BAB I
PENDAHULUAN
- Latarbelakang
Tradisi pemikiran Barat dewasa ini
merupakan paradigma bagi pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang
sangat luas dan mendalam di semua segi dari seluruh lini kehidupan.
Memahami tradisi pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan
filsafatnya merupakan kearifan tersendiri, karena kita akan dapat
melacak segi-segi positifnya yang layak kita tiru dan menemukan
sisi-sisi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Ditinjau dari sudut sejarah, filsafat
Barat memiliki empat periodisasi. Periodisasi ini didasarkan atas corak
pemikiran yang dominan pada waktu itu. Pertama, adalah zaman Yunani
Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah ditujukannya
perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai
ikhtiar guna menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur
awal terjadinya gejala-gejala. Para filosof pada masa ini mempertanyakan
asal usul alam semesta dan jagad raya, sehingga ciri pemikiran filsafat
pada zaman ini disebut kosmosentris. Kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut teosentris.
Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat
dogma-dogma agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran Eropa
pada abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk
disesuaikan dengan ajaran agama, sehingga pemikiran filsafat terlalu
seragam bahkan dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah
pemikiran filsafat sebenarnya. Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para
filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat,
maka corak filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris.
Filsafat Barat modern dengan demikian memiliki corak yang berbeda dengan
filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan itu terutama pada otoritas
kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan
otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya,
maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan
akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat
oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya
sendiri yaitu akal. Kekuasaan yang mengikat itu adalah agama dengan
gerejanya serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
Keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral diskursus filsafat.[1]
- Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka
pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada filsafat modern dan
pembentukannya yang difokuskan pada tiga masalah inti yaitu Renaisans,
Rasionalisme dan Empirisme dalam rumusan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana filsafat Barat pada era renaisans?
- Bagaimana filsafat modern aliran rasionalisme?
- Bagaimana filsafat modern aliran empirisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Renaisans
Tidak mudah menentukan batas yang jelas
mengenai akhir zaman pertengahan dan awal yang pasti dari zaman modern.
Hal ini disebabkan perbedaan pandangan para ahli sejarah tentang
peralihan zaman pertengahan ke zaman modern. Sebagian ahli sejarah
berpendapat bahwa zaman pertengahan berakhir ketika Konstantinopel
ditaklukkan oleh Turki Usmani pada tahun 1453 M. Peristiwa tersebut
dianggap sebagai akhir zaman pertengahan dan titik awal zaman modern.
Ada juga yang berpendapat bahwa penemuan benua Amerika oleh Columbus
pada tahun 1492 M., menandai awal zaman modern. Para ahli yang lain
cenderung menganggap era gerakan reformasi keagamaan yang dimotori oleh
Martin Luther pada tahun 1517 M., sebagai akhir zaman pertengahan. Namun
mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa akhir abad ke 14 sekaligus
menjadi akhir zaman pertengahan yang ditandai oleh suatu gerakan yang
disebut renaissance pada abad ke 15 dan 16. Dengan demikian abad ke 17
menjadi bagian awal dari zaman filsafat modern.[2]
Renaisans berasal dari istilah bahasa Prancis renaissance yang berarti kelahiran kembali (rebirth).
Istilah ini biasanya digunakan oleh para ahli sejarah untuk menunjuk
berbagai periode kebangkitan intelektual yang terjadi di Eropa,
khususnya di Italia sepanjang abad ke 15 dan ke 16. Istilah ini
mula-mula digunakan oleh seorang ahli sejarah terkenal yang bernama
Michelet, kemudian dikembangkan oleh J. Burckhardt (1860) untuk konsep
sejarah yang menunjuk kepada periode yang bersifat individualisme,
kebangkitan kebudayaan antik, penemuan dunia dan manusia, sebagai
periode yang dilawankan dengan periode Abad Pertengahan.
