Asal-Usul Kebatinan dan Kepercayaan: Disorot dari Kaca-Mata Terminologi dan Tinjauan History

author photo April 23, 2013


Asal-Usul Kebatinan dan Kepercayaan:
Disorot dari Kaca-Mata Terminologi dan Tinjauan History
Takdir Ali Syahbana٭
Abstrak
Ketenangan jiwa merupakan impian setiap manusia, oleh karena intulah manusia berupaya dan berusaha dengan sekuat tenaga baik dari sisi intelektual maupun dari sisi spiritual dalam rangka mencari jati diri siapa sebenarnya yang mempunyai sumber ketenagan, muncullah paham yang mendiskripsikan nama dengan Kebatinan, inilah asal-usul manusia mencari jati diri meraka dengan menfokuskan diri kepada satu bidang ketekunan dengan sang Tuhan, lantas tercipta pulalah kepercayaan dalam rangka menjajal pola pikir yang terpacu dalam jurnal doktrin per-kepercayaan.
Kata kunci: Kebatinan, Asal usul, Kepercayaan.
A.    Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang Allah ciptakan paling sempurna di bandingkan dengan makhluk yang lain, baik  dalam bentuuk fisik maupn dalam bentuk intelektual, namun perbedaan yang sangat signifikan adalah tertumpu pada intelektual (akal).[1] Dari akal sinilah manusia dibebani perintah dan di hujani dengan peraturan , gara-gara faktor akal pulalah manusia diberikan agama[2] untuk menata struktur kehidupan agar tetap sebadan dengan inteletual manusai sendiri. Kecerdasan intelektual, emosional, spiritual adalah inti dari manusia sendiri.
Agama merupakan tempat pacu manusia untuk berbuat kebaikan, dari agama pulalah manusia mendapatkan hakikat kebahagiaan dan dari agama pulalah manusia mendapatkan ketenangan, namun, ketika manusia tidak mendapatakan ketenangan dan kepuasan dalam beragama (Agnotesisime) maka manusia akan mencari solusi lain yang lebih meyakinkan dibandingkan dengan sebelumya. Bukan berarti pancariyan manusia tercantum pada sekte-sekte di dalam Islam saja,[3] namun lebih jauh dari hal tersebut yaitu kepercayaan dan kebatinan. Dari sinilah berangkat kembali manusia menuju kepada sebuah kenyataan yang ada di sekitar kita ketika manusia hendak mendapatkan hal yang lebih menarik dan membahagiakan maka, manusia mencari jalan-jalan dianggap itu adalah jalanyan terbaik bagi dirinya yang di sebut dengan Kebatinan atau bisa juga disebut dengan kepercayaan, dari sinilah kita meberangkat untuk memaham lebih jauh apa sebenarnya kebatinan dan dari mana asal-usul kebatinan tersebut?
