A.
Pendahuluan
Kita semua tahu, bahwa mengimani Takdir adalah salah
satu dari rukun iman. Sebagaimana yang
telah disabdakan Rasul kita.[1]
ﺍﻹﻳﻤﺎنُ : ﺃنْ تُؤمِنُ ﺑﺎﷲ ٬ وملائكتِه
٬ وكُتُبِه ٬ ورُسُلِه ٬ واليوم الآخر ٬
وتُؤمِنُ بالقدر خيرِه وشَرِّه
﴿رواه
ﻤﺴﻠﻢ ﻋﻥ ﻋﻤﺮ﴾[2]
Pembicaraan tentang takdir memang sangat jarang kita
temui. Bahkan kita kadang tidak sadar bahwa sebenarnya kita sedang membicarakan
tentang takdir. Kita dianjurkan untuk tidak berlebihan (sesuai porsinya menurut
al-Qur`an dan Hadist) dalam membicarakan masalah Takdir ini. Imam Abu Hanifah pernah melarang murid-muridnya
untuk membicarakan tentang Takdir secara tidak sesuai dengan bagiannya.
Murid-muridnya menayakan kepada beliau :
“Mengapa Engkau sendiri membicarakan
persoalan Takdir?”. Beliau pun menjawabnya : “Sebenarnya aku membicarakannya dengan perasaan yang sangat takut. Akan
tetapi, karena kalian bertanya,maka aku harus menerangkannya kepada kalian
menurut ilmu yang telah Allah anugrahkan kepadaku. Sebab sesungguhnya
membicarakan masalah Taqdir secara terperinci dan luas dapat membahayakan
seseorang yang kurang mengerti tentang permasalahan ini dengan baik.”[3]
Sebenarnya, bagaimana mengimani Takdir itu?
Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai “nasib manusia”. Bagaimana pandangan Sunny mengenai ini. Bagaimana pula
pandangan paham Jabariyyah dan Qadariyyah.
Dimakalah kami yang sangat sederhana ini, kami akan
mencoba mengulas mengenai masalah ini.
B.
Pengertian Iman Kepada Taqdir
Sebelum kami mendefinisikan (secara ishtiâili)
takdir tentulah kami menjelaskan secara singkat kalimat takdir itu diambil dari
kalimat apa ?, dan arti menurut bahasa arabnya (secara lughowi) apa?. Takdir diambil dari kalimat قدر - قدراyang secara bahasa adalah
ukuran, batasan atau ketentuan. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam
surah al-Qomar : 49,
$¯RÎ) ¨@ä. >äóÓx« çm»oYø)n=yz
9ys)Î/ ÇÍÒÈ
Takdir menurut istilah adalah suatu ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Allah Swt, menurut ilmu dan kehendak-Nya, baik sesuatu
yang telah terjadi maupun sesuatu yang akan terjadi dimasa mendatang.[5]
Kata
Qadar (takdir) kadang hampir disejajarkan
dengan kata Qadha`. Taqdir mempunyai makna berupa segala sesuatu yang
ditetapkan Allah Swt. Sedangkan Qadha` ialah pelaksanaan atas segala ketentuan
dari ketetapan-ketetapan Allah Swt.
Kata takdir juga bermakna menyerahkan sagala sesuatu
kepada Allah Swt, yang akan terjadi maupun yang telah terjadi. Maksudnya,
mengembalikan segala sesuatu yang akan terjadi dan yang telah terjadi
seluruhnyakepada kehendak dan ketetapan Allah Swt.[6]
Takdir seseorang tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Allah Swt. Banyak manusia yang mengatakan tentang masa depan, akan tetapi itu
hanya suatu sangkaan, apabila sangkaan tersebut terjadi halnya itu hanyalah
suatu kelanjuran yang telah Allah lanjurkan kepadanya.
Terkadang takdir
diartikan sebagai ketetapan Allah Swt yang berkaitan erat dengan kehendak manusia.
Maksudnya, manusia diberi dua jalan pilihan, jalan yang baik dan jalan yang buruk.
Sebagaimana yang difirmankan Allah Swt dalam surah al-Balab : 10,
çm»oY÷yydur ÈûøïyôÚ¨Z9$#
ÇÊÉÈ
10. dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan (jalan kebajikan dan jalan kejahatan)
Konsekuensi dari
kedua jalan tersebut adalah takdir Allah Swt yang telah ditetapkan-Nya sebelum
manusia itu sendiri diciptakan. Terkadang juga makna takdir berupa ketetapan
akhir dari segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah Swt.[7]
Sedikitpun takdir tidak bertentangan dengan kehendak
seseorang (manusia). Dengan kata lain, didalam diri seseorang ada diberikan
kekuatan untuk mendukung segala kehendaknya untuk melakukan segala amal-amal
kebaikan menuju surga. Begitu pula, mereka juga diberi kekuatan yang mendorong
mereka untuk melakukan amal-amal kejahatan dan dosa yang menyebabkan mereka masuk
ke neraka.
