seni islam di kalimantan

author photo June 16, 2012

1.      Kehidupan seni budaya
Pada akhit abad ke-19 kondisi hidup masyarakat banjar sangat tertekan dikarenakan tekanan oleh kolonial belanda sehingga mematikan kreativitas berkesenian. Sementara pendidikan baru saja dirintis dan terbatas pada kalangan bangsawan dan orang sederajat sehingga belum menjadi pendorong. Dengan denekian seni budaya banjar saat ini, adalah seni yang sebelumnya berkembang di istana kerajaan Banjar.
          Setelah proklamasi penghapus kerajaan banjar, pangeran Hidayatullah telah berupaya menyebarkan seni klasik ke masyarakat banjar, yakni hulu sungai utara dan banjarmasin. Namun ketika beliau dibuangoleh belanda ke cianjur tahun 1862, maka para bekas abdi kerajaan yang kembali ke desa-desa membina dan mengembangkan seni klasik tersebut dikalangan mereka.
          Kalau di istana, seni klasik kraton berfungsi sebagai tata artistik upacara-upacara seperti penobatan, menyambut tamu dan upacara daur hidup lainnya, maka pada kelompok pendukung selanjutnya berfungsi sebagai pusaka yang magis, yang harus diadakan upacara tahunan membersihkan dan menggelar untuk kalngan sediri.
          Dikalangan rakyat jelata, kesenian yang berfungsi sebagai sarana upacara, tetap lestari dan berfungsi sebagai alat komunikasi vertikal dengan Yang Maha kuasa. Inilah sebab-sebabnya mengapa di akhir abad ke-19, wayang, topeng, menyampir dan menyanggar banua dan lain-lain tetap hidup, karena kesenian ini sangat berkaian arat dengan alam fikiran dan kepercayaan suku banjar dewasa saat ini yang merupakan sisa-sisa kepercayaan alam.[1]
Dalam kurun waktu bad ke-20 perkembangan seni budaya tradisional masih berjalan dengan baik. Elite tradisional pendukung kebudayaan keraton yang sudh terpemcar masih memelihara sebagaimana mestinya. Kasenian klasik hidup terpisah dengan kesenian rakyat tradisional, tetapi gamelan Banjar sebagai elemen seni rakyat yang lain berdampingan dengan tetabuhan lainnya. Pada masa itu, kesenian yang hidup pada akhir abad ke-19 tetap pada fungsinya, yaitu pedesaan yang agraris, berupa seni sastra, teater, teri, musik dan seni rupa.

