tauhid dzat.sifat, af,al. dan kontrofersi beberapa aliran kalam

author photo May 13, 2012

A.    PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang mampu memberikan wawasan yyang sangat strategis didalam kawasannya. Oleh sebab itulah islam di devinisikan sebagai agama penyempurna dari agama lain. Islam mengandung beberapa unsur yang wajib di tuntut sebagai pondasi yang hakiki di dalamnya. Pondaasi agama islam adalah Tauhit, Faqih, Tasawuf, oleh sebab itulah tiga pondasi ini menjadi tiang bagi keimanan umat muslim.
Diantara tida pondasi yang menjadi pekokoh agama islam adalah Tauhit, Bagiman sistem Tauhit yang mengatur tata cara menepa iman hinga menjadi sebuah bangunan yang kokoh yang berpeleskan islam dan berbahan iman yang hakiki di antara ccaranya adalah mengelal yang namanya Tauhid Dzat, bagaiman Tauhit Dzat? Dan di antaranya lagi adalah Tauhit Sifat, dab apa yang di maksut dengan Tauhid sifat. Dan di antara jalan Tauhiit untuk memperkokoh iman adlah dngan mengenal Tauhid Af’al, bagaimana itu Tauhit Af’al.
Diantara sekian banyak pola pikir yang merumuskan keimanan, dan di antara sekian banyak para aliran-aliran yang masing-masing mempunyai jalan agar nmudah bagi pengikiutnya dalam memahami Allah SWT. Dengan demikianlah Tauhid Dzat, Af’al dan Sifat di coba di rumuskan dengan sekritis mungkin oleh para aliran. Bagaimana Para Aliran mendevinisikan tentang Tauhit Dzat, Sifat dan Af’al?
B.     PENGERTIAN TAUHIT
Menurut bahasa Tauhid berarti ilmu yang membahas tentang ketuhanan, baik Principle, sifat-sifat-Nya dan aqidah yang pokok. Ada juga yang mengartikannya sebagai kepercayaan terhadap wujud Tuhan Yang Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya, baik itu yang menyangkut Dzat, Sifat, maupun Af’al-Nya. Dan Dia yang mengutus utusan agar member petunjuk kepada umat manusia pada umumnya dan seluruh alam semesta kepada kebaikan.[1] Dengan adanya pengertian ini berarti ada unsur kepercayaan terhadap Tuhan (beriman kepada Tuhan). Dalam kajian mengenai Iman ini, mengutip daripada catatan semester I kemarin, bahwa struktur Iman itu dapat digambarkan sebagai berikut:
تصديق بالقلب 

اقرار بالسان


عمال بالاركان
Islam termasuk agama yang semua pengikutnya mempercayai konsep Keesaan Tuhan (Monoteistik) ialah pengajaran kepada umat Muslim bahwa hanya ada satu Tuhan, dan secara otomatis jika ada satu Tuhan, maka kebenaran hanya ada satu, yaitu satu garis lurus yang menghubungkan dua titik; Tuhan dengan hamba-Nya.[2] Itulah Aqidah yang mesti diimani oleh setiap insan dan hal ini telah di buktikan melalui pengalaman. Pembuktian tersebut dapat diterima oleh akal sehat setiap insan yang berakal bahwa setiap sesuatu pasti memiliki kelemahan, dan hal itu menghantarkan pada suatu kepercayaan bahwa setiap yang mempunyai kelemahan pasti ada yang menciptakan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan ini dinamakan hokum Aksioma.[3]
Dengan adanya hal ini, maka Al-Qur’an tak bisa diragukan lagi kebenarannya, sesuai
dengan Firman-Nya
 ÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& ÎTôç6ôã$$sù ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ü̍ò2Ï%Î! ÇÊÍÈ  
14. Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.[4]
Tauhid versi aliran-aliran kalam.
Golongan Mu’tazilah disebut juga kelompok Ahl al adl wat Tauhid, dan bisa juga kita sebut sebagai Qadariyyah atau Adliyyah, karena mereka menjadikan kata Qadariyyah mempunyai dua arti; kata Qadar dipergunakan untuk orang yang mengakui Qadar yang dipergunakan untuk kebaikandan keburukan pada hakikatnya dari Allah.[5] Sementara Nabi sendiri pernah bersabda :
القدرية مجوص هذه الامة
Al Qadariyyah adalah Majusinya Umat (Islam) ini. Sabda Nabi saw yang lain:
القدرية خصماءالله فى القدر
Qadariyyah adalah musuh-musuh Allah tentang Taqdir Allah.
