bagampiran dan kepercayaan masyarakat banjar

author photo June 16, 2012

ALIRAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM BURHANI
A.Pendahuluan
Filsafat adalah metodologi[1] berpikir, yaitu berpikir kritis-analisis dan sistematis. Filsafat lebih mencerminkan proses berpikir dan bukan sekedar produk pemikiran. Filsafat merupakan alat intelektual yang terus-menerus diperlukan. Untuk itu, ia boleh berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan disiplin-disiplin keilmuan yang lain. Hal itu dapat dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal-pikiran untuk bersikap kritis-analisis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan demikian, ia menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi.
Dalam khazanah[2] filsafat Islam, menguraikan ada tiga buah metodologi pemikiran, yakni bayani, irfani dan burhani. Bayani adalah sebuah model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks suci dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal bagi teramankannya otoritas[3] teks. Irfani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan dan rasio digunakan untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman spiritual. Burhani adalah model metodologi berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar keruntunan logika. Pada tahap tertentu, keberadaan teks suci dan pengalaman spiritual hanya dapat diterima jika sesuai dengan aturan logis.
Ketiga model epistemologi tersebut mempunyai keberhasilannya masing-masing dan juga kekurangan-kekurangannya, di dalam makalah ini akan membahas apa itu aliran filsafat burhani? dan apa kelebihan serta kelemahannya ?