Abad Pertengahan adalah abad ketika alam
pikiran dikungkung oleh Gereja. Dalam keadaan seperti itu kebebasan
pemikiran amat dibatasi, sehingga perkembangan sains sulit terjadi,
demikian pula filsafat tidak berkembang, bahkan dapat dikatakan bahwa
manusia tidak mampu menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang
mulai mencari alternatif. Dalam perenungan mencari alternatif itulah
orang teringat pada suatu zaman ketika peradaban begitu bebas dan maju,
pemikiran tidak dikungkung, sehingga sains berkembang, yaitu zaman
Yunani kuno. Pada zaman Yunani kuno tersebut orang melihat kemajuan
kemanusiaan telah terjadi. Kondisi seperti itulah yang hendak dihidupkan
kembali.[3]
Pada pertengahan abad ke-14, di Italia
muncul gerakan pembaruan di bidang keagamaan dan kemasyarakatan yang
dipelopori oleh kaum humanis Italia. Tujuan utama gerakan ini adalah
merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup Kristiani dengan mengaitkan
filsafat Yunani dengan ajaran agama Kristen. Gerakan ini berusaha
meyakinkan Gereja bahwa sifat pikiran-pikiran klasik itu tidak dapat
binasa. Dengan memanfaatkan kebudayaan dan bahasa klasik itu mereka
berupaya menyatukan kembali Gereja yang terpecah-pecah dalam banyak
sekte.[4]
Tidak dapat dinafikan bahwa pada abad
pertengahan orang telah mempelajari karya-karya para filosof Yunani dan
Latin, namun apa yang telah dilakukan oleh orang pada masa itu berbeda
dengan apa yang diinginkan dan dilakukan oleh kaum humanis. Para humanis
bermaksud meningkatkan perkembangan yang harmonis dari kecakapan serta
berbagai keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan
adanya kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik Yunani. Para
humanis pada umumnya berpendapat bahwa hal-hal yang alamiah pada diri
manusia adalah modal yang cukup untuk meraih pengetahuan dan menciptakan
peradaban manusia. Tanpa wahyu, manusia dapat menghasilkan karya budaya
yang sebenarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa humanisme telah
memberi sumbangannya kepada renaisans untuk menjadikan kebudayaan
bersifat alamiah.[5]
Zaman renaisans banyak memberikan
perhatian pada aspek realitas. Perhatian yang sebenarnya difokuskan pada
hal-hal yang bersifat kongkret dalam lingkup alam semesta, manusia,
kehidupan masyarakat dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya
manusia untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi
kepercayaan dan porsi yang lebih besar, karena ada suatu keyakinan bahwa
akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan
pemecahannya. Hal ini dibuktikan dengan perang terbuka terhadap
kepercayaan yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang enggan
menggunakan akalnya. Asumsi yang digunakan adalah, semakin besar
kekuasaan akal, maka akan lahir dunia baru yang dihuni oleh
manusia-manusia yang dapat merasakan kepuasan atas dasar kepemimpinan
akal yang sehat.[6]
Pada zaman ini berbagai gerakan bersatu
untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan yang dogmatis, sehingga
melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia dan
membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat. Zaman renaisans
terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berpikir
seperti pada zaman Yunani kuno. Manusia dikenal sebagai animal rationale,
karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang.
Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak
didasarkan atas campur tangan Ilahi. Saat itu manusia Barat mulia
berpikir secara baru dan berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas
kekuasaan Gereja yang selama ini telah mengungkung kebebasan dalam
mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan.[7]
Zaman ini juga sering disebut sebagai
Zaman Humanisme. Maksud ungkapan tersebut adalah manusia diangkat dari
Abad pertengahan. Pada abad tersebut manusia kurang dihargai
kemanusiaannya. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran gereja, bukan
menurut ukuran yang dibuat oleh manusia sendiri. Humanisme menghendaki
ukurannya haruslah manusia, karena manusia mempunyai kemampuan berpikir.
Bertolak dari sini, maka humanisme menganggap manusia mampu mengatur
dirinya sendiri dan mengatur dunia. Karena semangat humanisme tersebut ,
akhirnya agama Kristen semakin ditinggalkan, sementara pengetahuan
rasional dan sains berkembang pesat terpisah dari agama dan nilai-nilai
spiritual.[8]
Renaisans tidak lahir secara kebetulan,
tetapi ada pra kondisi yang mengawali terjadinya kelahiran tersebut.