Yang dimaksud disini adalah musuh mengenai Taqdir Allah, karena Taqdir Allah itu meliputi kebaikan dan kejahatan, dan demikian pula dengan tabiat atau kelakuan manusia, ada baik dan ada pula yang buruk. Dalam hal ini tidak lah tergambar bagi orang-orang yang bertawakal kepada Allah, dikarenakan orang-orang Mu’tazilah tak menerima ketentuan seperti ini, karena semua perbuatan terjadi adalah karena manusia itu sendiri, dan mereka juga sependapat bahwa ayat-ayat Mutasyabihat itu perlu di Takwilkan, itu mereka namakan Tauhid. Mereka juga sependapat bahwa Ushul (aqidah) ialah Ma’rifah (pengenalan), syukur terhadap nikmat adalah wajib sebelum turunnya wahyu.
Karena kebaikan dan keburukan itu dapat dikenal dengan menjauhi keburukan (yang buruk). Adanya tanggung jawab (taklif) merupakan cobaan dan ujian bagi manusia yang diturunkan kepada para Rasul, Allah berfirman:
øŒÎ) NçFRr& Íourôãèø9$$Î/ $u÷R9$# Nèdur Íourôãèø9$$Î/ 3uqóÁà)ø9$# Ü=ò2§9$#ur Ÿ@xÿór& öNà6ZÏB 4 öqs9ur óO?tã#uqs? óOçGøÿn=tG÷z]w Îû Ï»yèŠÏJø9$#   `Å3»s9ur zÓÅÓø)uÏj9 ª!$# #XöDr& šc%Ÿ2 ZwqãèøÿtB šÎ=ôguŠÏj9 ô`tB šn=yd .`tã 7poYÍht/ 4Ózóstƒur ô`tB  yr .`tã 7poYÍht/ 3 žcÎ)ur ©!$# ììÏJ|¡s9 íOŠÎ=tæ ÇÍËÈ     
42. (Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh sedang kafilah itu berada di bawah kamu[6]Sekiranya kamu Mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan[7]Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula)[8]Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui,
            Sementara Al Muhâsibi, sebagaimana umumnya Asy ‘ariyyah memandang bahwa tindakan manusia pada esensinya adalah tindakan Tuhan, dan teori Kasb melihat tindakan manusia tidak memiliki efek. Pandangan teologi ini berimplikasi pada konsep akal yang di sebut insting.[9]
B. PENGERTIYAN TAUHID DZAT.
            Pengertiyan tauhid dzat adalah adanya sestem pengesaaan terhadap Allah  SWT baik dalam bentuk apapun, kapanpun, di mana pun, dengan alasan apapun. Pengesaan terhadap EsanYa Allah SWT tidak ada yang menyamainya baik dalam segi apapun karena EsaNya Allah SWT itu adalah satu (Wahid) Esa. Akan tetapi dalam ungkapan Satu disin bukanlah ungkapan yang sngat tepaat bagi keesaaNya Allah SWT sebagaimanay yang telah di riwayatkan oleh Amiru Al-Mu,minin Ali As, Karena arti kata dari satu itu berupa numerik saja devenisinya adalah DUA bagi tuhan dapat di konsepkan (Tashawwur) Akan tetapi tidak ada wujudNya yang Zahir (Nampak kasap mata) Dari luar yang menggunakan alat panca indra.
            Dengan demikian ungkapan yang benar dalam mendevinisikan Tauhid Dzat adalah bahwa Tuhan itu bersifat esa dan dua baginya tidak dapat di konsepsikan. Dengan kata lain Tuhan tidak ada yang serupa apalagi semisal denganNya sebab Tuhan adalah Wujud yang sempurna, Tidak ada yang semisal denganNya. ليس كمثله شيء (Tidak ada seumpamanya oleh sesuatu yang menyamainya)

            Dengan argumentasi yang sama, kita jumpai dalam hadits Imam Ash-Shadiq AS Pernah di tanya oleh salah seorang sahabat, “Apakah arti kalimat dari Allahu Akbar? Dan Beliyau menjawab: “Allah adalah lebih besar dari segala sesuatu baik dalam nisbah apapun dan Apakah ada sesuatu yang lebih besar dari diriNya? Dan Sahabat bertanya lagi, “Apakah tafsiran Allahu Akbar itu ? Beliyau menjawab: “Allah adalah lebih besar daari penyifatan.
