Irfani
Irfani
merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ع- ر-ف memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu yang
berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang.[1]
Namun secara harfiyah al-‘irfa>n adalah mengetahui sesuatu
dengan berfikir dan mengkaji secara dalam[2].
Dengan demikian al-‘irfa>n lebih khusus dari pada al-‘ilm.[3]
Secara
termenologi, irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran
hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riya>d}ah.
Contoh konkrit
dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah isyra>qi> yang
memandang pengetahuan diskursif (al-h}ikmah al-ba>t}iniyyah) harus
dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-h}ikmah
al-z\awqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi
pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-h}ikmah
al-h}aqi>qiyyah. Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu
al-Qur'an merupakan contoh konkrit dari pengetahuan irfani.
Dapat
dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat
merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan
dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat
intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif.
Implikasi dari
pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri
agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya
dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the
otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan
esensi yang kurang lebih sama.
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham.
Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah
sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu
pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah qalbu memperoleh pembersihan melalui mujahadah dan latihan
spiritual sehingga tirai yang menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu
menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi
irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh
pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani
diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani
adalah cara memperoleh pengetahuan dengan mengandalkan pengalaman
batin.
Ketiga,
ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang
lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual
Tahapan untuk memperoleh
pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.
Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih
bersumber pada intuisi dan bukannya teks.
Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi
berfikir dan berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman).
Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran
yang tak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia
apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus
mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika.
Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan
dihayati secara langsung, intuisi,al-dzauq atau perasaan.
Dalam filsafat,
irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh
pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu. Ciri khas
intuisi antara lain; z|auqi> (rasa) yaitu melalui pengalaman
langsung, ilmu hud}u>ri> yaitu kehadiran objek dalam diri subjek,
dan eksistensial yaitu tanpa melalui kategorisasi akan tetapi mengenalnya
secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari evolusi
pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.[4]
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak
juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf,
ter-singkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep
tasawuf.[5]
Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks
tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan
melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep
kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian
pe-ngetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan;[6]
Jika
telah mencapai tingkat tertentu
dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahanpengetahuan langsung dari
Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan
mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf),
sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah)
sebagai objek yang diketahui.
Namun, realitas kesadaran dan
realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi
merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah
kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi
disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object
knowledge).[7]
Menemukan
kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern
Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran
adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran
ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan,
kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur
dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan
dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak,
berlaku sepanjang sejarah manusia.[8]
Pengetahuan semacam ini di dunia islam
sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa
Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham
bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang
menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan
Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai
petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan”
kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan
kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan
Allah.[9]
Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dijelaskan
bahwa ada dua cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena"
(tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran
secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm
Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Haidir:
فوجدا عبدا من عبادنا آتيناه رحمة من عندنا وعلمناه من لدنا علما
Artinya: “Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami”.[10]
Pengetahuan
intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma atau warna sesuatu,
ada yang langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A,
ada juga ide cemerlang secara tiba-tiba seperti halnya Newton ( 1642-1727 M)
menemukan gaya gravitasi setelah melihat sebuah apel yang terjatuh tidak jauh
dari tempat ia duduk dan ada juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan
Nabi Ibrahim as.[11]
Mengenai taksonomi epistemologi pengetahuan irfani adalah dari segi sumber
pengetahuan,
ia bersumber dari kedalaman wujud sang ‘a>rif itu sendiri; dari segi media/alat
pengetahuan, ia
bersumber dari kedalaman-kesejatian wujud sang ‘a>rif; dari segi objek
pengetahuan,
ia menjadikan wujud sebagai objek kajiannya; dari segi cara
memperoleh pengetahuan, ia diperoleh dengan cara
menyelami wujud kedirian melalui metode riya>d}ah.
Para pakar
berbeda pendapat tentang asal mula sumber irfani. Pendapat tersebut dapat
diklasifikasi dalam beberapa poin sebagai berikut:
1. Sebagian
golongan menganggap bahwa irfani berasal dari Persia dan Majusi seperti yang
disampaikan oleh Dozy dan Thoulk. Alasannya bahwa sejumlah orang-orang besar
sufi berasal dari Khurasan dan kelompok Majusi.
2. Sebagian yang
lain mengatakan bahwa irfani bersumber dari Kristen sebagaimana yang
diungkapkan oleh Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson dan yang lain. Alasan
mereka paling tidak dapat dikelompokkan dalam dua poin, yaitu:
a.
Interaksi yang
terjadi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah dan Islam.
b. Kesamaan
kehidupan antara sufi dan Yesus dan Rahib dalam masalah ajaran, tata cara riya>d{ah,
ibadah dan tata cara berpakaian.