B.     Asal Usul Kebatianan dari Sorotan Termenologi dan Etimologi
Tidak asing lagi bagi cendikiauan agama yang mencoba memikirkan agamanya dengan nalar dari dasar standar  hal yang mereka yakini, begitu juga cendikiauan agama yang suka menilik hal-hal yang ada di sekelilingnya termasuk juga kebatinan, ada beberapa pondasi dasar mengenai kebatinan yan ditinjaudari sisi kalimatnya;
a.       Dalam KBBI tercantum beberapa devinisi yag mengatakan dan menjelaskan tentang ‘Batin’. Pertama, sesuatu yang terdapat di dalam hati, baik perasaan atau yang lain sebagainya,baik menyangkut dengan jiwa atau kondisi di balik jiwa itu sendiri. Kedua, sesuatu yang tidak dapat dicerna oleh panca indra, (Gaib).[4]
b.      Kalimat “kebatinan” merupakan sebuah terjemah dari bahsa inggris: “approfondissement de la vie interiure” (memperdalam hidup) berangkat dari sini pula maka dapatlah dikatakan sebagai kunci pemahaman bahwa kebatinan itu adalah manifestasi dari sebuah keyakinan “theosophie”[5]
c.       Kemungkinan besar lagi bahwa kalimat kebatinan merupakan infestasi dari kalimat “Okultisme”[6] hal ini dikarenakan bahwa kebanyakan aliran kebatinan memanfaatkan kekuatan lain dari dalam dirinya untuk mencapai hakikat yang mereka inginkan, ini di karenakan bahwa kekuatan gaib yang mereka yakini mampu menolong diri meraka untuk menuju ketenangan.[7]
d.      Jika kalimat kebatian dikembalikan kembali kepada dasar Mufradatnya dalam bahsa Arab maka akan nampak dari sana sebuah kalimat “Bathin”.[8] Dari sini juga dapat ditarik penjelasan yang lebih subtansi bahwa maunusia jika di landa ketidak puasan dalam beragama maka dia akan mencari hal-hal yang dapat memuaskan dirinya, baik itu mengguanakan mitode pemikiran ataupun dzauq (olah rasa) dengan Tuhannya, baik itu menggunakan hal-hal yang ada dalam kitab suci dengan cara menafsirkan kalimat-per-kalimat dengan tafsiran yang lebih dalam dari tafsiran biasa.[9]
Dikalangan orang-orang arab kata batiniyah sering di pakai untuk nama sekte dari pemikir muslim di antarannya adalah; Khurramites, Karmatians dan Ismailites, dalam dunia Islam Bathiniyah adalah sebuah sekte yang mempunyai paham bahwa Al-Qur’an yang asli adalah esensi yang ada di dalamnya, pemahaman yang benar dibalik lembaran Al-Qur’an itulah yang benar.[10]
Dari keterangan di atas dapat kita tarik kesimpulan sementara bahwa kebatinan memang bukanlah hal yang tabu bagi umat manusia khusunya indonesia, dan dari sini pulalah kita dapat pahami bahwa kegelisahan manusia yang tidak mendapatkan kepuasan pada agama yang mereka yakini inilah cikal-bakal meluncurnya aliran kebatinan di tengah-tengah mansyarakat, analisisnya bahwa kebatinan merupakan expresi dari manusia untuk menunujukan bahwa dirinya itu memang pantas dan relevan untuk memaham kedekatan tubuhnya dengan sang pencipta (Tuhan) melalui hal-hal yang berada di luar indra mereka hanya intuisilah (‘Irfani)[11] yang berguna untuk merasakan hal tersebut.
C.     Asal Usul Kebatinan dari Sorotan Hintory
Sangat sulit sekali melacak asal-usul kebatinaan ini dikarenakan bahwa bacaan yang sangat sulit dan tidak bermatraikan khusus mengenai asal-usul kebatinan secara gamblang, jadi penulis berusaha untuk meraba beberapa literatur untuk mendiskripsikan pandangan sejarah terhadap kebatinan.