B. Pengertian Burhani
Burhan itu bisa diartikan berdasarkan pada demonstrasi atau melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka yang ditetapkan atas dasar demonstrasi.[4] Burhan bermakna bukti/demonstrasi, yaitu:
1.    Nabi Muhammad saw. adalah pemilik bukti (shahib Al-Burhan). Beliau adalah bukti tertinggi yang menunjukkan Hakikat Agung melalui wujudnya sendiri. Hamba-hamba yang mencintai dan mengikuti beliau menyaksikan bukti ini dengan mata batin mereka. Namun, esensi (zat) itu sendiri jauh di luar jangkauan demonstrasi dan bukti.
2.    Dalam dunia tasawuf juga dikenal bukti rasional (burhan aqli). Jenis bukti ini bisa bernilai dalam tahap-tahap awal dalam perjalanan menuju Allah SWT (ma’rifat) datang lewat penyikapan dan penemuan (Al-Kasyf wa Al-Wujud), akal (aql) tidak bisa tidak, pasti tertinggal di belakang. Ia hanya akan membelenggu dan menahan sang penempuh jalan spiritual menuju tahap-tahap akhir dalam perjalanan.[5]
Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen[6] logika dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah).
Pembacaan yang ideologis dan tendensius[7] ini, pada akhirnya akan mengarah pada apa yang oleh Khalid Abu Fadl disebut sebagai Hermaneutika Otoriter (Authoritharian Hermeneutic). Hermeneutika Otoriter terjadi ketika pembacaan atas teks ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif dan selektif serta dipaksakan dengan mengabaikan realitas konteks. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah).
Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Di dalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy, jauhar-'arad, ma'qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis. Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ilmu al-lisan dan ilmu al-mantiq. Yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia.
C. Epistemologi Burhani
   Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk (tansin dan tahbih). Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah. Ibnu kholdun menyebut epistemologi ini dengan ulum al-aqliyyah (knowledge by intellect). Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles. Karena epistemologi ini lebih berpijak pada tradisi berpikir yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.[8]
Epistemologi burhani ini bersumber pada realitas atau al-Waqi’ baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai al-Ilm al-Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-Mantiq,dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas intuisi (pengalaman).[9]
Premis[10]-premis logika keilmuan tersebut disusun lewat kerjasama antara proses abstraksi[11] dan pengamatan inderawi yang shahih atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer[12] yang mendalam. Peran akal pikiran  sangat menentukan disini, karena fungsinya selalu di arahkan untuk mencari sebab-akibat.
Untuk mencari sebab dan musabab yang terjadi pada peristiwa-peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan. Fungsi akal lebih ditekankan untuk melakukan analisis[13] dan menguji terus-menerus (heuristik) kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori yang dirumuskan lewat premis-premis logika keilmuan. Menurut Aristoteles fungsi akal pikiran yang bersifat heuristik dengan sendirinya akan membentuk budaya kerja penelitian baik yang bersifat eksplanatif, eksploratif maupun verifikatif.
untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang. Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat.
 Dengan metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaman dapat di dekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajaran, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim.
Agar upaya reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah (tarikhiyyah). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ini bermanfaat agar pembaharuan pemikiran Islam Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis.
 Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date. Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada konteks pun juga tidak sedikit.
          Karena premis-premis Burhani haruslah premis-premis yang benar, dan premis yang benar adalah premis yang memberikan keyakinan yang meyakinkan (tasdhiq al-yaqin). Al-Farabi membagi materi-materi premis itu ke dalam empat bentuk sesuai dengan tingkat keshahihannya. Yang tertinggi adalah pengetahuan primer yang bersifat aksiomatik[14], pengetahuan indera, opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat), dan opini-opini yang diterima (ma’qhulat). Keempat macam premis ini tidak sama tingkat kepercayaannya, ada yang mencapai tingkat meyakinkan, mendekati keyakinan dan percaya begitu saja, sehingga memunculkan hierarki tingkat hasil silogisme. Suatu premis bisa dianggap meyakinkan bila memenuhi tiga syarat:
a)    Kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik,
b)   Kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya,
c)    Kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya.
          Tolok ukur dalam nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi, yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis) dan upaya terus-menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan, rumus-rumus dan teori-teori yang telah di bangun dan di susun oleh jerih payah akal manusia (pragmatik).[15]
Maksud epistemologi burhani ini adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiyah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dan nalar burhani adalah realitas dalam empisris; alam, sosial, dan humanities. Artinya, ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat sosial maupun alam. Corak berpikir yang digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.
Burhani ini sangat berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci. Burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.[16]
Sikap terhadap antara epistemologi bayani dan burhani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu di antaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem sosial dan dalam studi Islam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar abduktif, yakni mencoba memadukan model berpikir deduktif dan induktif. Nalar abduktif ini mirip dengan nalar ‘sui generis kum empiris’. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat konstektual  terhadap nash dan hasil-hasil penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmu Islam yang lengkap (Komprehensif), luar biasa, dan kelak dapat mentutaskan problem-problem sosial kekinian dan keIndonesiaan.[17]
D.Metodologi Burhani
Nalar burhani (demonstratif) merupakan pengaruh dari tradisi pikir Yunani, nalar burhani (demonstrative Logic) bagaimana dikatakan oleh Abed al-Jabiri merupakan hasil dari tradisi berpikir Yunani yang memposisikan pemikiran manusia pada upaya untuk mencari sebab-sebab dari sesuatu. Masuknya pengaruh nalar burhani dalam pemikiran Islam ditandai dengan penerjemahan besar-besaran karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab di masa khalifah al-Makmun.[18]
Prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles dengan didasarkan pada Silogisme dan 10 kategori substansi dan aksiden. Pemikir muslim pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani dalam pemikiran Islam adalah al-Kindi.
            Al-Kindi adalah Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani (806-875M). Metode rasional atau burhani ini semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Islam Arab adalah setelah masa al-Razi (865-925M). Ia lebih ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal lah menjadi hakikat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.[19]
            Dengan menggunakan pendekatan nalar ini al-Kindi merumuskan konsep-konsep filsafatnya tentang Tuhan, penciptaan alam, dan keabadian jiwa. Metode Burhani akhirnya benar-benar mendapatkan tempat setelah al-Farabi, filosof paripatetik yang dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles menggunakan totallitas nalar burhani dalam pemikiran filsafatnya. Dengan demikian nalar burhani dalam sejarah pemikiran Islam diterima dan dikembangkan oleh kalangan filosof dari mazhab paripatetik.[20]
            Sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio ini dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indera, yang dikenal dengan istilah tasawur dan tashdiq. Tasawur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedang tashdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut.
Ada juga yang mengatakan metode berpikir burhani ini didasarkan pada pendekatan analitik-deduktif dengan menggunakan silogisme. Namun sebelum sampai pada tahapan silogisme, harus dimulai dengan 3 tahapan, yaitu; pengertian (ma’qulat), pernyataan (ibarat), dan penalaran (tahlilat).
Tahap pengertian adalah proses Abstraksi atas objek-objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran dengan merujuk pada 10 kategori Aristoteles. Tahap pernyataan adalah tahap pembentukan kalimat atau proposisi (qadliyah) atas pengertian-pengertian yang ada. Dalam proposisi ini harus memuat unsur subjek dan predikat serta adanya relasi[21] di antara keduanya (kopula). Untuk mendapatkan suatu pengertian yang tidak diragukan, proposisi harus mempertimbangkan lima kriteria (kulliyatul khamsah), yakni spesies (nau’), genus (jins), differensia (fashl), propium atau sifat khusus (khas) dan Aksidentia (sifat umum atau aradl). Tahap penalaran adalah tahap pengambilan kesimpulan berdasarkan atas hubungan dari premis-premis yang ada.
E.Silogisme Burhani
Ciri utama burhani adalah silogisme, tetapi silogisme tidak mesti menunjukkan burhani. Dalam bahasa Arab silogisme diterjemahkan dengan qiyas atau al-qiyas al-jami’ yang mengacu pada makna asal, mengumpulkan. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argumen di mana dua proposisi yang disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan pasti menyertai.[22]
Penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat:
a.    Mengetahui latar belakang dari penyusunan premis,
b.    Adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan,
c.    Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum - hukum logika. Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan
Metode burhani yang dianggap lebih unggul dibanding dua epistemologi yang lain ternyata ditemui mengandung kekurangan, bahwa ia tidak bias menggapai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, meski rasio telah mengklaim sesuai dengan prinsip-prinsip segala sesuatu, bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu tidak bias menjelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketauinya. Kekurangan rasionalisme burhani antara lain :[23]
1.      Bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tidak bias dicapai oleh rasio atau didekati lewat burhani.
2.      Ada eksistensi di luar pikiran yang bisa dicapai nalar tetapi tidak bisa dijelaskan burhani, seperti warna, bau, rasa atau bayangan.
3.      Prinsip burhani yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring pada proses tanpa akhir. Jelasnya,deduksi rasional (burhani) dan demonstrasi belaka tidak bisa menyingkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta.