3. Sebagian yang
lain berpendapat bahwa irfani bersumber dari India seperti pendapat Horten dan
Hartman. Alasan yang diajukan adalah:
a.
Kemunculan dan
penyebaran irfani pertama dari Khurasan.
b. Kebanyakan para
sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab.
c.
Turkistan
adalah pusat agama dan kebudayaan timur dan barat sebelum Islam yang sedikit
banyak memberi pengaruh mistisisme.
d. Konsep dan
metode irfani seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih merupakan
praktik-praktik dari India.
4. Sebagian yang
lain berpendapat bahwa irfan berasal dari Yunani, khususnya neo-platonisme dan
Hermes. Alasannya sederhana bahwa theologi Aristoteles merupakan paduan antara
sistem porphiry dan proclus yang sudah dikenal dalam Islam.[12][35]
Namun demikian, penulis cenderung berpendapat
bahwa irfani tidak berasal dari luar Islam sebab kehidupan Rasulullah saw. para
sahabat dan tabiin menunjukkan bahwa mereka dalam suatu waktu akan menggunakan
irfani bahkan mempraktikkan irfani, meskipun penamaannya belum ada.
Salah satu bukti bahwa Rasulullah saw.
membenarkan bahkan mengakui akan keberadaan makna irfani adalah hadisnya yang
berbunyi:
إن الله قال من
عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه
وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به
وبصره الذي يبصر به ويده التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها وإن سألني لأعطينه
ولئن استعاذني لأعيذنه.[13]
Artinya: Sesungguhnya Allah berfirman:
“Barangsiapa yang menyakiti seorang wali maka aku mengumandangkan perang
dengannya, hambaku tidaklah mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang
paling aku cintai melainkan apa yang aku wajibkan padanya dan hambaku
senantiasa mendekatkan diri kepadaku dengan hal-hal yang sunnah hingga aku
mencintainya. Jika aku sudah mencintainya maka akulah pendengaran yang
digunakan mendengar, penglihatan yang digunakan melihat, tangan yang digunakan
memukul dan kaki yang digunakan berjalan, Jika dia meminta padaku aku akan
memberikannya dan jika dia berlindung kepadaku maka aku akan melindunginya”.
Sedangkan riya>d{ah dalam irfani
sering kali dilakukan oleh Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya seperti khulwah
(penyepian), tinggal di mesjid Nabawi dan prilaku individu sahabat.
Pada perkembangan berikutnya istilah yang dapat
mewakili makna irfani mulai beragam. Dalam filsafat misalnya dikenal istilah
intuisi sedangkan dalam tafsir dikenal istilah isya>ri>.
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber
dari intuisi-intuisi, musya>hadah, dan muka>syafah lebih
dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari
argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan
bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah
alam dan manifestasi-manifestasinya, namun manusia dapat berhubungan secara
langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam
(Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat
berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk
ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.[14]
Namun kendala
atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh
segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di
samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada
pengalaman individu manusia.
Metode kasyf dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang
berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih
dari sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak
terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran
agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism. Apa yang
mereka alami “ mungkin benar “ atau barangkali “kebenaran karena
kebetulan “, akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah.[15]
Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta
pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan
dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini
kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar
pada kemunduran pola pikir manusia[16].
Dalam
epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf),
seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada
tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh
tahapan itu adalah:
a. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang
baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti dengan
perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang
tidak jelas statunya . apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan
kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan
dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki
apapun kecuali Tuhan swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan
dan rela namun tidak berarti diam.
f. Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang
ditentukan oleh tuhan.
g. Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati
sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
Pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan
kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani
bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan
simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, [17]sehingga
tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[18]Hal
ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
“Pengetahuan tentang kebenaran
tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi.
Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan.
Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan
untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal
secara sepakat”.[19]
Kemudian
beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari
hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan
dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni
analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada
dalam teks. Kedua, diungkapkan
lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân)
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan
pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar
kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif
yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis
maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan
dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya
diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi
diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahâttersebut
harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada
makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan
secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode analogi seperti diatas, menurut
al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat
esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam
analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas
dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan
tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan
berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini
merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut
untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani
yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya
kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya
hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi
apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali
berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani
lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara
mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat
positifistik.
C. HAKIKAT TASAWUF IRFANI
Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua
aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian
yang menjelaskan hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap dirinya,
dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian
praktis ini disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini
menjelaskan bagaimana seseorang penempuh rohani (salik) yang ingin mencapai
tujan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh
tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berurutan, dankeadaan jiwa (hal)
yang bakal dialaminya sepanjang perjalanannya tersebut.