Ada beberapa orang[12] yeng mengatakan bahwa ajaran kebatinan tersebut adalah sikap mereformasikan dan merevolusikan doktrin islam (menyelewengkan ajaran islam). Kebatinan bukanlah sikap reformasi dari beberapa doktrin Islam,  mari kita dengarkan perkataan dari sejarah mengenai asal-usul kebatinan; istilah kebatinan muncul pada masa kerajaan Mataram yang terkenal memiliki serat yang dinamakan dengan Sastra Gending yang dikatakan sebagai buah karya dari Sultan Agung Anyakrakusuma, dari sini kita akan menilik apa sebenarnya gending dalam serat tersebut? Gending dalam serat tersebut isinya adalah Syahadat namun berbeda versi dengan syahadat yang telah kita imani sekarang, bunyi dari selat itu hnya lailaha illa Allah  tidak ada Muhammadnya.[13]
Namun jika ditinjau kemabali dalam kalimat Serat maka akan nampak devinisinya menurut sumber utamanya (Jawa) serat terdiri dari dua bait tambang pangkur yang berbunyi;
“Ngadyan Sastra kalih dasa, wit akhadiyat, ponang Ha-Na-Ca-Ra-Ka pituduhipun, dene kang Da-Ta-Sa-Wa-La, kangentiyaning kang pamuji, baik selanjutnya: wah diat jadi kang rinasan ponang Pa-Da-Ja-Ya-Nya angyektini kang tuduh lankang tinuduh, sami santosanira, kahanannya wakadiyat pambilipun, dene kang MA-Ga-Ba-Ta-Nga wus kanyatan jatining sir”
Inilah cikal dan bakal kebatinaan yang ada dikerajaan mataram yang dimulai dengan ajaran; Sangkan praning dumadi dan Manunggaling kaulah Gusti inilah terjemahan dari syair yang bernama “Hancaraka” dan ini juga jelas bahwa ini bukan alur dari aqidah Islam namun tafsiran dari sastra Gending.[14] Syair hancaraka merupakan tulisan murni dari abjad jawa yang berisikan tentang kebatinan, sementara jika ditinjau lebih jauh lagi maka kita akan dapati bahw apencipta syair hancaraka itu adlaah Jananabadra yaang dikatakan adalah oraang jawa asli yang yang ahli dalam bidangnya karena dia adalah seorang sarjana dan pendeta budha Hinayana dia juga menjabat sebagai mahapatih Mangkubumi yang berada di kawasan Maharaja Hindu Agastya bernama Sanjaya (723-744), selain itu dia adalah penerjamah buku buku agama Budha, yang sangat menaraik bahwa jananabhadara adalah semar.[15]
Perlu diketahui kemabli sesungguhnya kebatinan yang  berada di sekitar kita saat ini beraasal dari agama Budha dan Hindhu, sejarah mengatakan bahwa jananabhadara adalah sosok yang menjawanisasikan buku-buku yang agama Budha dan Hindu kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Jawa, hingga saat ini, jadi kebatinan itu terlahir dari agama Budha dan Hindu bukan dari agama Islam sendiri yang dikenal dengan “kauruh kejawen” atau Jawaisme.[16]
Perlu juga diketahui bahwa ajaran-ajaran kebatinan yang dimulai pada zaman Mataram di masa Sultan Agungan bukanlah refolusi dari ajaran Islam namun terjemahan dari kitab-kitab Hindhu dan Budha. Pada masa kerajaan mataram ini kebatinan memiliki empat kandungan; Metafisik,[17] Mistika,[18] Etika,[19] dan Okultisme,[20]
a.       Metafisik
Ajaran kebatinan yang terlahir di jawa mempunyai beberapa unsur, unsur yang pertama adalah matafisik, berangkat dari metafisik ini orang kebatinan punya devinisi yang khusus yaitu setiap ajaran yang mengandung hal-hal metafisik maka akan ditemuai faham “sangkan paraning dumadi.[21]
b.      Mistika
Sekanjutnya adalah mistik yang merupakan salah satu kandungan dari ajaran kebatinan, orang jawa mempunyai devinisi khusus mengani permasalahan ini, meraka mengatakan bawha mistika adalah ilmu tentang manunggaling kaulah gusti, karena kebatinan merupakan wujud dari pahama Hindhu dan Budha maka manunggaling kaula gusti tersebut adalah ajaran paham Atma dan brahman, dan dalam paham Budha adalah ajaran tentang moksa dan nirwana.[22]
c.       Etika
Selanjutnya adalah etika yang merupakan ajaran dasr dikalangan kebatinan yang besalkan dari agama budha dan hind etika dalam pahamnya adalah memilah-milih tentang yang mana yang pantas dan yang mana yang tidak pantas dalam kehidupan manusia, aptut atau tidak patut dalam kehidupan mansuia.[23]
d.      Okultisme
Yan teralkhir yang ada dalam dunia pemahaman kebatinan yang juga bersumber dari jawa budha dan hindu. Mereka memaham bahwa okultisme adalah pemahaman tentang “jaja kawijayan” maksutnya adalah, ajaran ini adalah bagaimana manusia mengenai dan bergaul dnegan baik antara manusia satu sama lain, dan hak yang berhubungan dengan masyarakat sosial, mampu bergaul dengan baik.[24]
Dari urain di atas dapat kita tarik kesimpulan sementara bahwa kebatinan bersumber dari daerah jawa apada masa kerjaan Mataram dengan raja Sultan Agungan, dari sinilah kita juga berangkat dari hal ytang sangat penting, islam bukanlah agama mengeluarkan ilmu kebatinan yang dikatakanorang sebagai aliran menyimpang, namun kebatikan adalah aliran yang muncul dikalangan jawa yang menafsirkan dari ajaran-ajaran Budha dan Hindu kemudian diinfestasikan ke dalam agama islam namun tetap ad ajaran Budha dan Hindhu yang ada di dalamnya.