Sebenarnya kita bisa melihat yang demikian pada
perbuatan kita sendiri. Jika kita ingin mengangkat tangan kita, pasti kita bisa
melakukannya selama tidak ada halangan yang menyebabkan kita tidak dapat melakukannya.
Allah Swt menciptakan segala sesuatu dengan
kehendak-Nya, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu dengan jelas. Oleh sebab itu,
Dia menakdirkan segala sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan (kehendak) setiap manusia.[8]
Tapi, meskipun manusia diberi hak untuk menetapakan
pilihan atau kehendaknya, Allah Swt jualah yang memutuskan atas terlaksanaya
kehendak manusia tersebut. Segala hal yang dikehendaki manusia tidak akan
terlaksana jika tidak sesuai dengan kehendak Allah Swt.[9]
Kesimpulan mengenai makna takdir menurut firman Allah
Swt, diantaranya seperti firman Allah dalam surah al-Hadid : 22 dibawah ini,
!$tB
z>$|¹r&
`ÏB
7pt6ÅÁB
Îû
ÇÚöF{$# wur þÎû öNä3Å¡àÿRr&
wÎ) Îû
5=»tGÅ2
`ÏiB È@ö6s% br&
!$ydr&uö9¯R 4
¨bÎ) Ï9ºs
n?tã
«!$# ×Å¡o
ÇËËÈ
22. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.
Maksud dari ayat ini ialah apa saja
yang telah terjadi permukaan bumi ini telah ditulis Allah dalam kitab-Nya yang
tersimpan rapi di Lauh al-Mahfuzh, bahkan
sebelum diciptakannya. Jadi, semua itu telah digariskan oleh Allah swt dalam
ketetapan-Nya.
Hadis berikut ini sebagai penafsiran
firman Allah Swt di atas,
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amru bin
al-‘Ȃsh ra, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda,”Allah telah menulis berbagai
ketetapan atas makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit
dan bumi. Dan pada saat itu, ‘Arsy Allah diatas air.( H.R Abu Daud)[10]
Ada juga hadist tentang penegasan mengenai takdir, sebagaimana
doa yang dianjurkan Nabi Saw, ketika seorang hamba tertimpa kesedihan dan
kedukaan:
“Ya Allah, aku ini adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu, anak hamba perempuan-Mu.
Ubun-ubunku ada ditangan-Mu. Hukum-Mu berlaku untukku, dan ketetapan-Mu berlaku
adil untukku, dan ketetapan-Mu berlaku adil terhadap diriku. Aku mohon
kepada-Mu dengan setiap nama kepunyaan-Mu, yang denganya engkau menamai diri-Mu
sendiri, atau yang Engkau turunkan di dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan
kepada seorang makhluk-Mu, atau yang Engkau simpan dalam perbendaharaan ghaib
di sisi-Mu. Hendaklah Engkau menjadikan al-Qur`an sebagai kesuburan hatiku,
cahaya dadaku, pelipur kesedihanku, penghilang dukacita dan
kesusahanku.”
Niscaya Allah akan
mengganti dukacita dan kesedihanya dengan kebahagiaan. Para sahabat bertanya, “Ya rasulallah, apakah kami boleh
mempelajarinya ?” Nabi pun
menjawab, “Tentu saja. Sepatutnya bagi
siapa saja yang mendengarnya untuk mempelajarinya.”[11]
Hadis Nabi diatas mencakup masalah iman qadha` dan
qadar, keadilan, tauhid, dan hikmah.[12]
Jadi, pengertian dari mengimani takdir ialah mepercayai,
meyakini bahwa Allah Swt yang menetukan dari segala ketetapan-ketetapan untuk
makhluk-Nya.[13]
Paparan diatas ini bersesuaian dengan pendapat Sunny. Dan menurut para Ulama-ulama
Sunny mengatakan bahwa takdir itu terbagi manjadi dua: yang pertama Takdir Mu’allaq, dan yang kedua Takdir Mubarram.
