Pemikiran Raden Ngabehi
Ranggawarsita Sukarta
Oleh:
Takdir Ali Syahbana
A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang Allah ciptakan
paling sempurna di bandingkan dengan makhluk yang lain, baik dalam bentuuk fisik maupn dalam bentuk
intelektual, namun perbedaan yang sangat signifikan adalah tertumpu pada
intelektual (akal).[1] Dari akal sinilah manusia dibebani perintah dan di
hujani dengan peraturan , gara-gara faktor akal pulalah manusia diberikan agama[2]
untuk menata struktur kehidupan agar tetap sebadan dengan inteletual manusai
sendiri. Kecerdasan intelektual, emosional, spiritual adalah inti dari manusia
sendiri.
Agama merupakan tempat pacu manusia untuk
berbuat kebaikan, dari agama pulalah manusia mendapatkan hakikat kebahagiaan
dan dari agama pulalah manusia mendapatkan ketenangan, namun, ketika manusia
tidak mendapatakan ketenangan dan kepuasan dalam beragama (Agnotesisime)
maka manusia akan mencari solusi lain yang lebih meyakinkan dibandingkan dengan
sebelumya. Bukan berarti pancariyan manusia tercantum pada sekte-sekte di dalam
Islam saja,[3]
namun lebih jauh dari hal tersebut yaitu kepercayaan dan kebatinan, salah satu
contoh dari hal tersebut adalah Kejawen yang berasal dari daerah Jawa dan tetap
mempunyai tokoh-tokoh yang disegani dan di patuhi, salah satunya adalah Raden
Ngabehi Ranggawarsita Surakarta, lantas bagaimana siapa sebenarnya orang ini
dan bagaimana ajarannya?
B. Sejarah Kebatinan (Tinjaun Historis Kejawen)
Sangat sulit sekali melacak asal-usul
kebatinaan ini dikarenakan bahwa bacaan yang sangat sulit dan tidak
bermatraikan khusus mengenai asal-usul kebatinan secara gamblang, jadi penulis
berusaha untuk meraba beberapa literatur untuk mendiskripsikan pandangan
sejarah terhadap kebatinan.
Ada beberapa orang[4]
yeng mengatakan bahwa ajaran kebatinan tersebut adalah sikap mereformasikan dan
merevolusikan doktrin islam (menyelewengkan ajaran islam). Kebatinan
bukanlah sikap reformasi dari beberapa doktrin Islam, mari kita dengarkan perkataan dari sejarah
mengenai asal-usul kebatinan; istilah kebatinan muncul pada masa kerajaan
Mataram yang terkenal memiliki serat yang dinamakan dengan Sastra Gending yang
dikatakan sebagai buah karya dari Sultan Agung Anyakrakusuma, dari sini kita
akan menilik apa sebenarnya gending dalam serat tersebut? Gending dalam serat
tersebut isinya adalah Syahadat namun berbeda versi dengan syahadat yang telah
kita imani sekarang, bunyi dari selat itu hnya lailaha illa Allah tidak ada Muhammadnya.[5]
Namun jika ditinjau kemabali dalam kalimat Serat maka akan nampak
devinisinya menurut sumber utamanya (Jawa) serat terdiri dari dua bait
tambang pangkur yang berbunyi;
“Ngadyan Sastra kalih dasa, wit akhadiyat,
ponang Ha-Na-Ca-Ra-Ka pituduhipun, dene kang Da-Ta-Sa-Wa-La, kangentiyaning
kang pamuji, baik selanjutnya: wah diat jadi kang rinasan ponang Pa-Da-Ja-Ya-Nya
angyektini kang tuduh lankang tinuduh, sami santosanira, kahanannya wakadiyat
pambilipun, dene kang MA-Ga-Ba-Ta-Nga wus kanyatan jatining sir”
Inilah cikal dan bakal kebatinaan yang ada dikerajaan mataram yang dimulai
dengan ajaran; Sangkan praning dumadi dan Manunggaling kaulah Gusti
inilah terjemahan dari syair yang bernama “Hancaraka” dan ini juga jelas bahwa
ini bukan alur dari aqidah Islam namun tafsiran dari sastra Gending.[6]