Menurut Mahmud Hamdi Zaqzuq, ada beberapa faktor penting yang
mempengaruhi kelahiran Renaisans, yaitu:
1. Implikasi yang sangat signifikan yang
ditimbulkan oleh gerakan keilmuan dan filsafat. Gerakan tersebut lahir
sebagai hasil dari penerjemahan ilmu-ilmu Islam ke dalam bahasa latin
selama dua abad, yaitu abad ke-13 dan 14. Bahkan sebelumnya telah
terjadi penerjemahan kitab-kitab Arab di bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan. Hal itu dilakukan setelah Barat sadar bahwa Arab memiliki
kunci-kunci khazanah turas klasik Yunani.[9]
Hasil dari penerjemahan karya-karya
Muslim berpengaruh terhadap kurikulum Eropa Barat secara revolusioner.
Terutama di bidang matematika, kedokteran, astronomi, filologi, fisika,
ilmu kimia, geografi, sejarah, musik, teologi, dan filsafat.
Transformasi tersebut menumbuhkan universitas-universitas Eropa abad
keduabelas dan ketigabelas.
Hal itu telah menstimulasi perkembangan
lebih lanjut teori dan praktik kedokteran, memodifikasi doktrin-doktrin
teologi, memprakarsai dunia baru dalam matematika, menghasilkan
kontroversi baru dalam teologi dan filsafat. [10]
2. Pasca penaklukan Konstantinopel oleh
Turki Usmani, terjadi migrasi para pendeta dan sarjana ke Italia dan
negara-negara Eropa lainnya. Para sarjana tersebut menjadi pionir-pionir
bagi pengembangan ilmu di Eropa. Mereka secara bahu-membahu
menghidupkan turas klasik Yunani di Florensia, dengan membawa teks-teks
dan manuskrip-manuskrip yang belum dikenal sebelumnya.
3. Pendirian berbagai lembaga ilmiah yang
mengajarkan beragam ilmu, seperti berdirinya Akademi Florensia dan
College de France di Paris.[11]
Dalam universitas-universitas abad keduabelas dan abad ketigabelas,
ilmu pengetahuan telah didasarkan hampir sepenuhnya pad tulisan-tulisan
dari para penulis Muslim atau Yunani, sebagaimana diterjemahkan dari
sumber-sumber bahasa Arab dan Yunani. Ilmu pengetahuan Muslim
Aristotelian tetap merupakan inti dari kurikulum Universitas Paris
hingga abad keenambelas. Tidak sampai pertengahan abad keenambelas dan
datangnya Copernicus dalam astronomi, Paracelsus dalam ilmu kedokteran
dan Vesalius dalam anatomi, ilmu pengetahuan Muslim-Helenistik telah
membuka jalan kepada konsep-konsep baru tentang manusia dan dunianya,
sehingga menimbulkan keruntuhan periode abad pertengahan.[12]
Selain itu, ada beberapa faktor yang dikemukakan Slamet Santoso seperti yang dikutip Rizal Mustansyir, yaitu:
- Hubungan antara kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dengan Prancis membuat para pendeta mendapat kesempatan belajar di Spanyol kemudian mereka kembali ke Prancis untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh di lembaga-lembaga pendidikan di Prancis.[13]
- Perang Salib (1100-1300 M) yang terulang enam kali, tidak hanya menjadi ajang peperangan fisik, namun juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang berasal dari berbagai negara itu menyadari kemajuan negara-negara Islam, sehingga mereka menyebarkan pengalaman mereka itu sekembalinya di negara-negara masing-masing.
