ALIRAN
PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM BURHANI
A.Pendahuluan
Filsafat adalah metodologi[1]
berpikir, yaitu berpikir kritis-analisis dan sistematis. Filsafat lebih
mencerminkan proses berpikir dan bukan sekedar produk pemikiran. Filsafat
merupakan alat intelektual yang terus-menerus diperlukan. Untuk itu, ia boleh
berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan disiplin-disiplin keilmuan
yang lain. Hal itu dapat dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan
melatih akal-pikiran untuk bersikap kritis-analisis dan mampu melahirkan
ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan demikian, ia menjadi alat
intelektual yang sangat penting untuk ilmu yang lain, tidak terkecuali agama
dan teologi.
Dalam khazanah[2]
filsafat Islam, menguraikan ada tiga buah metodologi pemikiran, yakni bayani,
irfani dan burhani. Bayani adalah sebuah model metodologi berpikir yang
didasarkan atas teks suci dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal bagi
teramankannya otoritas[3]
teks. Irfani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan atas pendekatan
dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan dan rasio digunakan
untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman spiritual. Burhani adalah model
metodologi berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman,
melainkan atas dasar keruntunan logika. Pada tahap tertentu, keberadaan teks
suci dan pengalaman spiritual hanya dapat diterima jika sesuai dengan aturan
logis.
Ketiga model epistemologi tersebut mempunyai keberhasilannya
masing-masing dan juga kekurangan-kekurangannya, di dalam makalah ini akan
membahas apa itu aliran filsafat burhani? dan apa kelebihan serta kelemahannya
?
B. Pengertian Burhani
Burhan itu bisa diartikan berdasarkan pada
demonstrasi atau melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka yang ditetapkan atas
dasar demonstrasi.[4] Burhan bermakna bukti/demonstrasi, yaitu:
1.
Nabi Muhammad saw. adalah pemilik bukti (shahib
Al-Burhan). Beliau adalah bukti tertinggi yang menunjukkan Hakikat Agung
melalui wujudnya sendiri. Hamba-hamba yang mencintai dan mengikuti beliau
menyaksikan bukti ini dengan mata batin mereka. Namun, esensi (zat) itu
sendiri jauh di luar jangkauan demonstrasi dan bukti.
2.
Dalam dunia tasawuf juga dikenal bukti
rasional (burhan aqli). Jenis bukti ini bisa bernilai dalam tahap-tahap
awal dalam perjalanan menuju Allah SWT (ma’rifat) datang lewat
penyikapan dan penemuan (Al-Kasyf wa Al-Wujud), akal (aql) tidak
bisa tidak, pasti tertinggal di belakang. Ia hanya akan membelenggu dan menahan
sang penempuh jalan spiritual menuju tahap-tahap akhir dalam perjalanan.[5]
Burhani atau
pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan
rasio melalui instrumen[6]
logika dan metode diskursif (bathiniyyah).
Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya
sebagai sumber kajian. Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang
mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis
dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah).
Pembacaan yang ideologis dan tendensius[7]
ini, pada akhirnya akan mengarah pada apa yang oleh Khalid Abu Fadl disebut
sebagai Hermaneutika Otoriter (Authoritharian Hermeneutic). Hermeneutika
Otoriter terjadi ketika pembacaan atas teks ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif
dan selektif serta dipaksakan dengan mengabaikan realitas konteks. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah),
realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan
realitas budaya (thaqafiyyah).
Dalam
pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang
saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan
konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca
dan ditafsirkan. Di dalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy,
jauhar-'arad, ma'qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian,
maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ilmu al-lisan dan
ilmu al-mantiq. Yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah,
susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk
menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia.
C. Epistemologi
Burhani
Epistemologi
burhani
adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah
akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan
berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk
mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk (tansin dan tahbih). Epistemologi burhani ini dalam
bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti
Mu’tazilah. Ibnu kholdun menyebut epistemologi ini dengan ulum
al-aqliyyah (knowledge
by intellect). Tokoh
pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles. Karena epistemologi ini lebih
berpijak pada tradisi berpikir yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan
akal secara maksimal.[8]
Epistemologi burhani ini bersumber pada realitas atau al-Waqi’ baik
realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari
tradisi burhani disebut sebagai al-Ilm al-Husuli, yakni ilmu yang
dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-Mantiq,dan
bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas
intuisi (pengalaman).[9]
Premis[10]-premis
logika keilmuan tersebut disusun lewat kerjasama antara proses abstraksi[11]
dan pengamatan inderawi yang shahih atau dengan menggunakan alat-alat
yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat
laboratorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer[12]
yang mendalam. Peran akal pikiran sangat
menentukan disini, karena fungsinya selalu di arahkan untuk mencari
sebab-akibat.