Syair hancaraka merupakan tulisan murni dari abjad jawa yang berisikan tentang
kebatinan, sementara jika ditinjau lebih jauh lagi maka kita akan dapati bahw
apencipta syair hancaraka itu adlaah Jananabadra yaang dikatakan adalah oraang
jawa asli yang yang ahli dalam bidangnya karena dia adalah seorang sarjana dan
pendeta budha Hinayana dia juga menjabat sebagai mahapatih Mangkubumi yang
berada di kawasan Maharaja Hindu Agastya bernama Sanjaya (723-744), selain itu
dia adalah penerjamah buku buku agama Budha, yang sangat menaraik bahwa
jananabhadara adalah semar.[7]
Perlu diketahui kemabli sesungguhnya kebatinan yang berada di sekitar kita saat ini beraasal dari
agama Budha dan Hindhu, sejarah mengatakan bahwa jananabhadara adalah sosok
yang menjawanisasikan buku-buku yang agama Budha dan Hindu kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Jawa, hingga saat ini, jadi kebatinan itu terlahir
dari agama Budha dan Hindu bukan dari agama Islam sendiri yang dikenal dengan
“kauruh kejawen” atau Jawaisme.[8]
Perlu juga diketahui bahwa ajaran-ajaran kebatinan yang dimulai pada zaman
Mataram di masa Sultan Agungan bukanlah refolusi dari ajaran Islam namun terjemahan
dari kitab-kitab Hindhu dan Budha. Pada masa kerajaan mataram ini kebatinan
memiliki empat kandungan; Metafisik,[9]
Mistika,[10]
Etika,[11]
dan Okultisme,[12]
a. Metafisik
Ajaran kebatinan yang terlahir di jawa mempunyai beberapa
unsur, unsur yang pertama adalah matafisik, berangkat dari metafisik ini orang
kebatinan punya devinisi yang khusus yaitu setiap ajaran yang mengandung
hal-hal metafisik maka akan ditemuai faham “sangkan paraning dumadi.[13]
b. Mistika
Sekanjutnya adalah mistik yang merupakan salah satu
kandungan dari ajaran kebatinan, orang jawa mempunyai devinisi khusus mengani
permasalahan ini, meraka mengatakan bawha mistika adalah ilmu tentang
manunggaling kaulah gusti, karena kebatinan merupakan wujud dari pahama Hindhu
dan Budha maka manunggaling kaula gusti tersebut adalah ajaran paham Atma dan
brahman, dan dalam paham Budha adalah ajaran tentang moksa dan nirwana.[14]
c. Etika
Selanjutnya adalah etika yang merupakan ajaran dasr dikalangan kebatinan
yang besalkan dari agama budha dan hind etika dalam pahamnya adalah
memilah-milih tentang yang mana yang pantas dan yang mana yang tidak pantas
dalam kehidupan manusia, aptut atau tidak patut dalam kehidupan mansuia.[15]
d. Okultisme
Yan teralkhir yang ada dalam dunia pemahaman kebatinan yang juga bersumber
dari jawa budha dan hindu. Mereka memaham bahwa okultisme adalah pemahaman
tentang “jaja kawijayan” maksutnya adalah, ajaran ini adalah bagaimana manusia
mengenai dan bergaul dnegan baik antara manusia satu sama lain, dan hak yang
berhubungan dengan masyarakat sosial, mampu bergaul dengan baik.[16]
Dari urain di atas dapat kita tarik kesimpulan sementara bahwa kebatinan
bersumber dari daerah jawa apada masa kerjaan Mataram dengan raja Sultan
Agungan, dari sinilah kita juga berangkat dari hal ytang sangat penting, islam
bukanlah agama mengeluarkan ilmu kebatinan yang dikatakanorang sebagai aliran
menyimpang, namun kebatikan adalah aliran yang muncul dikalangan jawa yang
menafsirkan dari ajaran-ajaran Budha dan Hindu kemudian diinfestasikan ke dalam
agama islam namun tetap ada ajaran Budha dan Hindhu yang ada di dalamnya.