Pada zaman renaisans ada banyak penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Di antara tokoh-tokohnya adalah:
1. Nicolaus Copernicus (1473-1543)
Ia dilahirkan di Torun, Polandia dan
belajar di Universitas Cracow. Walaupun ia tidak mengambil studi
astronomi, namun ia mempunyai koleksi buku-buku astronomi dan
matematika. Ia sering disebut sebagai Founder of Astronomy. Ia
mengembangkan teori bahwa matahari adalah pusat jagad raya dan bumi
mempunyai dua macam gerak, yaitu: perputaran sehari-hari pada porosnya
dan perputaran tahunan mengitari matahari. Teori itu disebut heliocentric menggeser teori Ptolemaic. Ini
adalah perkembangan besar, tetapi yang lebih penting adalah metode yang
dipakai Copernicus, yaitu metode mencakup penelitian terhadap
benda-benda langit dan kalkulasi matematik dari pergerakan benda-benda
tersebut.[14]
2. Galileo Galilei (1564-1642)
Galileo Galilei adalah salah seorang
penemu terbesar di bidang ilmu pengetahuan. Ia menemukan bahwa sebuah
peluru yang ditembakkan membuat suatu gerak parabola, bukan gerak
horizontal yang kemudian berubah menjadi gerak vertikal. Ia menerima
pandangan bahwa matahari adalah pusat jagad raya. Dengan teleskopnya, ia
mengamati jagad raya dan menemukan bahwa bintang Bimasakti terdiri dari
bintang-bintang yang banyak sekali jumlahnya dan masing-masing berdiri
sendiri. Selain itu, ia juga berhasil mengamati bentuk Venus dan
menemukan beberapa satelit Jupiter.[15]
3. Francis Bacon (1561-1626)
Francis Bacon adalah seorang filosof dan
politikus Inggris. Ia belajar di Cambridge University dan kemudian
menduduki jabatan penting di pemerintahan serta pernah terpilih menjadi
anggota parlemen. Ia adalah pendukung penggunaan scientific methods, ia
berpendapat bahwa pengakuan tentang pengetahuan pada zaman dahulu
kebanyakan salah, tetapi ia percaya bahwa orang dapat mengungkapkan
kebenaran dengan inductive method, tetapi lebih dahulu harus membersihkan fikiran dari prasangka yang ia namakan idols (arca).[16] Bacon telah memberi kita pernyataan yang klasik tentang kesalahan-kesalahan berpikir dalam Idols of the Mind.
Pertama, Arca-arca Suku (Idols of the Tribes).
Kita condong menerima bukti-bukti dan kejadian-kejadian yang
menguntungkan pihak atau kelompok kita (suku atau bangsa). Kedua,
Arca-arca Gua (Idols of Cave). Kita cenderung memandang diri kita sebagai pusat dunia dan menekankan pendapat kita yang terbatas. Ketiga, Arca-arca Pasar (Idols of the Market)
yang menjadikan kita terpengaruh oleh kata-kata atau nama-nama yang
kita kenal dalam percakapan kita sehari-hari. Kita disesatkan oleh
kata-kata yang diucapkan secara emosional. Sebagai contoh, dalam
Masyarakat (Amerika) kata-kata komunis, radikal dan teroris. Keempat,
Arca-arca Panggung (Idols of Theatre) yang timbul karena sikap kita
berpegang pada partai, kepercayaan atau keyakinan. Tingkah laku,
cara-cara dan aliran-aliran pikiran adalah seperti panggung, dalam arti
bahwa mereka membawa kita ke dunia khayal. Akhirnya arca panggung
membawa kita kepada kesimpulan yang salah dasar.[17]
Bacon menolak silogisme, sebab dipandang
tanpa arti dalam ilmu pengetahuan karena tidak mengajarkan
kebenaran-kebenaran yang baru. Ia juga menekankan bahwa ilmu pengetahuan
hanya dapat dihasilkan melalui pengamatan, eksperimen dan harus
berdasarkan data-data yang tersusun. Dengan demikian Bacon dapat
dipandang sebagai peletak dasar-dasar metode induksi modern dan pelopor
dalam usaha sitematisasi secara logis prosedur ilmiah.[18]
Dalam bidang filsafat, zaman renaisans
tidak menghasilkan karya penting bila dibandingkan dengan bidang seni
dan sains. Filsafat berkembang bukan pada zaman itu, melainkan kelak
pada zaman sesudahnya yaitu zaman modern. Meskipun terdapat berbagai
perubahan mendasar, namun abad-abad renaisans tidaklah secara langsung
menjadi lahan subur bagi pertumbuhan filsafat. Baru pada abad ke-17
dengan dorongan daya hidup yang kuat sejak era renaisans, filsafat
mendapatkan pengungkapannya yang lebih jelas. Jadi, zaman modern
filsafat didahului oleh zaman renaisans. Ciri-ciri filsafat renaisans
dapat ditemukan pada filsafat modern. Ciri tersebut antara lain,
menghidupkan kembali rasionalisme Yunani, individualisme, humanisme,
lepas dari pengaruh agama dan lain-lain. [19]
Pada abad ke-17 pemikiran renaisans
mencapai kesempurnaannya pada diri beberapa tokoh besar. Pada abad ini
tercapai kedewasaan pemikiran, sehingga ada kesatuan yang memberi
semangat yang diperlukan pada abad-abad berikutnya. Pada masa ini, yang
dipandang sebagai sumber pengetahuan hanyalah apa yang secara alamiah
dapat dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman (empiri).