Yang disebut dengan Takdir Mu’allaq adalah suatu takdir yang telah ditentukan Allah Swt,
akan tetapi takdir itu bisa dirubah dengan doa atau perbuatan baik. Disinilah
kita di wajibkan untuk berikhtiar atas segala sesuatu usaha, berharap supaya
takdir kita dapat diperbaiki atau dirubah Allah Swt. Salah satu di antara
contohnya seseorang yang akan mendapatkan musibah, terhindar dari musibah
tersebut dengan doa dari seseorang yang mendoakannya atau dia melakukan suatu
kebajikan seperti bershodaqah, oleh sebab dia melakukan kebajikan itulah Allah
Swt merubah ketentuan yang kurang baik baginya menjadi ketentuan yang baik. Sebagaimana
yang dianjurkan Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surah ar-Ra’ad : 11 dan surah
al-Baqarah : 186[14]
…. cÎ) ©!$# w çÉitóã
$tB
BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB
öNÍkŦàÿRr'Î/
3
!#sÎ)ur y#ur&
ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß
xsù ¨ttB ¼çms9
4
$tBur
Oßgs9
`ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB
@A#ur
ÇÊÊÈ
11 ….. Sesungguhnya Allah tidak merobah
Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia.
#sÎ)ur y7s9r'y Ï$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=Ìs%
(
Ü=Å_é&
nouqôãy Æí#¤$!$# #sÎ)
Èb$tãy
(
(#qç6ÉftGó¡uù=sù Í<
(#qãZÏB÷sãø9ur
Î1
öNßg¯=yès9 crßä©öt
ÇÊÑÏÈ
186. dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Dan bisa dikatakan bahwa Takdir Mubarram itu adalah ketentuan atau kehendak Allah yang telah
dicantumkan di laul al-mahfudz dan
tidak bisa dirubah mulai dari ditiupkannya ruh kedalam diri seseorang sampai
ruh orang tersebut diambil kembali oleh Sang Pencipta. Salah satu contoh
diantara Takdir Mubarram seperti apa yang akan dilakukan besok semua orang tidak
ada yang mengetahuinya, dan tidak ada yang mengetahui pula dimana seseorang itu
akan dikuburkan. Karena semua kehendak itu Allah Ta’ala lah yang menentukannya.
Allah Ta’ala berfirman dalam surah Luqman : 34
$tBur….. Íôs?
Ó§øÿtR
#s$¨B
Ü=Å¡ò6s?
#Yxî
( $tBur
Íôs?
6§øÿtR
Ädr'Î/
<Úör&
ßNqßJs?
4 ¨bÎ)
©!$#
íOÎ=tæ
7Î6yz
ÇÌÍÈ
34.
…... Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana
dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
C.
Nasib
Manusia: Pandangan Jabariyyah dan Qadariyyah
Ada
baiknya terlebih dahulu kita menengenal siapa Jabariyyah dan siapa Qadariyyah.
Qadariyyah
Mula-mula kemunculan Qadariyyah sekitar tahun
70H/689M, dipimpin oleh Ma’bad al-Juhni al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham.
Yang melatar belakangi timbulnya Aliran ini, sebagai
isyarat penentangan terhadap kebijaksanaan politik Bani Umayah yang dianggap
kejam.[15]
Pendapat sementara mengatakan bahwa Aliran ini diambil dari seorang penduduk
Irak yang pada mulanya beragama Nasrani dan kemudian masuk Islam, kemudian
kembali lagi menjadi Nasrani.[16]
Aliran Qadariyyah membatasi mengenai takdir . Dan,
mereka mengatakan bahwa Allah Swt itu adil, maka Allah Swt akan memberi pahala
bagi yang berbuat baik dan memberi dosa bagi yang berbuat salah. Manusia harus
bebas menentukan nasibnya sendiri, baik itu berupa kebaikan maupun kejahatan.
Apabila Allah menetukan nasib manusia, mereka berpendapat bahwa allah Zhalim.
Karena itu, menurut mereka manusia harus bebas memilih perbuatannya dan bebas
berkehendak.[17]
Manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam
menentukan perjalanan hidupnya. Di dalam ajaran ini tidak mengonsepkan bahwa
manusia telah ditentukan terlebih dahulu nasibnya. Jadi mereka tidak mempercayai adanya taqdir,
sebagai mana yang dipercayai umat islam pada umumnya.[18]
Menurut mereka kebebasan berusaha bagi manusia tidak
mungkin terwujud tanpa kebebasan kehendak. Dan manusia mampu menerima beban
tugas seberat apa pun, karena sudah disesuaikan dengannya. Menurut mereka iman
cukup dengan hati saja perbuatan tidak termasuk dari iman.[19]
Jabariyyah
Aliran Jabariyyah muncul hampir bersamaan dengan munculnya Aliran Qadariyyah, dan
diduga merupakan reaksi untuk Aliran Qadariyyah. Daerah munculnya pun tidak
berjauhan. Qadariyyah di Irak, dan Jabariyyah di Khurasan Persia.