C. Biografi Raden Ngabehi Ranggawarisita Surakarta
Ngabehi Ranggawarisita Surakarta lair pada
hari senin Legi 10 Dzulkaidah bertepatan pada tahun Be, 1728 Jawa atau 15 Meret
1802 M. Beliau adalah putra sulung dari Mas Pajangswara yang berpangkat jajar
kemudian pangkatnya aik menjdai carik atau juru tulis Kadipaten Amon.[17]
Naman muda beliau adalah Bagus Burham, Bagus Burham menjelag Usia 12 tahun
dikirim ke suatu pesantren untuk memperdalam pendidikannya, podok pesantren itu
adalah Gebang tinatar Ponorogo yang di asuh oleh kiai Imam Kasan Basri.[18]
Sesudah selesai mengakji ilmu agma di pondok
pesantren tersebut maka, bagus pun mengembara untuk lebih memperluas lagi
ilmunya hingga ke pulau Bali, pada tahun 1845 dia diangkaat menjadi pegawwai
sebagai penulis di keraton Surakarta, selama hidupnya dia mengabdi kepada lima
Raja[19]
dia adalh seorng penulis yang terkenal pada waktu itu, diantara tulisannya
adalah: Serat Wirit, Hidaya jati, Suluk Saloka Jawa, Suluk Supanaloya, Serat
Pumaring, kawula Gusti, suluk suksma Lelana, serat paragama Yoga, serat
jayemgtilam, Pustaka Raja Purwa, Kaladhita, Sabdatama, Cemporet, Joko Lodhang,
wedharagama, Wheda Purwaka, Sadu Budi, Jitapsarasa, Cendrarini dan witharaja.[20]
D. Ajaran Kepemimpinan Ranggawarsita
Jauh sebelum ajaran ini di lahirka, Jawa sudah
mempunyai ramamalan-ramalan untuk kepemimipinan yang pantas untuk di puja,
yaitu yang disebut dengan sepuluh kebajikan luhur dan sering disebut dengan dasa
darma pemimpin. Sepuluh gambaran tesebut sebagai berikut:
1. Kebajikan pertama: Paricaga, rela berkorban
Pemimpin harus rela berkorban demi
mendahulukan kepentingan bangsanya, pemimpin yang enggan berkorban dan lebih
mementingkan keluarganya dan teman-teman dekatnya untuk mengambil keuntungan
akan dikritik dan ditinggalkan rakyatnya.[21]
Pengeobana yang dimaskut bersifat umum, baik berkorba tenaga, waktu, pikiran
dan karya yang tertuju hanya untuk negara yang dipimpinya.
2. Kebajikan kedua: Ajava, berhati tulus
Pemimpin dalam bertindak harus mempunyai hati
tulus, ikhlas dan tidak dibuat-dibuat agar dapat menarik simpati rakyat, baik
itu dalam bentuk sosial ataupun yang lainnya yang ditujukan agar hati rakyat
tertarik dan simpati, hal ini tidak menggambarkan tipe pemimpiin yang baik.[22]
3. Kebajikan ketiga: Dana, gemar
beramal
Pemimipin yan gemar beramal, bersedekah baik
dalam bentuk materi ataupun jasa yang lainnya adalah pemimipin yang benar, suka
membantu pembangunan masjid ataupun yang lainnya seperti panti asuhan, tempat
ibadah ataupun hal yang lainnya asalnya dengan kekhlasan.[23]
4. Kebajikan Keempat: tapa, hidup degan sederhana
Pemimpin dan keluarganya harus memberikan
contoh hodup sederhana bukan konsumtif dengan pakain yang mewah dan mahal,
pemimpin harus menunjukan kesederhanaan kepada rakyatnya, jika pemimpin
memberikan contoh hidup kesederhaan maka rakyatnya pun akan mencontoh hidup
dalam kesederhanaan.[24]
5. Kebjikan ke lima: Susila, memiliki moralitas yang tinggi
Pemimpin harus menunjukan kesilaan yang
tinggi, moral yang bagus, jika pemimpin terlihat dengan moral yang baik, maka
rakyat akan selalu mendukung dan menghormatinya, maka negara tidak akan pernah
ribut apalagi tauran, namun jika pemimpin menunjukan moral yang rendah, buruk,
maka semuanya akan berdampak pada masayarakat yang dipimpinnya.