Sebagai akibat dari kecenderungan berbeda dalam memberi penekanan kepada
salah satu dari keduanya, maka pada abad ini lahir dua aliran yang
saling bertentangan, yaitu rasionalisme yang memberi penekanan pada
rasio dan empirisme yang memberi penekanan pada empiri.
B. Rasionalisme
Usaha manusia untuk memberi kemandirian
kepada akal sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaisans,
masih berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah era
dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang
sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar
terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal
segala macam persoalan dapat dijelaskan, semua permasalahan dapat
dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.
Keyakinan yang berlebihan terhadap
kemampuan akal telah berimplikasi kepada perang terhadap mereka yang
malas mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang bersifat dogmatis
seperti yang terjadi pada abad pertengahan, terhadap norma-norma yang
bersifat tradisi dan terhadap apa saja yang tidak masuk akal termasuk
keyakinan-keyakinan dan serta semua anggapan yang tidak rasional.
Dengan kekuasaan akal tersebut, orang
berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih sempurna, dipimpin dan
dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal ini
sangat jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu
keinginan untuk menyusun secara a priori suatu sistem keputusan akal
yang luas dan tingkat tinggi. Corak berpikir yang sangat mendewakan
kemampuan akal dalam filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme.[20]
Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama
rasionalisme adalah Rene Descartes (1595-1650). Tokoh rasionalisme
lainnya adalah Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz
(1646-1716). Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut
Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena
dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat
berdasarkan atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan
akliah. Dia pula orang pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun
argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat
haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan
yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap
perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban. Ia
melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan
lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi
agama Kristen, selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani,
yaitu filsafat yang berbasis pada akal.
Descartes sangat menyadari bahwa tidak
mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio.
Tokoh-tokoh Gereja waktu itu masih berpegang teguh pada keyakinan bahwa
dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat dalam jargon credo ut intelligam
yang dipopulerkan oleh Anselmus. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar
filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasinya dalam sebuah metode
yang sering disebut cogito Descartes, atau metode cogito saja. Metode tersebut dikenal juga dengan metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt).[21]
Lebih jelas uraian Descartes tentang
bagaimana memperoleh hasil yang sahih dari metode yang ia canangkan
dapat dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini:
- Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
- Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
- Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
- Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.[22]
Atas dasar aturan-aturan itulah Descartes
mengembangkan pikiran filsafatnya. Ia meragukan segala sesuatu yang
dapat diragukan. Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal yang berkaitan
dengan panca indera. Ia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu
dimungkinkan karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi dan
pengalaman tentang roh halus, ada yang sebenarnya itu tidak
jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu
seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi, seolah-olah
seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis
seperti tidak mimpi. Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan
hal gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena
itu, Descartes berkata, ”Aku dapat meragukan bahwa aku di sini sedang
siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat meragukan itu karena
kadang-kadang aku bermimpi persis sepeti itu, padahal aku ada di tempat
tidur sedang bermimpi”. Jadi, siapa yang dapat menjamin bahwa yang
sedang kita alami sekarang adalah kejadian yang sebenarnya dan bukan
mimpi?
Pada langkah pertama ini Descartes
berhasil meragukan semua benda yang dapat diindera. Sekarang , apa yang
dapat dipercaya dan yang sungguh-sungguh ada? Menurut Descartes, dalam
keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi dan hal gaib), juga dalam
jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada yang selalu muncul baik dalam
jaga maupun dalam mimpi, yaitu gerak, jumlah dan besaran (volume).
Ketiga hal tersebut adalah matematika. Untuk membuktikan ketiga hal ini
benar-benar ada, maka Descartes pun meragukannya. Ia mengatakan bahwa
matematika bisa salah. Saya sering salah menjumlah angka, salah mengukur
besaran, demikian pula pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat
saya ragukan, meskipun matematika lebih pasti dari benda. Kalau begitu,
apa yang pasti itu dan dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin
yang pasti, yang distinct. [23]
Sampailah ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode cogito.