B. TAUHID SIFAT
            Tauhid dzat adalah sestem pengesaan kepada Allah SWT akan sifat-sifat yang sudak termaktub dari kitab-kitab akidah, baik itu sifat dua puluh, sifat tiga belas, sifat tujuh, atau sifat yang di ambil dari Al-Asmaul Al-Khamsah. Dan dalalm penjelasan tauhid dzat ini mencakup dua hal:
1.      Penetapan. Maksutnya adalah; harus menetapkan seluruh sifat-sifat bagi Allah SWT sebagaimana yang telah Allh terapkan bagi dirinya sendiri di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabinya.
2.      Penafiayan (permisahan) maksutnya adalah: Menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam sifat-sifatNya[10] sebagaimana firmanNya
ãÏÛ$sù ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 Ÿ@yèy_ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& $[_ºurør& z`ÏBur ÉO»yè÷RF{$# $[_ºurør& ( öNä.ätuõtƒ ÏmŠÏù 4 }§øŠs9 ¾ÏmÎ=÷WÏJx. Öäïx« ( uqèdur ßìŠÏJ¡¡9$# 玍ÅÁt7ø9$# ÇÊÊÈ  
11. (dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat[11].
Ayat ini menerangkan bahwa semua sifat-sifat Allah SWT tidak i serupai oleh siapapun dan kapanpun oleh Makhluk yang dia ciptakan. Meskipun ada dasar persekutuan dari dasar ma,na dan lafazNya. Akan tetaapi pada hakikatnya tetap berbeda. Siapa saja yang tidak menetapkan seluruh sifat-sifat yang dia miliki berarti dala ruang lingkupnya adalah dia telah menggugurkan tauhidnya sendiri[12].Sebagaimana yang telah di katakan oleh fir,aun siapa yang telah menetapkan dan di sertai dengan penyerupaan maka berarti dia adlah mirip dengan orang-orang musrik yang menyembah selain Allah dan bagi siapa yang menetapkan akan tetapi tanpa penyerupaan berarti dia adalah termasuk dalam katagori golongan Muwahhidin.
Ketika kita mengatakan bahwa salah satu cabang tauhid adalah dengan mengenalapa itu tauhis sifat, devinisinya adalah: Sebagainmana DzatNya adalah Azali (Tidak bermula) dan abadi (Tidak berpermulaan dan tidak berakhir) sebgaimana sifatNya juga mempunyai devinisi yang sama dengan DzadNya dengan demikian sifat itu telah ada beriring dengan zohirnya ilmu-ilmu yang kita ketahui, sifat bukan lah tambahan yang hanya di tambah-tambahan untuk ma,rifat kepada Allah dan bukan juaga dari sisi luar DzatNya, dan juga tidak memiliki sisi aksental dan teraksiden, melainkan ini adalah Dzat Nya sendiri dsn juga sifatNya tidak terpisah dengan DzatNya dan  tidak terpisah dengan sifat yang lainNya.
Bilamana kita merujuk kepada diri sendiri, kita melihat pada mulanya bahwab tidak ada satu sifat pun yang melekat pada tubuh kita, tatkala kita lahirv kedunia ini, sampai kita meninggalkan duni yang fana ini. Dalam satu contoh bahwa kita terlahir kedunia tidak mempunyai ilmu dan kekuasaan yang lainnya yang merekat pada tubuh kita, semuanya dalah pinjaman yang telah Allah pinjamkan kepada kita, akan tetapi yang demikian bukanlah persamana kita tentang sifat-sifat yang dimiliki Allah atas pinajamanNya kepada kita.
D. TAUHID AF’AL
            Pengesaan tuhan dalam perbuatan, bagaimana kita mengesakan tuhan dengan jalan melalui perbuatanNya, dalam arti katanya, bagaimana kita mengesakan atas apa-apa yang sudah Allah tentukan bagi kita, Allah sudah menentukan badan kita seperti ini dalam maksutNya Allah sudah menciptakan kita dengan Af’alNya. Kehendaka Allah yang terzohir dala perbuatanNya bisa di katakan dengan Qudrad (KehendakNya) kepada kita.
            Argumen yang demikian memang sudah menyatu dengan diri kita masing-masing di saat batin kita sudah di tanamkan rasa tauhid yang mendasar bahwa tidak ada perbutan yang kita lakukan melaikan Allah lah yang menghendakinya, satu perbuatanpun yang terlintas dari hati, maupun secara fisik, itu bersalal dari kehendak Allah yang terzohir dengan jalan perbuatan kita yang melakukannya. Prespiktif nya adalah bahwa kita tidak mampu melakukan satu perbuatanpun kecualai itu berasal dari Allah SWT, di karnakan kita tidak punya apa-apa semuanya hanyalah milik Allah.