D.    Kepercayaan ditinjau Dari Sisi Termenologi  dan Etimologi
Sering kita melihat dengan erat dan seksama dalam kausalitas kehidupan manusia pada umumnya tentang percaya, baik kepada Tuhan atau kepada apa saja yang menyangkut dengan janji atau yang lain sebagainya, terutama yang lebih ditekankan adalah percaya kepada hal supranatural, mistis, metafisik, dari sinilah manusia berangkat untuk berlomba-lomba mencari hakikat kepercayaan yang mereka yakini, dengan lari kepada konsep dalam agama (memeluk agama) dan dengan lari kepada kebatinan dan kepercayaan.
Kita berangkat dari devinisi kepercayaan, berhubung bahan yang menginformasikan tentang kepercayaan sukar didapat jadi penulis hanya mencoba untuk mendiskripsikan dari beberapa mata tulisan dari orang yang menjiwai tentang kepercayaan, karena jia tulisan tersebut ditulis oleh orangtidak menjiwai dalam hal itu maka isinya agak rancu dan berbeda dengan hikmah yang ada dibalik kepercayaan tersebut.
Kepercayaan adalah suatu paham yang dikatakan sebagai paham dogmatis[25] yang muncul dari sumber adat istiadat suku bangsa, baik yang bersumber dari nenek moyang ataupun yang bersumber dari wahyu Tuhan. Manusia yang hidup dalam garis keterbelakangan (bukan keterbelakangan mental dan fisik tai keterbelangan pemeikiran) yang masih saja mempercayai hal-hal telah dianut oleh nenek moyang mereka sejak dulu kala hingga sekarang. Kepercayaan terhadap apa yang telah diyakini oleh nenk moyang itulah yang mereka percayai dalam garis besarnya adalah mereka mengerjakan hukum-hukum alam dengan mengintregrasikannya dengan hal-hal yang misitik dan supranatural.[26]
E.     Kepercaayan ditinjau Dari Sisi Antropologi
Memang sangat masyhur dikalangan masyarakat Dunia, Khusunya Indonesia mengenai sebuah kepercayaan hingga pihak pemerintah ikut serta mengepreasi dnegan membikinkan peraturan-peraturan yang menyengkut dengan kepercayaan dalam sebuah lembaga kemasyarakatan.[27] Oleh karena itulah kita perlu menarikj sebuah rangka pikir agar mendapat doktrin yang benar mengenai sumber asas dari kepercayaan, berkiut penulis akan mengemukakan salah satu pendapat ahli Antropologi agama yang bernama; E.B. Tylor;[28]
a.       Animesme[29]
Ketika seorang manusia sadar dengan apa yang mereka kerjakan dan sadar dnegan apa yang ada pada diri mereka, maka, saat itulah manusia ,mulai mencoba menerawang kesekeliling mereka yang sulit dicerna oleh panca indra manusia pada umumnya, mereka yakin bahwa selain diri meraka yang nampak ada juga diri-diri yang lain yang tdiak nampak oleh pandangan mereka, disaat inilah manusia berpikiran bahwa sosok inilah yang dapat dipercayai untuk dijadikan kolaborasi dalam segala aspek, saat inilah manusia berkeyakinan terhadap animesme.[30]
b.      Polytheisme[31]
