ikmah al-h}aqi>qiyyah. Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkrit dari pengetahuan irfani.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama.
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian. Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah qalbu memperoleh pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
 Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
         Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan  dengan mengandalkan pengalaman batin.
 Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual
            Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.
Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks.         
 Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir dan   berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi,al-dzauq atau perasaan.    
Dalam filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu. Ciri khas intuisi antara lain; z|auqi> (rasa) yaitu melalui pengalaman langsung, ilmu hud}u>ri> yaitu kehadiran objek dalam diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui kategorisasi akan tetapi mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.[4]
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf.[5] Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan;[6]
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahanpengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui.           
 Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd)yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).[7]
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[8]
      Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.[9]
Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dijelaskan bahwa ada dua cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Haidir:
فوجدا عبدا من عبادنا آتيناه رحمة من عندنا وعلمناه من لدنا علما
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.[10]
Pengetahuan intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma atau warna sesuatu, ada yang langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A, ada juga ide cemerlang secara tiba-tiba seperti halnya Newton ( 1642-1727 M) menemukan gaya gravitasi setelah melihat sebuah apel yang terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk dan ada juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan Nabi Ibrahim as.[11]
Mengenai taksonomi epistemologi pengetahuan irfani adalah dari segi sumber pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman wujud sanga>rif  itu sendiri; dari segi media/alat pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman-kesejatian wujud sang a>rif; dari segi objek pengetahuan, ia menjadikan wujud sebagai objek kajiannya; dari segi cara memperoleh pengetahuan, ia diperoleh dengan cara menyelami wujud kedirian melalui metode riya>d}ah.
Para pakar berbeda pendapat tentang asal mula sumber irfani. Pendapat tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa poin sebagai berikut:
1.      Sebagian golongan menganggap bahwa irfani berasal dari Persia dan Majusi seperti yang disampaikan oleh Dozy dan Thoulk. Alasannya bahwa sejumlah orang-orang besar sufi berasal dari Khurasan dan kelompok Majusi.
2.      Sebagian yang lain mengatakan bahwa irfani bersumber dari Kristen sebagaimana yang diungkapkan oleh Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson dan yang lain. Alasan mereka paling tidak dapat dikelompokkan dalam dua poin, yaitu:
a.       Interaksi yang terjadi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah dan Islam.
b.      Kesamaan kehidupan antara sufi dan Yesus dan Rahib dalam masalah ajaran, tata cara riya>d{ah, ibadah dan tata cara berpakaian.
3.      Sebagian yang lain berpendapat bahwa irfani bersumber dari India seperti pendapat Horten dan Hartman. Alasan yang diajukan adalah:
a.       Kemunculan dan penyebaran irfani pertama dari Khurasan.
b.      Kebanyakan para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab.
c.       Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan timur dan barat sebelum Islam yang sedikit banyak memberi pengaruh mistisisme.
d.      Konsep dan metode irfani seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih merupakan praktik-praktik dari India. 
4.      Sebagian yang lain berpendapat bahwa irfan berasal dari Yunani, khususnya neo-platonisme dan Hermes. Alasannya sederhana bahwa theologi Aristoteles merupakan paduan antara sistem porphiry dan proclus yang sudah dikenal dalam Islam.[12][35]               
Namun demikian, penulis cenderung berpendapat bahwa irfani tidak berasal dari luar Islam sebab kehidupan Rasulullah saw. para sahabat dan tabiin menunjukkan bahwa mereka dalam suatu waktu akan menggunakan irfani bahkan mempraktikkan irfani, meskipun penamaannya belum ada.
Salah satu bukti bahwa Rasulullah saw. membenarkan bahkan mengakui akan keberadaan makna irfani adalah hadisnya yang berbunyi:
إن الله قال من عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به وبصره الذي يبصر به ويده التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها وإن سألني لأعطينه ولئن استعاذني لأعيذنه.[13]
Artinya: Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang menyakiti seorang wali maka aku mengumandangkan perang dengannya, hambaku tidaklah mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang paling aku cintai melainkan apa yang aku wajibkan padanya dan hambaku senantiasa mendekatkan diri kepadaku dengan hal-hal yang sunnah hingga aku mencintainya. Jika aku sudah mencintainya maka akulah pendengaran yang digunakan mendengar, penglihatan yang digunakan melihat, tangan yang digunakan memukul dan kaki yang digunakan berjalan, Jika dia meminta padaku aku akan memberikannya dan jika dia berlindung kepadaku maka aku akan melindunginya”.
Sedangkan riya>d{ah dalam irfani sering kali dilakukan oleh Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya seperti khulwah (penyepian), tinggal di mesjid Nabawi dan prilaku individu sahabat.     
Pada perkembangan berikutnya istilah yang dapat mewakili makna irfani mulai beragam. Dalam filsafat misalnya dikenal istilah intuisi sedangkan dalam tafsir dikenal istilah isya>ri>.  

Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musya>hadah, dan muka>syafah lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasi-manifestasinya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.[14]
Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia.
Metode kasyf dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism. Apa yang mereka alami “ mungkin  benar “ atau barangkali “kebenaran karena kebetulan “, akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah.[15]
Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia[16].
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a.       Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b.      Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statunya . apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
c.        Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia,
d.      Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.
e.       Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela namun tidak berarti diam.
f.       Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
g.      Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
Pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, [17]sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[18]Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
          Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.[19]
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf  tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahâttersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
    Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik.
C. HAKIKAT TASAWUF IRFANI
Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian praktis ini disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini menjelaskan bagaimana seseorang penempuh rohani (salik) yang ingin mencapai tujan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berurutan, dankeadaan jiwa (hal) yang bakal dialaminya sepanjang perjalanannya tersebut.
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya. Namun,  jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersibukan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.[20]
  1. Tokoh-tokoh Tasawuf Irfani
    1. Rabi’atul Adawiyah (95-185 H)
      1. Biografi Singkat
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah binti Ismail Al Adawiyah AL Bashriyah Al Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/ 717 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/ 805 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat, orang tuanya menamakan Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika dia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
 Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang Zahidah dan Sufiah. Ia jalani sisa hidupnya hanya dengan beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak taubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhannya[21]
  1. Ajaran Tasawuf : Mahabbah (Cinta)
                Dalam perkembangan mistisme Islam, Rabi’ah Al Adawiyah tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran astisketisme Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
                Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi’ah , yaitu hub al hawa dan hub anta al lahu, perlu dikutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al Makiy dalam Qut Al Qulub, sebagai mana dijelaskan Badawi, memberikan penafsiran bahwa makna hubb al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat adalah nimat material, tidak spriritual, karena hubb di sini bersifat indrawi. Walaupun demikian hubb al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Sebab, Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada di balik nikmat. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada dzat yang dicintai.
                Dikatakan bahwa waktu Robi’ah menghadapi maut ,ia meminta teman-temannya meninggalkannya dan ia mempersilahkan pada para utusan Tuhan lewat. Waktu teman-temannya berjalan keluar, mereka mendengar robi’ah mengucapkan Syahadat, dan ada suara yang menjawab,
“sukma, tenanglah kembalilah kepada Tuhanmu legakan hatimu kepadaNya, ini akan memberi kepuasan kepadaNya[22]
                Cinta Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini terungkap dalam Syairnya:
“ku jadikan Kau teman berbincang dalam kalbu
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.”
                Bagi manusia yang mempunyai cinta kepada Allah yang tidak tulus ikhlas, Rabi’ahselalu mengatakan:
“Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka
Tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta
Sungguh aneh gejala ini
Andaikan cinta-Mumemang tulus dan sejati tentu yang
Ia perintahkan kau taati
Sebab pecinta selalu patuh dan bakti kepada yang dicintai.”
                Dalam kesempatan bermunajat. Robi’ah kerap menyampaikan:
“Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintaiMu,
sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain dariMu,
ya Tuhan, bintang dilangit telah germelapan, mata telah bertiduran,
pintu-pintu istana telah dikunci
dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai,
dan inilah aku berada di kehadiratMu”[23].








[1]Abu al-Husain Ah{mad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lugah, Juz. I (Bairut: Ittihad al-Kitab al-‘Arabi, 1423 H./2002 M.), h. 229.
[2] Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984), hal 34
[3]Muhammad ‘Abd Rauf al-Manawi, al-Tauqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif, (Cet. I; Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1410 H.), h. 511.
[4]Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 60-61.
[5]Al Qusyairi, Al Risalah, Beirut, Dar-al Khair, tt. Hal 89
[6]Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan: 1994). Hal. 51-53
[7]Al Qusyari, hal 75
[8]Burhanuddin Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Rineka Cipta, jakarta: 1997). Hal.58
[9]Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf) (Pustaka, Bandung:1981)hal. 67
[10]QS: Al-Kahfi: 65.
[11]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an tentang Epistemologi, www.i.epistemology.net, (10-04-2012). 
[12]A. Khudori Soleh, Epistemologi Irfani, www.khudorisoleh.blogspot.com., (10-04-2012).
[13]Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. V (Cet. III; Bairut: Dar Ibnu Kasir, 1407 H./1987 M.), h. 2384.
[14]Mohammad Adlany, Esensi Pengetahuan dalam Irfan, www.teosophy.wordpress.com (9-04.2012).
[15]Hujair AH Sanaky, Dinamika Pemikiran dalam Islam, www.sanaky.staff.uii.ac.id, (10.04.2012)


[17]Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Lesfi, Yogyakarta :2002) hal. 41
[18] Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan: 1994). Hal.245
[19] Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf) (Pustaka, Bandung:1981)hal. 64.
[20] Murtadha Muthahari, Mengenal ‘Irfan, terj. C. Ramli Bihar Anwar, (Jakarta;: hikmah, 2002), Hlm. 3
[21] Murtadha Muthahari, Mengenal ‘Irfan, Hlm. 146-147.
[22] A. musthofa, , akhlaq tasawuf, (Bandung : pustaka setia, 2008) hlm. 250

[23] A. musthofa, , akhlaq tasawuf, Hlm. 150.

This post have 0 komentar


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
This Is The Oldest Page