Persoaalan lain yang menjadi bahan perbedaan di antara sekian banyak aliran-aliran kalam adalah masalah sifat-sifat allah, Dalam masalah ini semuanya beradu-adu dalam mencoretkan tintah emas untuk menyelesaikan persoalan ini. Akan tetapai dalam perbedaan pendapat mereka mempunyai satu tujuan,  yaitu menauhidkan Allah. Tiap-tiap alira mengaku faham mereka dapat mensucikan dan memelihara keesaan Allah.
            Perbedaan yang di alami oleh penganut-penganut kalam tidak terbatas dalam devinisi sifat saja. Akan tetapi perbedaan yang terjadi cukup rumit karna tidak terbatas dalam sifat  akan tetapii dalam cabang sifat-sifat Alllah.
E. PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA ALIRAN-ALIRAN DALAM MASALAH DZAT, SIFAT, AF,AL.
Pertentangan faham antara Mu,tazialah dengan Asy’ariyah adalah berkisar sekitar apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mesti kekal seperti dzat Tuhan. Jika sifat itu kekal, maka yang sifat yang kekal itu satu, akan tetapi kenapa sifat Tuhan banyak.  Dengan demikian Asy;ariyah mengelurkan argumen bahwa jika sifat tuhan kekal maka membawa kepada sirik atau polithesme, suatu hal yang tidak dapat di terima dalam teologi[13]. Kalau di telusur lebih dalam lagi bahwa Whasil bin Atha menegaskan bahwa siapa saja yang menetapkan bahwa sifat allah qadim ia telah  menyatakan bahwa Tuhan itu dua[14].
Bagi Mu’tazilah, kebebasan yang diperoleh manusia dapat diartikan bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi mutlak. Ketidakmutlakan ini disebabkan oleh adanya kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia, keadilan Tuhan serta janji-janji Tuhan serta hukum alam yang tidak berubah-ubah, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an[15]
Satu hal yang bukan menjadi perbedaan adalah Tuhan adalah satu, Ia adalah pencipta dan penguasa seluruh alam, dan Ia adalah ada yang pertama. Baik Mu’tazilah ataupun Asy’ariyah ataupun kelompok-kelompok lain tidak menafikan hal ini. Pencipta seluruh alam ini tiada lain adalah Tuhan, Allah. Biarpun seluruh manusia tidak mengakuinya, Ia tetap sebagai Tuhan, yang telah menciptakan bumi beserta isinya, langit beserta misteri-misteri yang tersembunyi di dalamnya. Inilah hal yang perlu dipegang oleh seluruh kaum, sebab siapapun dan bagaimanapun cara kaum-kaum itu menyembah, yang disembah tetaplah satu, ialah Allah, rabbul ‘alamin.
Perbedaan pengertian keesaan Tuhan pada dasarnya bukanlah perbedaan dalam segi hakekat, tetapi perbedaan dimensi pandangan. Mu’tazilah dalam memandang keesaan Tuhan memberikan pengertian tentang keesaan yang menyeluruh, baik itu sifat, zat, dan lain sebagainya. Sedangkan Asy’ariyah memandang keesaan Tuhan lebih kepada sebuah zat yang tidak dapat terlepas dari sifat-sifat yang melekat padaNya.
Kedua pendapat itu sulit untuk tidak diterima salah satunya. Di satu sisi Tuhan dikatakan Yang Esa, yakni pencipta dari segala sesuatu, termasuk sifat-sifat yang ‘melekat’ pada dirinya. Apabila ada sifat Tuhan berarti ada dua qadim, yakni Tuhan (zat) dan sifat Tuhan itu sendiri. Sedangkan dalam pengertian dan pemahaman kita, sulit untuk memisahkan antara zat dan sifat. Misalkan, air mempunyai zat berupa cairan dan pula bersifat cair, api mempunyai unsur api dan sifat panas, dan sebagainya. Dua hal tersebut tidak mampu disublim, sehingga dapat dipisahkan antara zat dan sifatnya. Air, biarpun bisa berubah menjadi padat (es) tetapi toh ia tetap berupa zat cair. Demikian pula api, tak dapat terpisah antara api dan panasnya. Sama halnya dengan Tuhan, sulit diterima akal jika kita mampu memisahkan antara Tuhan dengan apa yang melekat pada diriNya (sifat). Kecuali jika berpandangan bahwa sifat merupakan bagian dari ciptaan, sebagaimana meja yang berbentuk meja dan air berbentuk cair. Padahal sesungguhnya sifat-sifat yang telah disebutkan dengan bahasa manusia itu adalah berada pada dimensi manusia, sedangkan Tuhan berada pada dimensi Tuhan. Wujud, qidam, baqa’ sesungguhnyalah hanya sebuah bahasa manusia untuk menyebut Tuhan sebagai zat yang ada, awal, kekal dan maha-maha yang lain, dan bukan bahasa Tuhan, yang siapapun tidak mampu memasukinya[16].