Untuk mencari sebab dan musabab yang terjadi pada peristiwa-peristiwa alam,
sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks-teks
keagamaan. Fungsi akal lebih ditekankan untuk melakukan
analisis[13]
dan menguji terus-menerus (heuristik) kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori
yang dirumuskan lewat premis-premis logika keilmuan. Menurut Aristoteles fungsi
akal pikiran yang bersifat heuristik dengan sendirinya akan membentuk budaya
kerja penelitian baik yang bersifat eksplanatif, eksploratif maupun
verifikatif.
untuk memahami realitas kehidupan
sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila
dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah),
antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan
sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang. Pendekatan sosiologis digunakan
dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang
interaksi antara anggota masyarakat.
Dengan
metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaman dapat di dekati
secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta
masyarakat utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan
reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam
juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya
dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajaran, dan
konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat muslim.
Agar upaya reka cipta masyarakat muslim dapat
mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini pula
menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga
pendekatan sejarah (tarikhiyyah). Hal ini agar konteks sejarah masa
lalu, kini dan akan
datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas
dan perubahan). Ini bermanfaat agar pembaharuan pemikiran Islam Muhammadiyah tidak
kehilangan jejak historis.
Ada
kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya
pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date. Kendala yang
sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya
teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam
pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks
daripada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada konteks pun juga tidak sedikit.
Karena premis-premis Burhani haruslah
premis-premis yang benar, dan premis yang benar adalah premis yang memberikan
keyakinan yang meyakinkan (tasdhiq al-yaqin). Al-Farabi membagi
materi-materi premis itu ke dalam empat bentuk sesuai dengan tingkat keshahihannya.
Yang tertinggi adalah pengetahuan primer yang bersifat aksiomatik[14],
pengetahuan indera, opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat), dan
opini-opini yang diterima (ma’qhulat). Keempat macam premis ini tidak sama tingkat
kepercayaannya, ada yang mencapai tingkat meyakinkan, mendekati keyakinan dan
percaya begitu saja, sehingga memunculkan hierarki tingkat hasil silogisme.
Suatu premis bisa dianggap meyakinkan bila memenuhi tiga syarat:
a)
Kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada
atau tidak dalam kondisi spesifik,
b)
Kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin
merupakan sesuatu yang lain selain darinya,
c)
Kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak
mungkin sebaliknya.
Tolok ukur dalam nalar burhani yang ditekankan
adalah korespondensi, yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh
akal manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan
aspek koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis) dan upaya
terus-menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan,
rumus-rumus dan teori-teori yang telah di bangun dan di susun oleh jerih payah
akal manusia (pragmatik).[15]
Maksud epistemologi
burhani ini adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah
dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiyah manusia berupa pengalaman dan
akal tanpa dasar teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber
pengetahuan dan nalar burhani adalah realitas dalam empisris; alam, sosial, dan
humanities. Artinya, ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan,
hasil eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat
sosial maupun alam. Corak berpikir yang digunakan adalah induktif, yakni
generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.
Burhani ini sangat berbeda dengan epistemologi
bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci. Burhani sama sekali tidak mendasarkan diri
pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan
rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agama
hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Burhani
menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan
sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.[16]
Sikap terhadap antara epistemologi bayani dan burhani bukan berarti harus
dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu di antaranya. Malah untuk
menyelesaikan problem-problem sosial dan dalam studi
Islam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini muncul
nalar abduktif, yakni mencoba memadukan model berpikir deduktif dan induktif.
Nalar abduktif ini mirip dengan nalar ‘sui generis kum empiris’.
Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat konstektual terhadap nash dan hasil-hasil penelitian
empiris, justru kelak melahirkan ilmu Islam yang lengkap (Komprehensif), luar
biasa, dan kelak dapat mentutaskan problem-problem sosial kekinian dan
keIndonesiaan.[17]
D.Metodologi
Burhani
Nalar burhani (demonstratif) merupakan pengaruh dari tradisi pikir
Yunani, nalar burhani (demonstrative Logic) bagaimana dikatakan oleh Abed
al-Jabiri merupakan hasil dari tradisi berpikir Yunani yang memposisikan
pemikiran manusia pada upaya untuk mencari sebab-sebab dari sesuatu. Masuknya
pengaruh nalar burhani dalam pemikiran Islam ditandai dengan penerjemahan
besar-besaran karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab di masa khalifah
al-Makmun.[18]
Prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles
dengan didasarkan pada Silogisme dan 10 kategori substansi dan aksiden.