Ketika mansuai berevolusi menjadi baik dan lebih baik dan tingkat kesadarannyapun semakin meningkat, mak, saat itulah manusia mulai berpikir abhwa gerak alam ini ada yang mengatur, misalnya, gunung, mereka berkeyakinan bahwa gunung ada orang yang mengatur, sungai ada yang mengalirkan, tapi mereka berkeyakinan bahwa dibalik itu ada sosok yang mengaturnya.[32]
c.       Monotheisme[33]
Manusia adalah sosok yang tingkat kecerdasannya perlu dengan sebuah rangsangan, oleh sebab itulah ketika rangsangan telah terjadi manusia acap kali berpikir dengan cepat dan hegenis, salah satunya adalah ketika manusia sudah mulai pandai menata kehiduppan sosial, baik dlam bidang pemerintahan, ataupun yang lain sebgainya, maka harus ada sebuah pemimpim yang harus menguasai kontitusi tersebut, dari sinilah manusia mulai sadar bahwa begitu juga kehidupan spiritual, diantara pengatur-pengatur alam ini pasti ada pengatur yang paling tertingginya, (Bos).[34] Dari sinilah manusia sadar dnegan Tuhan yang satu (Esa).
F.      Kesimpulan
Dari urain di atas dapt kita tarik kesimpulan ternyata; kehiduapan manusia membutuhkan ketengan yang mampu mencapaikan dirinya kepada yang namanya puncak kebahagiaan oleh sebab itulah mansia masuk kedalam sebuah aliran kebatinan yang diyakini dnegan itulah mansuai mendpatkan sebuah ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki di dalamnya, mengenai asal-usul kabatinan terlahir di masa kerajaan Mataram dengan menjawakan ajaran-ajaran Budha dan Hindu, selanjutnya adalah kepercyaan, asal-usulnya adalah berngakat dari Animisme lantas Pholitisme kemudian Monoteisme. Dari sinipulalah kita tarik kembali kesimpulan secara umum bahwa manusia membutuhkan pergerakan yang stabil anatara hati dan pikiranya, jika agama, hati, pikiran sudah terentregrasi maka dipastikan tidak ada perselisikan di dalamnya dan tidak ada perdepatan yang signifikan di dalamnya.




[1] Untuk lebih jelas mengenai permasalahan perbedaan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, mari kita tengok beberapa cuplikan ayat Al-qur’an yang menyinggung pada kasus ini. Lihat: QS, 3: 164. QS, 4: 165. QS, 7: 52. QS, 7: 179. QS, 13: 37. QS, 17: 15. QS, 17: 70. QS, 25: 41-42. QS, 64: 2-3. QS, 95: 4-6. QS, 98: 6-8. Kesemua ayat inilah manusia di tuding sebagai makhluk yang mempunyai beban dasar sebagai makhluk yang sempurna yang mampu memeikirkan baik dan buruk, sekarang dan masa depan, dari ayat-ayat di atas pulalah manusa di jelsakan bahwa kecerdasan yang manusia  miliki itu adalah butuh kinerja yang maksimal, bukan hanya menunngu hidayah dari Tuhan tapi juga harus berusaha mencari ilmu. Lihat: M. Brar Harun, sistematika Al-Qur’an dan Penjelasannya, (Banjarmasin: PT. Garfika Wangi Kalimantan, 2007), hlm. 10-15.