6. Kebajikan keenam: Madava, berprilaku ramah tamah
Pemimpin akan mendapatkan respek dari
masayarakatnya jika pemimpinnya berpsikap ramah erhadap masyarakapnya.
7. Kebajikan ketujuh: Akodha, tidak gampang marah dan dendam
Jika ada salah satu anggota kepemerintahan
yang salah maka tidak serta merta marah apalagi dendam, hal ini berdampak pada
rakyatnya, tidak dapat dicontoh dengan baik, jika ada pemimpin seperti ini,
maka rakyat akan benci dan rakyat tidak akan sudi dia jadi pemimpin di kemudian
hari.[25]
8. Kebajikan kedelapan: Khanti, mempunyai kesabaran
Pemimimpin yang baik adalah pemimipin yang
mempunyai kesabaran yang tinggi, karena masyarakat yang dihadapinya
berbeda-beda dengan watak yang tidak sama, jika ada terjadi sesuatau kepada
rakyatnya namun pemimpinnya tidak sabaran, maka pemimpin dipastikan akan
mengambil keputusan yang tergesa-gesa dan tidak baik untuk rakyat.[26]
9. Kebajikan kesembilan: Avirodhana, tidak suka mencari permusuhan
Pemimpin harus tidak suka mencari permusuhan,
khusunya kepadda singna yang kan menjadi seorang pemimpin, baik
bermusuh-musuhan didalam partai atau yang lainnya, saling skut menyikut, saling
tuduh menuduh dnegan kata-kata kasar, hal demikian tidak pantas untuk menjadi
seorang pemimpin, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menjaga hubungan kekerabatan
kepada semua manusia, baik itu satu negara atau kenegara yang lain.[27]
10. Kebajika kesepuluh: Avihimsi, tidak bersifat kejam
Pemimimpin yan kan menjadi tautan
masayarakatnya adalah pemimpin yang bersikap lembut, tidak kejam, ketika ada
perbedaan pendapat, tidak langsung menangkap apalgi membunuh, seharusnya
pemimpin harus bersifat lembut tidak aroman dengan kekerasan, paalgi
berkata-kata kasar.[28]
E. Kesimpulan
Urain panjang lebar diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa ajaran kebatinan berasal dari jawa, dan sering disebut dengan
kata atau kalimat kejawen, salah satu tokoh dari kejawen adalah Raden Ngabehi
Ranggawarsita Surakata, dia adalah tokoh kejawen yang ahli dalam bidang
kebtinan dan juga pengamat terhadap sosial, baik itu di dalam kerajaan ataupun
di luar kerajaan.
Ranggawarsita hidup pada abad ke 19 putra dari
Pajangswara, Ranggawarsita mempunyai keahlian dalam bidang tulisan dan
keimuannya terhadap kebatinan, slaah satu yang dimashurkan adalah krtikannya
terhadap pemimpin dengan mengeluarkan sepuluh ajaran tipe kepemimpinan yang dia
hadapkan kepada lima raja yang sudah dia hormati selama masa hidupnya,
dikarenakan dia adalah seorang pengembara.
Sepuluh ajaran kepemimimpinan tersebut adalah:
Paricaga, ajava, dana, tapa, susila, madava, akodha,khanti, avirodhana,
avihimsa, kesemuanya ditujukan kepada pemimipin-pemimpin.
[1] Untuk lebih jelas mengenai permasalahan
perbedaan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, mari kita tengok
beberapa cuplikan ayat Al-qur’an yang menyinggung pada kasus ini. Lihat: QS, 3:
164. QS, 4: 165. QS, 7: 52. QS, 7: 179. QS, 13: 37. QS, 17: 15. QS, 17: 70. QS,
25: 41-42. QS, 64: 2-3. QS, 95: 4-6. QS, 98: 6-8. Kesemua ayat inilah manusia
di tuding sebagai makhluk yang mempunyai beban dasar sebagai makhluk yang
sempurna yang mampu memeikirkan baik dan buruk, sekarang dan masa depan, dari
ayat-ayat di atas pulalah manusa di jelsakan bahwa kecerdasan yang manusia miliki itu adalah butuh kinerja yang
maksimal, bukan hanya menunngu hidayah dari Tuhan tapi juga harus berusaha
mencari ilmu. Lihat: M. Brar Harun, sistematika Al-Qur’an dan Penjelasannya,
(Banjarmasin: PT. Garfika Wangi Kalimantan, 2007), hlm. 10-15.