Satu-satunya hal yang tak dapat ia ragukan adalah eksistensi dirinya
sendiri yang sedang ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak ada satu
manusia pun yang dapat menipunya termasuk setan licik dan botak sekali
pun. Bahkan jika kemudian ia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada,
maka penyesatan itu pun bagi Descartes merupakan bukti bahwa ada
seseorang yang sedang disesatkan. Ini bukan khayalan, melainkan
kenyataan. Batu karang kepastian Descartes ini diekspresikan dalam
bahasa latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada).
Dalam usaha untuk menjelaskan mengapa
kebenaran yang satu (saya berpikir, maka saya ada) adalah benar,
Descartes berkesimpulan bahwa dia merasa diyakinkan oleh kejelasan dan
ketegasan dari ide tersebut. Di atas dasar ini dia menalar bahwa semua
kebenaran dapat kita kenal karena kejelasan dan ketegasan yang timbul
dalam pikiran kita:” Apa pun yang dapat digambarkan secara jelas dan
tegas adalah benar.
Dengan demikian, falsafah rasional
mempercayai bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan bukanlah turunan
dari dunia pengalaman melainkan dari dunia pikiran. Descartes mengakui
bahwa pengetahuan dapat dihasilkan oleh indera, tetapi karena dia
mengakui bahwa indera itu bisa menyesatkan seperti dalam mimpi atau
khayalan, maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data keinderaan
tidak dapat diandalkan. [24]
Cogito ergo sum dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat Descartes yang disebut sebagai kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophium).
Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi yang seluruh
tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran dan keberadaannya tidak butuh
kepada suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi.
Untuk menguatkan gagasannya, ia mengemukakan ide-ide bawaan (innate ideas).
Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat tiga ide bawaan yang
telah ada pada dirinya sejak lahir, yaitu pemikiran, Tuhan dan
keluasan. Argumen tentang ide bawaan tersebut adalah ketika saya
memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima
bahwa pemikiran merupakan hakikat saya. Ketika saya mempunyai ide
sempurna, maka pasti ada penyebab sempurna bagi ide tersebut, karena
akibat tidak mungkin melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak
lain adalah Tuhan. Adapun alasan tentang keluasan karena saya mengerti
ada materi sebagai keluasan, sebagaimana diketahui dan dipelajari dalam
ilmu geometri.
Mengenai substansi, Descartes
menyimpulkan bahwa selain dari Tuhan ada dua substansi, yaitu jiwa yang
hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang hakikatnya adalah keluasan.
Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar
dirinya, maka ia kesulitan membuktikan adanya dunia luar tersebut. Bagi
Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia luar adalah
bahwa Tuhan akan menipu saya sekiranya Ia memberi ide keluasan. Namun
tidak mungkin Tuhan sebagai wujud yang sempurna akan menipu saya. Jadi,
di luar saya benar-benar ada dunia material.[25]
Adapun Spinoza beranggapan bahwa hanya
ada satu substansi, yaitu Tuhan. Jika Descartes membagi substansi
menjadi tiga, yaitu tubuh (bodies), jiwa (mind) dan Tuhan, maka Spinoza menyimpulkan hanya ada satu substansi. Adapun bodies dan mind
bukan substansi yang berdiri sendiri, melainkan sifat dari satu
substansi yang tak terbatas. Ketika ia ditanya,”Bagaimana membedakan
atribut bodies dan mind?” Spinoza memberi jawaban mengejutkan: ”Anda hanyalah satu bagian dari substansi kosmik (universe)”.