[2] Agama dalam bahasa Sanskrit, dalam abjat hurupnya ‘A’ maka di artikan dengan tidak sedagkan pada gama di artikan dengan pergi (tidak pergi) atau dapat juga diartikan dengan hal yang tidak pergi dari kehidupan yang diwarisi oleh turun-temurun oleh manusia. Lihat:  Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), hlm. 9. Lihat juga: Dedy Supriyadi, Mustofa Hasan, Filsafat Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 10. Kemudian pengertian kata agama ini sedikit berbeda jika di tinjau dalam bahasa Sansekerta di mulai dari huruf A di artikan dengan tidak  dan di lanjutkan dnegan kalimat gama yang berarti kacau di gabungkan muncullah defenisi kahir yaitu tidak kacau, agama adalah peraruran yangmengatur manusia agar tidak mengalami kekacaun yang menggelincir dari hatii nurani manusia sendiri. Lihat: Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN-MALIKI Press, 2010), hlm. 2. Bahran Noor Haira mengetakan bahwa Peraturan yang ada dalam agama khususnya Islam satupun ajarannya tidak ada yang bertentangan dengan hati nurani. Agama teerbagi kepada tiiga kategori, Agama Samawy, Agama yang menyerupai Shuhuf, agama ciptaan manusia, jika agama di pandang dari sudut sesembahan maka terbagi dua; bertuhan Rohani dan bertuhan materi. Lebih jelas lihat: H.M. As’ad El Hafidy, Aliran-Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), h. 87-88.
[3] Salah satu sekte dalam agama Islam yang mencari ketenangan dan kebhagiaan yang dengan pemikirannya yang santai demi sosiologis adalah Murji’ah, murjiah adalah sekte yang mengetengahi antara Khawarij dan Syi’ah. Kehadiran Murjiah memberikan ketenangan dan kebahagiaan dari dua kubu yang berdu kekerasan. Untuk lebih jelsa silahkan lihat: Muh̲ammad ‘abdu al-Karȋm bin abi bakar ahmad al-Syahrastanȋ, Al-Milal wa al-Nihal, (Libanon, Daru-al-fakr, 1997), h. 112. Dan: H. Hadariansyah, Pemekiran-pemikiran teologi Islam  dalam Sejarah pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2010), h. 58. Dan: H.M. Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 159. Lihat juga: Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, ( Bandung: Cv. Pustaka Setia.2012), h. 56. Dan: tgk. H.Z.A. Syihab, Aqidah Ahlu-al-Sunnah Versi Salaf, Khalaf, dan Versi Asy’Ariyyah di antara keduanya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 71.
[4] Sementara jika kalimat itu ditambah awalan ke- dan akhiran an, maka: ke·ba·tin·an n 1 keadaan batin (dl hati); segala sesuatu yg mengenai batin; 2 ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kpd kebenaran dan ketuhanan dapat dicapai dng penglihatan batin; 3 ilmu yg mengajarkan jalan menuju ke kesempurnaan batin; suluk; tasawuf; 4 ilmu yg menyangkut masalah batin; mistik. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[5] te·o·so·fi /téosofi/ n ajaran dan pengetahuan kebatinan (semacam falsafah atau tasawuf) yg sebagian besar berdasarkan ajaran agama Buddha dan Hindu. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011). dan lihat: H.M. Rasjidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 71. Di jelaskna kembali bahwa devinici kebatinan yang  bersumber dari bahsa Arab tersebut merupakan upaya manusia agar terlepas dari tipu daya duniawi yang fana ini dan semu, sebenarnya! Kebatinan itu sangat suliituntuk di devinisikan seperti sulotnya mendevinisikan agama, dikarenakan bahwa kebatinan berada pada emperisme manusia sendiri yang kemudian disitulah akan ditemukan devinisi kebatianan yang sesungguhnya.untuk lebih jelas silahkan lihat: Suarno Imam S. Konsep Tuhan, Manuisa, Mistik, dan berbagai kebatinan jade,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 84-88.
[6] okul·tis·me n 1 kepercayaan kpd kekuatan gaib yg dapat dikuasai manusia; 2 kajian tt kekuatan gaib. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[7] H.M. Rasjidi, Islam dan Kebatinan, . . . h. 71-72.                                                                                              
[8] A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah keagamaan  Pondok Pesantren ‘Al-Munawwir Krapyak, 1984), 101.
[9] H.M. Rasjidi, Islam dan Kebatinan, . . . h. 72-73.
