upacara kelahiran dan kematian di kalimantan selatan

author photo June 16, 2012

A.    Pendahuluan
kelahiran dan kematian, merupakan perkara yang haq, perkara yang tidak dapat disangkali lagi oleh manusia. Dan merupakan kepastian yang akan dialami serta dirasakan oleh makhluk yang bernyawa.[1]
Sedangkan Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengatahuaan, kepercayaan, keseniaan, moral, hukum, adat istiadat dan lain-lain, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”.[2]
Maka dari itu, kami akan mencoba untuk membahas tentang kebudayaan masyrakat kita yang lebih khususnya dalam bidang kelahiran dan kematian. Mudah-mudahan bisa menambah pengatahuan kita dalam pembelajaran.



B.     Kelahiran
Ketika umur kehamilan seorang ibu telah mencapai 9 bulan maka pihak keluarga harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut kedatangan "warga baru" (sang jabang bayi), Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upacara kelahiran pada masyarakat Banjar adalah: upiah pinang (pelepah pinang), kapit,[3] sembilu, sarung, kain batik, tepung-tawar, madu, kurma, garam, kukulih[4], seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, dan rempah-rempah untuk memasak ikan.
Upiah pinang digunakan untuk membungkus tembuni (tali pusat). Kapit digunakan sebagai tempat menyimpan tembuni. Sembilu digunakan untuk memotong tali pusat. Sedangkan, sarung atau kain batik digunakan untuk membersihkan tubuh bayi ketika tali pusatnya telah dipotong. Tepung-tawar digunakan untuk menaburi tubuh bayi agar terlepas dari gangguan roh-roh jahat. Madu, kurma atau garam lebah digunakan untuk mengoles bibir bayi. Dan seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, rempah-rempah[5] untuk memasak ikan diberikan kepada dukun bayi sebagai ungkapan rasa terima kasih.[6]
Adapun bapalas bidan, ini hanya untuk upacara tertentu  yang biasa ada mengeluarkan darah. Yaitu dengan mengadakan acara selamatan atau memberikan ganti rugi dengan berupa benda tertentu yang biasa, berupa makanan atau uang, karena akibat melukai seseorang yang mengeluarkan darah. Seperti anak dengan anak berkelahi, dan ada yang terluka. Maka menurut adat orang tua, anak yang melukai itu harus memalas kepala anak yang dilukai.[7]
Biasanya diadakan selamatan dengan memberikan uang atau bahan makanan, seperti beras, gula dan nyiur[8] sebagai tanda perdamaian itu.[9] Ada juga memalas ini dengan menyembelih hewan, tapi ini digunakan kalu hendak mendirikan bangunan tertentu, dimana darahnya dioleskan pada tiang bangunan atau pundasi dari bangunan itu agar yang bekerja pada bangunan tersebut tidak terjadi hal yang berbahaya, seperti jatuh, luka dan sebagainya.
Tetapi acara bapalas bidan yang diadakan pada umumnya itu merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan karunianya, yang menyelamatkan ibu beserta anak yang baru lahir itu, beserta para yang hadir menolong ketika itu. Jadi dengan demikian ini merupakan upacara selamatan untuk keselamatan ibu dan anak yang baru lahir beserta seluruh tetangga dan keluarga, termasuk bidan yang menolong, agar segar kembali seperti sediakala.[10]
Kemudian setelah bayi berumur satu minggu atau lebih, ada upacara yang disebut tasmiah (pemberian nama), dengan susunan acara sebagai berikut: pembacaan Ayat-ayat Suci Al Quran (Surat Ali Imran), pemberian nama oleh mualim atau penghulu, dan barjanji. Sebagai catatan, dalam barjanji itu, ketika dibaca kalimat asyrakal semua hadirin berdiri, kemudian bayi dikelilingkan. Mereka, termasuk mualim atau penghulu, diminta untuk menepung-tawari si bayi dengan baburih-likat. Dengan berakhirnya upacara tasmiah ini, maka berakhirlah rangkaian upacara kelahiran pada masyarakat Banjar.[11]