[2] Agama dalam bahasa Sanskrit, dalam abjat
hurupnya ‘A’ maka di artikan dengan tidak sedagkan pada gama
di artikan dengan pergi (tidak pergi) atau dapat juga diartikan dengan
hal yang tidak pergi dari kehidupan yang diwarisi oleh turun-temurun oleh
manusia. Lihat: Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1979), hlm. 9. Lihat juga: Dedy Supriyadi, Mustofa Hasan, Filsafat Agama,
(Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 10. Kemudian pengertian kata agama ini
sedikit berbeda jika di tinjau dalam bahasa Sansekerta di mulai dari huruf A
di artikan dengan tidak dan di
lanjutkan dnegan kalimat gama yang berarti kacau di gabungkan
muncullah defenisi kahir yaitu tidak kacau, agama adalah peraruran
yangmengatur manusia agar tidak mengalami kekacaun yang menggelincir dari hatii
nurani manusia sendiri. Lihat: Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang:
UIN-MALIKI Press, 2010), hlm. 2. Bahran Noor Haira mengetakan bahwa Peraturan
yang ada dalam agama khususnya Islam satupun ajarannya tidak ada yang
bertentangan dengan hati nurani. Agama teerbagi kepada tiiga kategori, Agama
Samawy, Agama yang menyerupai Shuhuf, agama ciptaan manusia, jika agama di
pandang dari sudut sesembahan maka terbagi dua; bertuhan Rohani dan bertuhan
materi. Lebih jelas lihat: H.M. As’ad El Hafidy, Aliran-Aliran Kepercayaan
dan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), h. 87-88.
[3] Salah satu sekte dalam agama Islam yang
mencari ketenangan dan kebhagiaan yang dengan pemikirannya yang santai demi
sosiologis adalah Murji’ah, murjiah adalah sekte yang mengetengahi antara
Khawarij dan Syi’ah. Kehadiran Murjiah memberikan ketenangan dan kebahagiaan
dari dua kubu yang berdu kekerasan. Untuk lebih jelsa silahkan lihat: Muh̲ammad
‘abdu al-KarÈ‹m bin abi bakar ahmad al-SyahrastanÈ‹, Al-Milal wa al-Nihal,
(Libanon, Daru-al-fakr, 1997), h. 112. Dan: H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran
teologi Islam dalam Sejarah pemikiran
Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2010), h. 58. Dan: H.M. Ahmad, Tauhid
Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 159. Lihat juga: Abdul
Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, ( Bandung: Cv. Pustaka Setia.2012), h.
56. Dan: tgk. H.Z.A. Syihab, Aqidah Ahlu-al-Sunnah Versi Salaf, Khalaf, dan
Versi Asy’Ariyyah di antara keduanya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 71.
[4]Orang-orang tersebut adalah; Abdurrahman
Wahab, Sju’bah, Hamka, Lihat: Rasjidi,
Warsito S, H. Hasbullah Bakry, di
Sekitar Kebatinan,(Jakarta: Bulann Bintang, 1973), h. 10-11.