[10] Abu Hamid al-Ghazali, Fadha’ih al-Bathiniyyah, (Beirut: Maktabah ‘Ashriyah, t,t.), h. 21. Al-Gazai mengatakan bahwa aliran ini tidak mengakui teks literal dari Al-Qur’an, mereka manafsirkan AL-Qur’an dengan pemahaman mereka sendiri sesuai dengan apa yang di butuhkan mereka, pada dasarnya pemahaman mereka mengenai apa yang mereka tafsirkan seperti pemahaman filsafat Yunani. Lihat: Imam Qadhi Abu al-Fadhl Iyadh, Al-Syifa bi Ta’rifi Huquqi al-Musthofa,(Beirut: Darul Fikr, 1998), h. 283. Sekte ini juga mengatakan bahwa apa-apa yang telah di wahyukan kepada para Rasul (Muhammad) tidak sesuai dengan apa yang ada pada batinnya, apa yang telah tertulis dalam kitab AL-Qur’an tidak sesuai dengan kandungan yang ada di balik tulisan tersebut. Lihat: Abdul Qohir al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,t,t,), h. 284.

[11] Irfani merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ع- ر-ف  memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang. Namun secara harfiyah al-‘irfa>n adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam[11]. Dengan demikian al-‘irfa>n lebih khusus dari pada al-‘ilm. Secara termenologi, irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riya>d}ah. Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah isyra>qi> yang memandang pengetahuan diskursif (al-h}ikmah al-ba>t}iniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-h}ikmah al-z\awqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-h}ikmah al-h}aqi>qiyyah. Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkrit dari pengetahuan irfani. Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Lihat: Abu al-Husain Ah{mad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lugah, Juz. I (Bairut: Ittihad al-Kitab al-‘Arabi, 1423 H./2002 M.), h. 229. Lihat juga: Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional,  1984), hal 34Muhammad ‘Abd Rauf al-Manawi, al-Tauqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif, (Cet. I; Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1410 H.), h. 511.
[12]Orang-orang tersebut adalah; Abdurrahman Wahab, Sju’bah, Hamka, Lihat:  Rasjidi, Warsito S, H. Hasbullah Bakry,  di Sekitar Kebatinan,(Jakarta: Bulann Bintang, 1973), h. 10-11.
[13] Rasjidi, Warsito S, H. Hasbullah Bakry,  di Sekitar Kebatinan, . . . h. 16.
[14] Rasjidi, Warsito S, H. Hasbullah Bakry,  di Sekitar Kebatinan, . . . h. 16-17.
[15] Rasjidi, Warsito S, H. Hasbullah Bakry,  di Sekitar Kebatinan, . . . h. 17.
[16] Rasjidi, Warsito S, H. Hasbullah Bakry,  di Sekitar Kebatinan, . . . h. 17.  Hal ini senada dengan apa yang sdah diinforamsikan oleh Dr. Roibin, MHI : yaitu: Tidak sedikit para ilmuwan antropologi yang berbeda perspektif dalam melihat kosmogoni kepercayaan kejawen ini. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa kosmogoni kepercayaan Jawa diwarnai oleh kebudayaan Cina. Pandangan ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa berita mengenai Cina di kepulauan Indonesia dapat dianggap sebagai sumber ke tujuh dalam sejarah politik Jawa pada abad ke-15 dan 16. Dalam catatan Narendra Agung dikatakan bahwa Cina ternyata sangat penting bagi pembentukan corak kepercayaan Islam di masyarakat Jawa. Demikian juga dalam catatan sejarah dari pusat-pusat perdagangan Cina di Jawa, menunjukkan bahwa telah ada orang Cina Muslim yang tinggal di Jawa. Alasan di atas diperkuat oleh bukti historis bahwa pada saat Khubilai Khan berkuasa jauh sebelum abad ke-15 dan ke-16 M, yaitu pada tahun 1275 M, ia memberi kebebasan dan kepercayaan kepada orang-orang Islam dari Turkistan di Asia Tengah untuk keluar masuk negeri Cina. Orang-orang Turkistan Muslim itu selain beroleh kedudukan yang cukup baik, juga ada yang menduduki jabatan menteri di istana kaisar. Oleh karena itu orang-orang Turkistan dari