a.   Kehidupan seni sastra
            Kebanyakan dari rakyat biasa belum mendapatkan pendidikan umum. Huruf arab melayu masih mendapatkan terpat yang sangat penting untuk baca tulis. Hal ini dikarenakan berkat sekolah duduk dalam belajar agama Islam di desa-desa. Masyarakat mempercayakan seluruhnya kepada guru-guru agama untuk memberikan pelajaran mengaji Al-Qur’an pada malam hari, dan pada siang harinya belajar baca tulis huruf arab.
            Selain membaca Al-Qur’an, juga harus membaca Barjanji, Dida’i, serta Kasidah. Para pemuda dan pemudi yang pandai membaca Al-Qur’an, kebanyakannya juga pandai membaca huruf Arab Melayu. Dengan harapan sedikit demi sedikit ilmu pengetahuan mereka bisa berkembang.
            Salah satu bentuk seni sastra yakni madihin, yang makin berkembang di daerah Tabalong, menyebar ke banua lima, dan di hulu sungai selatan berpusat di Tawia.
            Sedangkan sastra tertulis yakni berupa buku-buku syair berbahasa Melayu tersebar ke seluruh pelosok kota dan desa di kalimantan selatan dan yang terkenal adalah syair Carang Kulina, Syair Siti Zubaidah, Abdul Malik, Brahma Syahdan, dan sebagainya. Membaca syair-syair dengan kelompok dan terkenal dengan lagu-lagu Hujan Panas, Tingkaling Sangkut, Raja Mamuja, Kasidah Umi Kalsum dan sebagainya. Pembacaan syair dilakukan ketika malam pengantin, malam bapingit, dan malam sesudah yasinan/arisan.[2]
b.  Kehidupan seni teater
            Teater merupakan cerita, dimainkan dan ditonton. Teater Tutur Lamut adalah yang mempunyai episode tujuh bbagian cerita, sangat digemari oleh rakyat pada zamannya. Disebuah meja hias, dengan sebuah rebana (terbang lamut), bercerita denga intonasi nada-nada, diselinge dengan pantun-pantun yang memikat pemonton berada di depan dengan melingkar. Pertunjukan lamut diadakan sampai semalam suntuk di sebuah halaman. Lamut tetap hidup karena retikat oleh adanya hajat bagi suatu keluarga.
            Teater Tutur Bapandung bermula di desa Pariuk Margasari, Tapin. Bapandung adalah semacam monolog berbahasa banjar. Pamandungan bermain meniru manusia berstatus, misalkan seperti: raja, saudagar, jin, dan bahkan seorang putri dan permaisuri. Ceritanya dimainkan hanya oleh seotang pemain. Kisah dongeng atau ciptaan pemandungan diselesaikan dalam satu jam atau dua jam di saat terang bulan.
            Teater Badar Muluk adalah perkembangan dari Bapandung, dimana permainan bertambah dengan permaisuri, raja, putera, dan khadam serta anak raja-raja membujuk putri (babujukan). Cerita dalan syair Abdul Muluk hanya dimainkan oleh beberapa orang saja.
            Walaupun meniru dari jawa tengah, wayang kulit tetap digemari dan dihargai oleh masyarakat banjar.
            Wayang banjar mempunyai ciri yang khas sebagai local genius, dan dipelihara turun menurun.[3] Teater ini muncul dalam keluarga Kitut di Barikin, Hulu Sungai Tengah. Cerita yang dimainkan adalah episode Panji.[4]
c.  Kehidupan seni tari
            Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengadakan taria Kuda Gipang. Kuda Gipang pada saat itu berbusana kemeja atau kaos putih. Bercelana bandring seperti celana Napoleon, memakai selendang hiasan (sulindang), dan jenis mesiknya adalah sarunai, kurung-kurung, gendang (babun) dan gong. Penhanten pria diantar ke rumah pengantin wanita denga iringan Rebana Haderah dengan nyanyian Barjajni atau Sarafal Anam.
d. Kehidupan seni musik
            Musik gamelan banjar yang semula hidup di keraton/jawa tengah, namun pada gamelan Hulu Sungai yang merupakan elemen tari-tarian klasik sudah berkurang. Kondisi seperti ini sama sekali tidak mengurangi nuansa bunyi, walaupun alat-alatnya Cuma babun, sarun, sarantum, dawu, kanung, agung dua, dan kangsi.
Musik sarunai yang berfungsi pengiring Silat-Kuntaw, serta Kuda Gipang Basulindang, masih sederhana. Alat-alatnya adalah babun besar, babun kecil, sarunai dan gong serta ditingkah kuruh-kurung talu. Alat-alat seperti gambus panting, suling, salung, kuriding, kalangkupak dan lain-lain, masih musik individual. Musik Hadrah yang mengiring kasidah tradisional Barjanji, Diba’i, Sarafal anam, masih berkembang bersama kelompok Tarbang Lima Pengiring Burdah.
e.  Seni rupa
            Dalam bidang arsitektur, macam-macam bangunan rumah Adat Banjar dengan macam-macam gerbang masih menonjol dan dibangun sesuai status manusia anggota masyarakat yang membangunnya. Ulama masih tinggal di palimasan, dan para pedagang besar, kecil, juga ornga Cina yang kaya raya mendirikan rumah tipe Palimbangan. Rumah tipe bangunan tinggi, gajah belitu dan Gajah Menyusu masih menunjukkan status golonhan pemiliknya. Walaupun kemudian terdesak oleh ukuran kekayaan.
            Pakaian banjar seperti taluk balanga, Palimbangan, Baju Poko, kebaya panjang bersulam, tapih sasirangan masih nampak pada perhelatan perkawinan. Pola hiasan tata ruang persandingan tetap memakai dinding arguci seperti pada abad ke-19. Kain adat seperti tenunan paminta, sarigading hanya dipergunakan oleh keturunan Anang.Gusti dan Andin dalam acaraamandi-mandi, sunatan dan acara selamatan acara tertentu.
Ornamen banjar makin berkembang pada ukiran-ukiran pilis rumah, tangga dan pagar, serta hiasan perkakas kuningan.[5] Demikian juga motif anyaman dari rotan. Kebudayaan Banjar sampai 1928 masih merupa banjar tradisional yang masih melekat erat dalam jiwa rakyatnya.
Tingkah laku dan sikap bergaul dimasyarakat sebagi pola budaya yang disepakati masih utuh, misalnya gotong oryong mendirikan rumah, sawah, perhelatan perkaeinan dan kematian.
          Pengaruh kesenian barat seprti seni sastra, seni lukis, seni tari dan seni musik, tidak begitu nampak pengaruhnya. Penagruh yang nampak hanya di kota Banjarmasin yakni terhadap masyarakat elite kolonial. Pemakaian huruf latin disamping Arab di masyarakat pribumi mulai berkembang. Di bidang musik,biola lambat laun mendesak penggunaan rebab.[6]
          Seni tradisi tidak berubah. Kesenian yang melekat pada upacara-upacara seperti upacara maarak pangantin dengan kesenian yang digelar pada malam Bajajagaan serta kesenian yang digelar ketika pengantin bersanding, tetap saja dilakukan. Di Barikin, masyarakat masih saja mentelenggarakan Manyanggar Banua, menggelar Wayang kulit, Wayang Gung, Tarian Topeng dan Teater Pantul dan Bagungan.[7]          
               
                            




[1] Tim editor M. Suriansyah Ideham, B.A., Drs. H. Sjarifuddin, Drs. H.A. Gazali Usman., Drs. M. Zainal Arifin Anis, M. Hum., Drs. Wajidi, Sejarah banjar, (Banjarmasin: pt. Badan penelitian dan pengembangan daerah propinsi Kalintan selatan) cet-1, 2003, h. 252.
[2] M. Suriansyah Ideham, dkk, Sejarah banjar, h. 253.  
[3] Bachtiar Senderta, “Kesenian Daerah Kalimantan Selatan: Pembinaan dan Pengembangannya”, Makalah Taman Budaya Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin., 1990, h. 8.
[4]  M. Suriansyah Ideham, dkk, Sejarah banjar, h. 254.
[5]  Tim editor M. Suriansyah Ideham, B.A., Drs. H. Sjarifuddin, Drs. H.A. Gazali Usman., Drs. M. Zainal Arifin Anis, M. Hum., Drs. Wajidi, Sejarah banjar, op. cit, h. 254.
[6] Alat musik gesek menyerupai biola bertali dua atau tiga, biasanya digesek dng cara ditegakkan di lantai dan penggeseknya berada di belakang rebab.
[7]  M. Suriansyah Ideham, dkk, Sejarah banjar, h. 258.

This post have 0 komentar


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
Previous article Previous Post