Pemikir muslim pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani dalam
pemikiran Islam adalah al-Kindi.
Al-Kindi adalah Sarjana pertama yang mengenalkan dan
menggunakan metode burhani (806-875M). Metode rasional atau burhani ini semakin
masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Islam Arab adalah setelah masa
al-Razi (865-925M). Ia lebih ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang
rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua
pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia.
Akal lah menjadi hakikat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk
memperoleh pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka
dan kebohongan.[19]
Dengan menggunakan pendekatan nalar ini al-Kindi merumuskan
konsep-konsep filsafatnya tentang Tuhan, penciptaan alam, dan keabadian jiwa.
Metode Burhani akhirnya benar-benar mendapatkan tempat setelah al-Farabi,
filosof paripatetik yang dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles
menggunakan totallitas nalar burhani dalam pemikiran filsafatnya. Dengan
demikian nalar burhani dalam sejarah pemikiran Islam diterima dan dikembangkan
oleh kalangan filosof dari mazhab paripatetik.[20]
Sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan
teks atau intuisi. Rasio ini dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian
dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indera, yang
dikenal dengan istilah tasawur dan tashdiq. Tasawur adalah
proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedang tashdiq adalah
proses pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut.
Ada juga
yang mengatakan metode berpikir burhani
ini didasarkan pada pendekatan analitik-deduktif dengan menggunakan silogisme.
Namun sebelum sampai pada tahapan silogisme, harus dimulai dengan 3 tahapan,
yaitu; pengertian (ma’qulat),
pernyataan (ibarat), dan penalaran (tahlilat).
Tahap pengertian adalah proses Abstraksi
atas objek-objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran dengan merujuk
pada 10 kategori Aristoteles. Tahap pernyataan adalah tahap pembentukan kalimat
atau proposisi (qadliyah) atas pengertian-pengertian yang ada. Dalam
proposisi ini harus memuat unsur subjek dan predikat serta adanya relasi[21]
di antara keduanya (kopula). Untuk mendapatkan suatu pengertian yang
tidak diragukan, proposisi harus mempertimbangkan lima kriteria (kulliyatul
khamsah), yakni spesies (nau’), genus (jins), differensia
(fashl), propium atau sifat khusus (khas) dan Aksidentia (sifat umum
atau aradl). Tahap penalaran adalah tahap pengambilan kesimpulan
berdasarkan atas hubungan dari premis-premis yang ada.
E.Silogisme
Burhani
Ciri utama burhani adalah silogisme, tetapi silogisme tidak mesti
menunjukkan burhani. Dalam bahasa Arab silogisme diterjemahkan dengan qiyas
atau al-qiyas al-jami’ yang mengacu pada makna asal, mengumpulkan.
Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argumen di mana dua proposisi
yang disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah
keputusan pasti menyertai.[22]
Penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat:
a.
Mengetahui latar belakang dari penyusunan
premis,
b.
Adanya konsistensi logis antara alasan dan
kesimpulan,
c.
Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan
benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari
indera, percobaan dan hukum - hukum logika. Van Peursen mengatakan bahwa
akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan
sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah
pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan
kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan
Metode burhani yang dianggap lebih unggul dibanding
dua epistemologi yang lain ternyata ditemui mengandung kekurangan, bahwa ia
tidak bias menggapai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa
dicapai oleh penalaran rasional, meski rasio telah mengklaim sesuai dengan
prinsip-prinsip segala sesuatu, bahkan silogisme rasional sendiri pada saat
tertentu tidak bias menjelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketauinya.
Kekurangan rasionalisme burhani antara lain :[23]
1.
Bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tidak bias
dicapai oleh rasio atau didekati lewat burhani.
2.
Ada eksistensi di luar pikiran yang bisa
dicapai nalar tetapi tidak bisa dijelaskan burhani, seperti warna, bau, rasa
atau bayangan.
3.
Prinsip burhani yang menyatakan bahwa atribut
sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring pada proses
tanpa akhir. Jelasnya,deduksi rasional (burhani) dan demonstrasi belaka tidak
bisa menyingkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta.