C.    Kematian
            Kematian bagi masyarakat manapun, termasuk masyarakat Banjar yang berada di Kalimantan Selatan, merupakan masalah sosial karena ia tidak hanya melibatkan anggota keluarganya tetapi juga masyarakatnya. Oleh karena itu, jika ada kematian, seluruh warga kampung datang membantu keluarga yang sedang berkabung. Biasanya salah seorang perempuan dari setiap keluarga datang ke rumah keluarga yang sedang berduka cita sambil membawa sejumlah beras.[12] Sementara itu, para lelakinya, disamping membantu dalam persiapan penguburan, juga mempersiapkan kayu-kayu yang diperlukan untuk masak-memasak dalam rangka selamatan (kendurian).
            Orang yang meninggal, mayatnya ditutup dengan bahalai (kain panjang) kemudian dibaringkan dengan posisi membujur ke arah baitullah (kiblat). Di sisinya disediakan buku (Surat Yasin) atau Al Quran. Dengan demikian, siapa saja yang ingin mengirimkan doa kepada yang meninggal dapat mengambil dan membacanya.[13] Sementara itu, pihak keluarga yang meninggal merundingkan mengenai proses pemakamannya, seperti: memandikan mayat, waktu pemakaman, dan orang-orang yang menyembahyangkan mayat.
            Bagi masyarakat Banjar, selamatan yang berkenaan dengan kematian tidak hanya dilakukan pada malam pertama (turun tanah) saja, tetapi juga malam ke-2 (mendua hari), ke-3 (meniga hari), ke-7 (memitung hari), ke-25 (mayalawi), ke-40 (mematang puluh), ke-50, 60, 70, 80, 90 yang disebut sebagai manyala ari, dan ke-100 hari (manyaratus hari) terhitung dari meninggalnya seseorang.[14]
Selamatan atau kendurian, baik yang dilakukan pada hari pertama, kedua, dan seterusnya (ke-100 hari) pada dasarnya sama, yaitu diikuti oleh sanak saudara, tetangganya dan kenalannya; dimulai dengan tahlilan (zikir 100x), kemudian dilanjutkan doa yang maksudnya adalah agar dosa-dosanya dimaafkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, diterima amal baktinya, sehingga dapat diterima di sisi-Nya;[15] dan diakhiri dengan penyantapan nasi beserta lauk-pauknya (daging ternak) dan apam surabi.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada perbedaan sama sekali. Perbedaan tetap ada, khususnya yang berkenaan dengan sajian yang dihidangkan pada hari yang ke-100. Hari yang ke-100 oleh masyarakat Banjar dianggap sebagai yang terpenting. Oleh karena itu, setiap orang akan berusaha untuk menyelenggarakannya secara lebih besar ketimbang hari-hari lainnya.[16] Kadang-kadang besarnya selamatan ini hampir sama dengan selamatan upacara perkawinan. Ini tergantung dari kemampuan orang yang meninggal tersebut.[17]Apalagi jika yang meninggal termasuk orang yang terpandang dan meninggalkan harta yang banyak (berlimpah). Dalam hal ini biasanya keluarga yang ditinggalkan akan menyeratus dengan menyembelih kerbau atau sapi. Sebab jika tidak, keluarga tersebut akan dianggap sebagai keluarga yang rakus terhadap apa yang warisan oleh yang meninggal.[18]
Adapun pantangan-pantangan yang harus dihindari pada waktu upacara turun tanah/baaruh adalah antara lain:
a.       Tidak boleh menyajika pisang untuk hidangan atau membawa naik kerumah tempat orang yang meninggal tersebut sampai maniga hari, dikarenakan bisa menimbulkan bapusang-pusang atau huru-hara, atau tidak tentram.
b.      Tidak boleh menyajikan wadai lapis atau koe lapis untuk hidangan baaruh tersebut, karena bisa menyebabkan yang meninggal berlapis-lapis atau beruntun dikenai musibah.
c.       Barang yang disuguhkan pada upacara tersebut harus benar-benar yang halal. Karena jika tidak memenuhi persyaratan ini, nantinya pahalanya tidak sampai kepada yang dihadiahi/kepada simati.
Ini menurut orang yang mempercayai hal tersebut.[19]