Balkh, Bukhara dan Samarkand mulai melancarkan pengislaman terhadap orang-orang Mongol dan Cina serta orang-orang di wilayah kekuasaan Khubilai Khan. Pada saat itu sekalipun pengislaman di Cina hasilnya tidak seperti di Persia, India dan Turkistan, namun boleh dikatakan orang-orang Cina banyak yang masuk Islam. Dari data di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa Cina yang datang ke Jawa, baik  atas dasar kepentingan perdagangan maupun politik dimungkinkan membawa tradisi dan kebudayaan Islam, selain juga tradisi dan kebudayaan khas mereka sendiri.Pandangan lain yang agak senada juga diungkapkan oleh J.H. Kern asal Belanda. Menurutnya orang Jawa dianggap dari keturunan orang-orang Melayu yang berasal dari Cina. Kurang lebih tiga ribu tahun sebelum Masehi menurut pandangan Kern telah terjadi gelombang pertama imigran Melayu yang berasal dari Cina yang membanjiri Asia Tenggara, yang disusul kemudian dengan gelombang kedua, kurang lebih dua ribu tahun lamanya. Pengaruh imigran Melayu Cina ini, bagi masyarakat Jawa tidaklah kecil, melainkan kultur Cina baik yang sudah bersentuhan dengan kebudayaan Islam sebagaimana yang terjadi pada masa kekuasaan Khubilai Khan, maupun yang belum berinteraksi dengan Islam, betapapun telah banyak mempengaruhi karakter asli kebudayaan Jawa. Lihat: Purwadi dan Maharsi, Babad Demak: Sejarah Perkemabangan Islam di Tanah Jawa, (Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005), h. 22. Dan: Frans Magnis Suseno, Etika Jawa:Sebuah Analisis Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 21
[17] me·ta·fi·si·k /métafisika/ n ilmu pengetahuan yg berhubungan dng hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[18] mis·tik n 1 subsistem yg ada dl hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dng Tuhan; tasawuf; suluk; 2 hal gaib yg tidak terjangkau dng akal manusia yg biasa. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[19] eti·ka /étika/ n ilmu tt apa yg baik dan apa yg buruk dan tt hak dan kewajiban moral (akhlak). Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[20] Lihat foot note ke-6.
[21] Rasjidi, Warsito S, H. Hasbullah Bakry,  di Sekitar Kebatinan, . . . h. 18.
[22] Rasjidi, Warsito S, H. Hasbullah Bakry,  di Sekitar Kebatinan, . . . h. 18.
[23] Rasjidi, Warsito S, H. Hasbullah Bakry,  di Sekitar Kebatinan, . . . h. 18.
[24] Rasjidi, Warsito S, H. Hasbullah Bakry,  di Sekitar Kebatinan, . . . h. 19.
[25] dog·ma·tis a bersifat mengikuti atau menjabarkan suatu ajaran tanpa kritik sama sekali. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[26] H.M. As’ad El Hafidy, Aliran-Aliran Kepercayaan, . . . h. 89.

[27] Lebih jelas silahkan Lihat; Mohammad Damami, Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa Pada Preode 1973-1983, Sebuah Sumbangan Pemahaman Tentang Proses Legeliminasi Kontitusional Dalam Konteks Pluralitas Keberagmaan di Indonesia, (Kementrian Agama RI, 2001), h. 57-59.
[28] H. Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama, . . . h. 44.
[29] a·ni·mis·me n kepercayaan kpd roh yg mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb). Lihat:  KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[30] H. Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, . . . h. 44.
[31] po·li·te·is·me /politéisme/ n kepercayaan atau pemujaan kpd lebih dr satu Tuhan. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[32] H. Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, . . . h. 44-45.
[33] mo·no·te·is·me /monotéisme/ n ajaran agama yg mempercayai adanya satu Tuhan; kepercayaan kpd satu Tuhan. Lihat: KBBI offline v1.3. (2010-2011).
[34] H. Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, . . . h. 45.

This post have 0 komentar


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
Previous article Previous Post