[8] Rasjidi, Warsito S, H. Hasbullah Bakry, di Sekitar Kebatinan, . . . h. 17. Hal ini senada dengan apa
yang sdah diinforamsikan oleh Dr. Roibin, MHI : yaitu: Tidak sedikit para ilmuwan antropologi yang
berbeda perspektif dalam melihat kosmogoni kepercayaan kejawen ini. Sebagian
ilmuwan mengatakan bahwa kosmogoni kepercayaan Jawa diwarnai oleh kebudayaan
Cina. Pandangan
ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa berita mengenai Cina di kepulauan
Indonesia dapat dianggap sebagai sumber ke tujuh dalam sejarah politik Jawa
pada abad ke-15 dan 16. Dalam catatan Narendra Agung dikatakan bahwa Cina
ternyata sangat penting bagi pembentukan corak kepercayaan Islam di masyarakat
Jawa. Demikian juga dalam catatan sejarah dari pusat-pusat perdagangan Cina di
Jawa, menunjukkan bahwa telah ada orang Cina Muslim yang tinggal di Jawa. Alasan di atas diperkuat oleh bukti historis bahwa
pada saat Khubilai Khan berkuasa jauh sebelum abad ke-15 dan ke-16 M, yaitu
pada tahun 1275 M, ia memberi kebebasan dan kepercayaan kepada orang-orang
Islam dari Turkistan di Asia Tengah untuk keluar masuk negeri Cina. Orang-orang
Turkistan Muslim itu selain beroleh kedudukan yang cukup baik, juga ada yang
menduduki jabatan menteri di istana kaisar. Oleh karena itu orang-orang
Turkistan dari Balkh, Bukhara dan Samarkand mulai melancarkan pengislaman
terhadap orang-orang Mongol dan Cina serta orang-orang di wilayah kekuasaan
Khubilai Khan. Pada saat itu sekalipun pengislaman di Cina hasilnya tidak
seperti di Persia, India dan Turkistan, namun boleh dikatakan orang-orang Cina
banyak yang masuk Islam. Dari data di atas, tidak
menutup kemungkinan bahwa Cina yang datang ke Jawa, baik atas dasar kepentingan
perdagangan maupun politik dimungkinkan membawa tradisi dan kebudayaan Islam,
selain juga tradisi dan kebudayaan khas mereka sendiri.Pandangan lain yang agak
senada juga diungkapkan oleh J.H. Kern asal Belanda.
Menurutnya orang Jawa dianggap dari keturunan orang-orang Melayu yang berasal
dari Cina. Kurang lebih tiga ribu tahun sebelum Masehi menurut pandangan Kern
telah terjadi gelombang pertama imigran Melayu yang berasal dari Cina yang
membanjiri Asia Tenggara, yang disusul kemudian dengan gelombang kedua, kurang
lebih dua ribu tahun lamanya. Pengaruh imigran Melayu Cina ini, bagi masyarakat
Jawa tidaklah kecil, melainkan kultur Cina baik yang sudah bersentuhan dengan
kebudayaan Islam sebagaimana yang terjadi pada masa kekuasaan Khubilai Khan, maupun
yang belum berinteraksi dengan Islam, betapapun telah banyak mempengaruhi
karakter asli kebudayaan Jawa. Lihat: Purwadi dan
Maharsi, Babad
Demak: Sejarah Perkemabangan Islam di Tanah Jawa,
(Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005), h. 22. Dan: Frans Magnis Suseno,
Etika
Jawa:Sebuah Analisis Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 21
[9] me·ta·fi·si·k
/métafisika/ n ilmu pengetahuan yg berhubungan
dng hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan. Lihat: KBBI offline v1.3.
(2010-2011).
[10] mis·tik n 1 subsistem yg ada dl hampir semua agama dan sistem
religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dng
Tuhan; tasawuf; suluk; 2 hal gaib yg tidak terjangkau dng akal manusia yg
biasa. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[11] eti·ka
/étika/ n ilmu tt apa yg baik dan
apa yg buruk dan tt hak dan kewajiban moral (akhlak). Lihat: KBBI offline v1.3.
(2010-2011).
[17]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, (Yogyakarta: Kumpulan Penerbit Pinus, 2010), h. 87.
[18]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, . . . h. 87.
[19]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, . . . h. 88.
[20]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, . . . h. 88.
[21]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, . . . h. 93.
[22]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, . . . h. 93.
[23]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, . . . h. 94.
[24]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, . . . h. 94.
[25]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, . . . h. 94.
[26]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, . . . h. 95.
[27]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, . . . h. 95.
[28]
Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen
ajaran dan Pengaruhnya, . . . h. 95.
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100