Sementara itu, ‘irfan teoritis
memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia,
Tuhan serta alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi
(falsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya
filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya. Namun,
jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional,
‘irfan mendasarkan diri pada ketersibukan mistik yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.[20]
- Tokoh-tokoh Tasawuf Irfani
- Rabi’atul Adawiyah (95-185 H)
- Biografi Singkat
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah binti
Ismail Al Adawiyah AL Bashriyah Al Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun
95 H/ 713 M atau 99 H/ 717 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak)
dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/ 805 M. Ia dilahirkan sebagai putri
keempat, orang tuanya menamakan Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika
dia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia
dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah.
Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini
pulalah, ia bekerja keras tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat
cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah
pada saat ia sedang beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya,
Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang Zahidah dan
Sufiah. Ia jalani sisa
hidupnya hanya dengan beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak taubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup
dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang
kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi
dari Tuhannya[21]
- Ajaran Tasawuf : Mahabbah (Cinta)
Dalam perkembangan mistisme Islam, Rabi’ah Al Adawiyah tercatat sebagai peletak
dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya
merintis aliran astisketisme Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan
kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus
ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi’ah , yaitu hub al
hawa dan hub anta al lahu, perlu dikutip tafsiran beberapa tokoh
berikut. Abu Thalib Al Makiy dalam Qut Al Qulub, sebagai mana dijelaskan
Badawi, memberikan penafsiran bahwa makna hubb al-hawa adalah rasa cinta
yang timbul dari nikmat-nikmat adalah nimat material, tidak spriritual, karena
hubb di sini bersifat indrawi. Walaupun demikian hubb al-hawa yang diajukan
Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambah
dan berkurangnya nikmat. Sebab, Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri,
tetapi sesuatu yang ada di balik nikmat. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah
cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang
dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban
yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada dzat yang dicintai.
Dikatakan bahwa waktu Robi’ah menghadapi maut ,ia meminta teman-temannya
meninggalkannya dan ia mempersilahkan pada para utusan Tuhan lewat. Waktu
teman-temannya berjalan keluar, mereka mendengar robi’ah mengucapkan Syahadat,
dan ada suara yang menjawab,
“sukma, tenanglah kembalilah kepada Tuhanmu
legakan hatimu kepadaNya, ini akan memberi kepuasan kepadaNya”[22]
Cinta Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya,
sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini terungkap dalam Syairnya:
“ku jadikan Kau teman berbincang dalam kalbu
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.”
Bagi manusia yang mempunyai cinta kepada Allah yang tidak tulus ikhlas,
Rabi’ahselalu mengatakan:
“Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka
Tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta
Sungguh aneh gejala ini
Andaikan cinta-Mumemang tulus dan sejati tentu
yang
Ia perintahkan kau taati
Sebab pecinta selalu patuh dan bakti kepada
yang dicintai.”
Dalam
kesempatan bermunajat. Robi’ah kerap menyampaikan:
“Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam
mencintaiMu,
sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain
dariMu,
ya Tuhan, bintang dilangit telah germelapan,
mata telah bertiduran,
pintu-pintu istana telah dikunci
dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang
dicintai,
dan inilah aku berada di kehadiratMu”[23].
[1]Abu
al-Husain Ah{mad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lugah, Juz. I
(Bairut: Ittihad al-Kitab al-‘Arabi, 1423 H./2002 M.), h. 229.
[2]
Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Usaha Nasional, Surabaya : 1984), hal 34
[3]Muhammad
‘Abd Rauf al-Manawi, al-Tauqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif,
(Cet. I; Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1410
H.), h. 511.
[4]Mulyadhi
Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam (Cet.
I; Bandung: Mizan, 2003), h. 60-61.
[6]Mehdi
Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan: 1994).
Hal. 51-53
[7]Al
Qusyari, hal 75
[8]Burhanuddin
Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Rineka Cipta, jakarta: 1997). Hal.58
[9]Ali
Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf)
(Pustaka, Bandung:1981)hal. 67
[10]QS:
Al-Kahfi: 65.
[11]M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an tentang Epistemologi, www.i.epistemology.net,
(10-04-2012).
[13]Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz.
V (Cet. III; Bairut: Dar Ibnu Kasir, 1407 H./1987 M.), h. 2384.
[17]Mohammad
Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Lesfi, Yogyakarta :2002)
hal. 41
[18]
Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan:
1994). Hal.245
[19]
Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas,
Yusuf) (Pustaka, Bandung:1981)hal. 64.
[20]
Murtadha
Muthahari, Mengenal ‘Irfan, terj. C. Ramli Bihar Anwar, (Jakarta;: hikmah,
2002), Hlm. 3
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100