F.Kesimpulan
Ternyata pemikiran burhani merupakan epistemologi yang bersumber pada realitas, rasio atau akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Dalil-dalil logika tersebut disusun lewat kerjasama antara proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang shahih atau dengan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboraturium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer yang mendalam.
Epistemologi burhani sangat menekankan fungsi akal untuk melakukan analisis dan menguji suatu kesimpulan-kesimpulan sementara secara terus-menerus. Epistemologi burhani sangat berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci dan pengalaman.














DAFTAR PUSTAKA
 Hossein,Sayyed Nasr Oliver Leaman.Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.Bandung:Mizan,2003.
Jumantoro,Totok dan Samsul Munir Amin.Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosoko: Amzah, 2005.
Nasution,Khoiruddin.Pengantar Studi Islam.Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009.
Sholeh,A.Khudori.Wacana Baru Filsafat Islam.Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004.
Internet



[1] me·to·do·lo·gi /métodologi/ n ilmu tt metode; uraian tt metode:
[2] kha·za·nah n 1 barang milik; harta benda; kekayaan; 2 kumpulan barang; perbendaharaan: 3 tempat menyimpan harta benda (kitab-kitab, barang berharga, dsb);
[3] oto·ri·tas n 1 kekuasaan yg sah yg diberikan kpd lembaga dl masyarakat yg memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya; 2 hak untuk bertindak; 3 kekuasaan; wewenang; 4 hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain
[4] Sayyed Hossein Nasr Oliver Leaman.Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.(Bandung:Mizan,2003) h.31-32
[5] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (Wonosoko: Amzah, 2005), h. 28.
[6] in·stru·men /instrumén/ n 1 alat yg dipakai untuk me-ngerjakan sesuatu (spt alat yg dipakai oleh pekerja teknik, alat-alat kedokteran, optik, dan kimia); perkakas; 2 sarana penelitian (berupa seperangkat tes dsb) untuk mengumpul-kan data sbg bahan pengolahan; 3 alat-alat musik (spt piano, biola, gitar, suling, trompet); 4 ki orang yg dipakai sbg alat (diperalat) orang lain (pihak lain); 5 dokumen resmi spt akta, surat obligasi;
[7] ten·den·si·us /téndénsius/ a 1 bersifat berpihak; 2 suka menyusahkan (melawan); rewel:
[9] A.Khudori Sholeh,Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004).h,224
[10] pre·mis /prémis/ n 1 apa yg dianggap benar sbg landasan kesimpulan kemudian; dasar pemikiran; alasan; 2 asumsi; 3 kalimat atau proposisi yg dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dl logika;
[11] ab·strak·si n 1 proses atau perbuatan memisahkan; 2 penyusunan abstrak; 3 Psi keadaan linglung; 4 metode untuk mendapatkan kepastian hukum atau pengertian melalui penyaringan thd gejala atau peristiwa
[12] li·te·rer /literér/ n berhubungan dng tradisi tulis: dia sedang merekam budaya dan isi alam negeri Jawa secara -- dan dng fakta visual berbentuk gambar.
[13] ana·li·sis n 1 penyelidikan thd suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yg sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb); 2 Man penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yg tepat dan pemahaman arti keseluruhan; 3 Kim penyelidikan kimia dng menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat bagiannya dsb; 4 penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya;  pemecahan persoalan yg dimulai dng dugaan akan kebenarannya;
[14] Mungkin hampir sama pengertiannya dengan Aksiomatis dapat diterima sbg kebenaran tanpa pembuktian; bersifat aksioma.
[15] A.Khudori Sholeh,Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004).h,227
[16] Ibid,h. 219
[17] H. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam  (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), h. 44-45.
[19] A.Khudori Sholeh,Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004).h, 221
[21] Relasi: hubungan; keterkaitan;
[22] A.Khudori Sholeh,Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004).h, 224
[23] Ibid,h. 228

This post have 0 komentar


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
Previous article Previous Post