F.Kesimpulan
Ternyata pemikiran burhani merupakan
epistemologi yang bersumber pada realitas, rasio atau akal yang dilakukan lewat
dalil-dalil logika. Dalil-dalil logika tersebut disusun lewat kerjasama antara
proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang shahih atau dengan alat-alat yang
dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboraturium,
proses penelitian lapangan dan penelitian literer yang mendalam.
Epistemologi burhani sangat menekankan fungsi
akal untuk melakukan analisis dan menguji suatu kesimpulan-kesimpulan sementara
secara terus-menerus. Epistemologi burhani sangat berbeda dengan epistemologi
bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci dan pengalaman.
DAFTAR PUSTAKA
Hossein,Sayyed Nasr Oliver
Leaman.Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam.Bandung:Mizan,2003.
Jumantoro,Totok dan Samsul Munir Amin.Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosoko: Amzah, 2005.
Nasution,Khoiruddin.Pengantar Studi Islam.Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009.
Sholeh,A.Khudori.Wacana Baru
Filsafat Islam.Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004.
Internet
http://sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05/bahan-kuliah-dinamika-pemikiran-dalam-islam/. Di akses tanggal 19-04-2012.
[1] me·to·do·lo·gi /métodologi/ n ilmu tt
metode; uraian tt metode:
[2] kha·za·nah n 1 barang milik; harta
benda; kekayaan; 2 kumpulan barang; perbendaharaan: 3 tempat menyimpan harta
benda (kitab-kitab, barang berharga, dsb);
[3] oto·ri·tas n 1 kekuasaan yg sah yg
diberikan kpd lembaga dl masyarakat yg memungkinkan para pejabatnya menjalankan
fungsinya; 2 hak untuk bertindak; 3 kekuasaan; wewenang; 4 hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk
memerintah orang lain
[4] Sayyed Hossein
Nasr Oliver Leaman.Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam.(Bandung:Mizan,2003) h.31-32
[6] in·stru·men /instrumén/ n 1 alat yg dipakai untuk
me-ngerjakan sesuatu (spt alat yg dipakai oleh pekerja teknik, alat-alat
kedokteran, optik, dan kimia); perkakas; 2 sarana penelitian (berupa seperangkat tes dsb) untuk
mengumpul-kan data sbg bahan pengolahan; 3 alat-alat musik (spt piano, biola, gitar, suling,
trompet); 4 ki orang yg dipakai sbg alat (diperalat) orang lain (pihak
lain); 5
dokumen resmi spt akta, surat obligasi;
[7] ten·den·si·us /téndénsius/ a 1 bersifat berpihak; 2 suka menyusahkan (melawan);
rewel:
[8] http://sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05/bahan-kuliah-dinamika-pemikiran-dalam-islam/. Di
akses tanggal 19-04-2012.
[9] A.Khudori
Sholeh,Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2004).h,224
[10] pre·mis
/prémis/ n 1 apa yg dianggap benar sbg landasan kesimpulan
kemudian; dasar pemikiran; alasan; 2 asumsi; 3 kalimat atau
proposisi yg dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dl logika;
[11] ab·strak·si
n 1 proses atau perbuatan memisahkan; 2 penyusunan
abstrak; 3 Psi keadaan linglung; 4 metode untuk mendapatkan kepastian hukum atau pengertian melalui
penyaringan thd gejala atau peristiwa
[12] li·te·rer
/literér/ n berhubungan dng tradisi tulis: dia sedang merekam budaya
dan isi alam negeri Jawa secara -- dan dng fakta visual berbentuk gambar.
[13] ana·li·sis n 1
penyelidikan thd suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui
keadaan yg sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb); 2 Man
penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu
sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yg tepat dan
pemahaman arti keseluruhan; 3 Kim penyelidikan kimia dng
menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat bagiannya dsb; 4 penjabaran
sesudah dikaji sebaik-baiknya; pemecahan
persoalan yg dimulai dng dugaan akan kebenarannya;
[14] Mungkin
hampir sama pengertiannya dengan Aksiomatis dapat
diterima sbg kebenaran tanpa pembuktian; bersifat aksioma.
[15] A.Khudori
Sholeh,Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2004).h,227
[16] Ibid,h. 219
[17] H. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009),
h. 44-45.
[18] http://addhymanipi.blogspot.com/2012/01/metodologi-berpikir-dalam-pemikiran.html. Di akses
tanggal 19-04-2012.
[19] A.Khudori
Sholeh,Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2004).h, 221
[20] http://addhymanipi.blogspot.com/2012/01/metodologi-berpikir-dalam-pemikiran.html. Di akses
tanggal 19-04-2012.
[22] A.Khudori
Sholeh,Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2004).h, 224
[23] Ibid,h. 228
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100