D.    Penutup
Jadi nilai-nilai, seperti ketaqwaan tercermin dalam perbuatan ayah sang jabang bayi ketika bayi telah dipotong tali pusatnya, kemudian dimandikan (dibersihkan), lalu diletakkan di atas talam. Pada tahap ini sang ayah mengucapkan azdan dan qomat. Pengucapan tersebut dimaksudkan agar suara yang pertama kali didengar oleh bayi adalah kalimat Allah, sehingga diharapkan kelak akan menjadi seorang muslim yang taat terhadap agama-nya (menjalani ajaran-ajaran agama Islam dan menjauhi larangan-laranganNya).
Nilai kesopan-santunan dan kewibawaan tercermin pada pemolesan gula atau kurma dan garam pada bibir bayi, dengan maksud agar kelak sang jabang bayi dapat bermulut manis dan bertutur kata manis (semua kata-katanya diperhatikan dan diikuti orang).
Nilai kerukunan tercermin pada penyimpanan tali pusat Sang jabang bayi. Dalam hal ini tali pusat disimpan baik-baik untuk dihimpun menjadi satu dengan tali pusat saudara-saudaranya. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak bertengkar, selalu hidup rukun dan damai.[20]

Nilai kegotong-royongan tercermin dalam perilaku warga masyarakat di sekitar keluarga yang sedang berkabung. Dalam hal ini, tanpa diminta, setiap keluarga datang membantunya dengan mengirim salah seorang anggotanya (perempuan) ke rumah keluarga yang sedang berkabung sambil membawa sejumlah beras. Sementara itu, para lelakinya, disamping membantu dalam persiapan penguburan, juga mempersiapkan kayu-kayu yang diperlukan untuk masak-memasak dalam rangka selamatan (kendurian).


Daftar pustaka

Brotomoeljono, et. al , Upacara tradisional Daerah Kalimantan, 1981/1982.
Gazali Usman, et. al, Upacara Tradisonal Upacara Kematian Daerah Kalimantan Selatan, 1992/1993.
Keesing Roger, Antropologi Budaya, (Jakarta: Erlangga, 1992).

Koentjaraningrat
, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. (Jakarta: Dian Rakyat, 1985).

Melalatoa, JEnsiklopedi Sukubangsa di Indonesia A-K, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995).
Daud  Alfani, islam dan masyarakat banjar, (jakarta: PT raja grafindo persada, 1997).
Gufron, upacara kematian pada masyarakat banjar, 1998/1999.
Djebar hapip abdul, kamus banjar indonesia,


[1]M. Ali chasan umar, alam kubur ( semarang : cv. Toha putera, 1979), h. 5
[2]Soerjono soekanti, sosiologi suatu pengantar, (jakarta: PT. Raja grafindo persada, 1994) cet.18, h. 188
[3] Kapit adalah wadah tembikar yang bentuknya menyerupai pot bunga kecil.
[4] Bubur yang terbuat dari beras ketan. Biasanya ada yang berwa hijau, putih dan merah.
[5] Brotomoeljono, Drs. Yustan Aziddin, Drs. Syarifuddin, Drs. M. Idwar saleh, Drs. M. Nasai., Upacara tradisional Daerah Kalimantan, 1981/1982. H.55.
[6] Hasil wawancara dengan Orang Tua saya. Alamat Muara Halayung.
[7] Didamaikan menurut adat.
[8] Kelapa.
[9] Brotomoeljono, dkk., Upacara tradisional Daerah Kalimantan, 1981/1982. H. 50-51.
[10]  Brotomoeljono, dkk., Upacara tradisional Daerah Kalimantan, 1981/1982. H. 37.
[11] Proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. 1981. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[12] Kebiasaan dikampung Muara Halayung dan sekitarnya.
[13] Adat kebiasaan di desa Muara Halayung Rt. 3. Rw. 1., Kec. Beruntung Baru., Kab. Banjar.
[14] Adat kebiasaan di desa Muara Halayung Rt. 3. Rw. 1., Kec. Beruntung Baru., Kab. Banjar.
[15] Drs. A. Gazali Usman, H. Rmli Nawawi, Syarifuddin, M. Idwar Saleh., Upacara Tradisonal Upacara Kematian Daerah Kalimantan Selatan, 1992/1993. H. 29.
[16] Proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. 1981. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[17] Drs. A. Gazali Usman, dkk. Upacara Tradisonal Upacara Kematian Daerah Kalimantan Selatan, 1992/1993. H. 57.
[18] Hasil wawancara dengan Orang Tua saya. Alamat Muara Halayung.  
[19] Drs. A. Gazali Usman, dkk., ., Upacara Tradisonal Upacara Kematian Daerah Kalimantan Selatan, 1992/1993. H. 55-56.
[20] Proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. 1981. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

This post have 0 komentar


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
Previous article Previous Post