Aliran ini mempunyai paham yang berlawanan dengan
Aliran Qadariyyah. Mereka berpandapat
manusia tidak mempunyai kemampuan untuk memilih, semua gerak manusia
dipaksakan dengan kehendak Allah Swt. Seolah-olah seperti bulu ayam kemana arah
angin bertiup.[20]
Mereka berpendapat bahwa hanya Allah lah yang
menentukan dan memutuskan segala perbuatan manusia. Manusia tidak memiliki
campur tangan sama sekali. Kebaikan dan kejahatan pun semata-mata paksaan pula, meskipin akan ada
surga dan neraka.
Pembalasan surga dan neraka pun bukan sebagai ganjaran(hukuman)
atas kebaikan dan kejahatan yang mereka perbuat. Tapi, semata-mata hanya
sebagai bukti kebesaran Allah Swt dalam Qudrat dan Iradatnya. Oleh sebab itu,
menurut mereka orang mukmin tidak akan menjadi kafir karena dosa yang dia
lakukan, karena perbuatan itu semata-mata dipaksakan kepada dirinya.[21]
D.
Kesimpulan
Dari paparan diatas, dapat sedikit kami simpulkan,
bahwa takdir itu ialah suatu ketetapan Allah Swt kepada seluruh ciptaan-Nya.
Takdir Allah Swt tidaklah bertentangan
dengan kehendak manusia.
Oleh sebab itu, Allah Swt menakdirkan segala sesuatu
yang sesuai dengan kebutuhan(kehendak)
setiap manusia.
Manusia memang diberi hak untuk memilih jalan nya.
Sebagaimana yang difirmankan Allah Swt dalam surah al-Balad :10,
çm»oY÷yydur ÈûøïyôÚ¨Z9$#
ÇÊÉÈ
10. Dan Kami telah menunjukan kepadanya dua jalan (jalan kebajikan dan
jalan kejahatan)
Takdir itu sendiri
terbagi dua: Taqdir Mu’allaq dan Takdir Mubarram. Yang dimaksud Takdir Mu’alla ialah ketetapan Allah yang bisa dirubah melalui doa
atau perbuatan baik. Sedangkan, Takdir Mubram ialah ketetapan Allah yang
tidak bisa dirubah dari Zamȃn Azalȋ sampai
Zamȃn Ajalȋ.
Menurut Jabariyyah,
manusia tidak dapat menentukan atau memilih. Mereka beranggapan bahwa segala
amal perbuatan baik ataupun buruk itu dipaksakan atas diri mereka. Dan surga
dan neraka ialah hanya sebagai bukti ke-Maha Kesaran Qudrat dan Iradat Allah
Swt.
Sedangkan menurut Qadariyyah,
perbuatan manusia itu mutlak dari manusia itu sendiri. Tidak ada campur tangan
dari Allah. Oleh karena itu, mereka tidak mempercayai adanya takdir,
sebagai mana yang dipercayai umat islam pada umumnya.
[1]
Muhammad Chirzin, Konsep & Hikmah
Akidah Islam, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,1997), h. 105.
[2]Ahmad
Hȃsyimȋ, Mukhtȃr al-Aẖȃdȋts
an-Nabawiyyah, (Beirȗt: Dȃr al-Fikr,1998), h. 35.
[3]Fethullah
Gullen, Qadar, terjemahan Ibnu
Ibrahim Ba’adillah, (Jakarta: PT Gramedia,2011), h.18.
[4] Muhammad
Chirzin, Konsep & Hikmah Akidah
Islam, h. 105.
[5]
Fethullah Gullen, Qadar, h. 1.
[6]
Fethullah Gullen, Qadar, h. 4.
[7]
Fethullah Gullen, Qadar, h. 4.
[8]
Fethullah Gullen, Qadar, h. 20.
[9]
Fethullah Gullen, Qadar, h. 33.
[10]
Fethullah Gullen, Qadar, h. 38.
[11]
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam bukunya al-Musnȃd. Juga diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam bukunya al-Mustadrȃk.
Al-Hakim mengatakan hadis ini shahȋh dengan syarat Imam Muslim. Lihat lebih
lanjut: Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha`
dan Qadar, terjemahan Abdul Ghaffar (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000). h. 611.
[12]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha` dan
Qadar, h. 611.
[13]
Muhammad Chirzin, Konsep & Hikmah
Akidah Islam, h. 106.
[14]
M. Noor Matdawam Pembinaan Aqidah Islamiyah (Theologi Islam), (Yogyakarta:
Bina Karier, 1984), h. 116.
[15]
Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2010), h. 139.
[16]
Nukman Abbas, Al-Asy’ari
(874-935 M.);Misteri Perbuatan Manusia & Taqdir Tuhan, (Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama, TP.TH), h. 28.
[17]Sahilun
A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), h. 139
[18]Nukman
Abbas, Al-Asy’ari
(874-935 M.),h. 29.
[19]
Nukman Abbas, Al-Asy’ari
(874-935 M.),h. 31.
[20]
Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), h.143.
[21]
Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), h. 144.
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100