Jika demikian, alam semesta juga adalah Tuhan. Bagi Spinoza, Tuhan dan
alam semesta adalah satu dan sama. Ya, Spinoza percaya kepada Tuhan,
tetapi Tuhan yang dimaksudkannya adalah alam semesta ini. Tuhan Spinoza
itu tidak berkemauan, tidak melakukan sesuatu, tak mempedulikan manusia
dan tak terbatas (ultimate). Inilah penjelasan logis dan dapat diketahui tentang Tuhan menurut Spinoza.[26]
Sebagai penganut rasionalisme, Spinoza
dianggap sebagai orang yang tepat dalam memberikan gambaran tentang apa
yang dipikirkan oleh penganut rasionalisme. Ia berusaha menyusun sebuah
sistem filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur (geometri). Seperti
halnya orang Yunani, Spinoza mengatakan bahwa dalil-dalil ilmu ukur
merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Spinoza
meyakini bahwa jika seseorang memahami makna yang dikandung oleh
kata-kata yang dipergunakan dalam ilmu ukur, maka ia pasti akan memahami
makna yang terkandung dalam pernyataan “sebuah garis lurus merupakan
jarak terdekat di antara dua buah titik”, maka kita harus mengakui
kebenaran pernyataan tersebut. Kebenaran yang menjadi aksioma.[27]
Contoh ilmu ukur (geometri) yang
dikemukakan oleh Spinoza di atas adalah salah satu contoh favorit kaum
rasionalis. Mereka berdalih bahwa aksioma dasar geometri seperti,
“sebuah garis lurus merupakan jarak yang terdekat antara dua titik”,
adalah idea yang jelas dan tegas yang baru kemudian dapat diketahui oleh
manusia. Dari aksioma dasar itu dapat dideduksikan sebuah sistem yang
terdiri dari subaksioma-subaksioma. Hasilnya adalah sebuah jaringan
pernyataan yang formal dan konsisten yang secara logis tersusun dalam
batas-batas yang telah digariskan oleh suatu aksioma dasar yang sudah
pasti.[28]
C. Empirisme
Para pemikir di Inggris bergerak ke arah
yang berbeda dengan tema yang telah dirintis oleh Descartes. Mereka
lebih mengikuti Jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisme.[29]
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan
mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani empeiria
yang berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan
rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa rasionalisme ditolak sama
sekali. Dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam kerangka
empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam bingkai empirisme[30]
Orang pertama pada abad ke-17 yang
mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679).
Jika Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian, maka Hobbes
dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem
yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia
bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang
dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan
empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme
dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang
konsekuen pada zaman modern.
Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu
ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu
pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang
penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan
pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya.
Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari
sebab-sebabnya. Adapun alatnya adalah pengertian-pengertian yang
diungkapkan dengan kata-kata yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di
dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk
pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini
dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian; ruang, waktu,
bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut
Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata,
tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil
benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda
itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala yang
ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti
dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi
kesadaran kita.[31]
Sebagai penganut empirisme, pengenalan
atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal
dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang
diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan
dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi
jaminan kepastian.
Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes
memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis
semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan
misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan
pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan
dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan,
sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan
inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan
adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak
kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul reaksi, yaitu suatu
gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi
pada awal gerak reaksi tadi.
Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes
menyatakan bahwa tidak ada yang universal kecuali nama belaka.
Konsekuensinya ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata
lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak
ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan benar atau
tidak benar itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda
diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas di dalam pikiran
orang.[32]
Selanjutnya tradisi empiris diteruskan
oleh John Locke (1632-1704) yang untuk pertama kali menerapkan metode
empiris kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan.
Bagi Locke, yang terpenting adalah menguraikan cara manusia mengenal.
Locke berusaha menggabungkan teori-teori empirisme seperti yang
diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Usaha
ini untuk memperkuat ajaran empirismenya. Ia menentang teori
rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang
sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari
pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal adalah pasif pada waktu
pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan
pengetahuan dari dirinya sendiri.[33]
Pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan
yang kosong (tabula rasa). Di dalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh
dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari
penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana. Tapi pikiran,
menurut Locke, bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang
datang dari luar. Beberapa aktifitas berlangsung dalam pikiran.
Gagasan-gagasan yang datang dari indera tadi diolah dengan cara
berpikir, bernalar, mempercayai, meragukan dan dengan demikian
memunculkan apa yang dinamakannya dengan perenungan.
Locke menekankan bahwa satu-satunya yang
dapat kita tangkap adalah penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel
misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan
saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana,
yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar dan
sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali, kita akan berpikir
bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah yang
kemudian disebut Locke sebagai gagasan yang rumit atau ia sebut dengan
persepsi. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa semua bahan dari
pengetahuan kita tentang dunia didapatkan melalui penginderaan.[34]
Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat
dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang
pertama-tama yang dapat diibaratkan seperti atom-atom yang menyusun
objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak
kembali seperti demikian itu bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.[35]
Di tangan empirisme Locke, filsafat
mengalami perubahan arah. Jika rasionalisme Descartes mengajarkan bahwa
pengetahuan yang paling berharga tidak berasal dari pengalaman, maka
menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar dari segala pengetahuan.
Namun demikian, empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan yang sampai
begitu jauh belum bisa dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat.
Persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai pengetahuan
tentang sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu sendiri.[36]
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan terdahulu dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
- Renaisans berasal dari bahasa Prancis renaisance yang berarti kelahiran kembali. Istilah ini sering digunakan untuk menamai berbagai gelombang kebudayaan dan pemikiran di Eropa yang terjadi mulai dari Italia, kemudian meluas ke beberapa negara Eropa lainnya. Kemunculan renaisans telah membawa hidupnya kembali ilmu pengetahuan, filsafat dan perubahan di berbagai lini kehidupan, sehingga para sejarawan menganggapnya sebagai awal zaman modern. Berbagai perubahan yang terjadi selama era renaisans menjadi persiapan bagi pembentukan filsafat pad abad ke-17, atau yang dikenal dengan filsafat modern.
- Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif. Rasionalisme menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika Descartes meragukan “aku” yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
- Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang empiris.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Anees, Bambang Q- dan Radea Juli A. Hambali. Filsafat Untuk Umum. Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Ravertz, Jerome R. The Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu dengan judul Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Nakosteen, Mehdi. History of Islamic Origins of Western Education A. D. 800-1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education. Diterjemahkan oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dengan judul Kontribusi Islam atas dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis abad kemasan Islam. Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam perspektif. Cet. XVI; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998.
Titus, Harold H., et al. Living Issues in philosophy. Diterjemahkan oleh H.M. Rasjidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat. Cet. I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984.
Zaqzu>q, Mah}mu>d H{amdiy. Dira>sa>t fi> al-Falsafat al-H{adi>s\ah. Cet. II; Kairo: Da>r al-T{iba>‘at al-Muh}ammadiyyah, 1988.
[1] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, selanjutnya disebut Rizal, Filsafat Ilmu (Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 58-59.
[2] Mah}mu>d H{amdiy Zaqzu>q, selanjutnya disebut Zaqzuq, Dira>sa>t fi> al-Falsafat al-H{adi>s\ah (Cet. II; Kairo: Da>r al-T{iba>‘at al-Muh}ammadiyyah, 1988), h. 16.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), h. 109.
[4] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 109.
[5] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 11., lihat Jerome R. Ravertz, The Philosophy of Science, diterjemahkan Saut Pasaribu, Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 29.
[6] Asmoro Achmadi, op. cit., h. 110.
[7] Rizal, op. cit., h. 70.
[8] Ahmad Tafsir, op. cit., h. 110.
[9] Zaqzuq, loc. cit.
[10] Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A. D. 800-1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education, diterjemahkan Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Kontribusi Islam atas dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis abad kemasan Islam (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 271.
[11] Zaqzuq, op.cit., h. 17-18.
[12] Mehdi Nakosteen, op. cit., h. 276.
[13] Rizal, op. cit., h. 134.
[14] Harold H. Titus et al., Living Issues in philosophy, diterjemahkan H.M. Rasjidi, Persoalan-Persoalan Filsafat (Cet. I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984), h. 258.
[15] Harun Hadiwijono, op.cit., h. 14.
[16] Harold H. Titus et al., op. cit., h. 192.
[17] Ibid., h. 191.
[18] Harun Hadiwijono, op. cit., h. 15.
[19] Ahmad Tafsir, op. cit., h. 111.
[20] Rizal, op. cit., h. 73-74.
[21] Ahmad Tafsir, op. cit., h. 112-113.
[22] Juhaya S. Praja, op. cit., h. 96.
[23] Ahmad Tafsir, op. cit., h. 129-131.
[24] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam perspektif (Cet. XVI; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 100-101.
[25] Juhaya S. Praja, op. cit., h. 98-99.
[26] Ahmad Tafsir, op. cit., h. 137-138.
[27] Juhaya S. Praja, op. cit., h. 27.
[28] Jujun S. Suriasumantri, loc. cit.
[29] Harun Hadiwijono, op.cit., h. 31.
[30] Ahmad Tafsir, op. cit., h. 173.
[31] Harun Hadiwijono, op. cit., h. 32.
[32] Juhaya S. Praja, op. cit., h. 109-110.
[33] Harun Hadiwijono, op. cit., h. 36.
[34] Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, selanjutnya disebut Bambang, Filsafat Untuk Umum (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 334.
[35] Juhaya S. Praja, op. cit., h. 26.
[36] Bambang, op. cit., h. 335.
This post have 0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100