Dengan demikian aliran Mu,tazialahh mencoba menyelesaikan perbedaan ini dengan mengatakan bahwa tuhan tidak ada mempunyai sifat. Devinisi mereka tentang permasalahan ini sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Asy’ari bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai sifat pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya.[17] Ini tidak berarti  bagi mereka tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, akan tetapi tuhan bagi mereka tetap mengetahui dan sebagainya tetapi bukan dalam perantara sifat dalam arti kata sebenarnya bagi mereka, Artinya, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan itu adalah tuhan itu sendiri, sebagaiman telah di jelaskan oleh Abu Al-Huzail[18].
Aliran Khawarij berpendapat bahwa mereka mensucikan Dzat Ilahiayah dan menolak sifat – sifat Allah, maka dari itu mereka menyatakan bahwa sifat merupakan Dzat itu sendiri[19]. Adapun aliran Jabbariyah berpandangan bahwa mereka menolak sifat Kalam bagi Allah SWT, karena Kalam merupakan sifat dari makhluk[20].
Dalam masalah ketuhanan mereka mempunyai konsep sendiri, konsep tersebut biasa disebut dengan Al-Usul Al-Khamsah yaitu Tauhid, Al-‘Adlu, Al-Wa’du wa Al-Wa’id, Al-Manzil baina Manzilatain dan Al-Amru bil Ma’ruf wa An-Nahyu ‘An Al-Munkar. Dalam salah satu konsepnya yaitu Tauhid, mereka berbicara banyak tentang ketuhanan. Diantara pendapatnya yaitu الصفات عين الذات: artinya bahwa sifat Allah tidak terpisah dari dzat-Nya. Untuk mempertegas konsepnya ini, Mu’tazilah menjelaskan bahwa الله عالم بالعلم هو هو  artinya Allah Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya, sifat ilmu adalah dzat-Nya[21]
Denagan pengertiyan yang ahrus di dasari dengan keiman yang akurat maka asy,ariyah mendevinisikan masalah Dzat dan Af,al, seluruh sifat yang dimiliki Allah SWT itu adalah termasuk dalam katagori sifat Dzat dan ada yang termasuk dengan katagori sifat Af,al[22]. Mu’tazilah yang menetapkan bahwa apa yang dilakukan oleh Allah itu bukan dengan ikhtiar tapi karena suatu keharusan dan hal lain yang berhubungan dengan fi’lullah
Beliau mengatakan bahwa af’al yang dimiliki oleh Allah adalah dalam bentuk penciptaanya (khluqan wa iyjadan), sedangkan yang dimiliki manusia adalah kasb sebagai bentul ciptaan. Semua ini sebagai dasar bahwa fi’il Allah sebagai sesuatu yang dilihat secara hakikatnya dan fi’il manusia sebagai majaz. Teori yang beliau kernukakan nantinya sebagai radd atas paham Jabariyah, Qadariyah dan Mu’tazilah[23]. Secara umurn aliran al-maturidiyah tidak jauh berbeda dengan al-asyariyah dalam prinsip dasar- hanya berbeda dalam pengungkapan atau penjelasannya. Yang paling menonjol adalah bahwasanya asy’ary berpendapat Maturidi rnenyetujui kebebasan berkehendak sesuai dengan konsekuensi logis dan gagasan keadilan dan gagasan pembalasan Tuhan, sedang al-Asyari berpendapat bahwa kehendak Tuhan tidak dapat dibayangkan dalam kapasitas logika manusia. Tuhan dapat saja mengirim manusia yang baik ke dalam neraka. Al-Maturidi mengakui bahwa pahala dan atau hukurnan adalah sebanding dengan perbuatan manusia itu sendiri
Dengan demikian Asy,ariyah mendevisikan safat zatd adalah sifat yang termaktub sebagai sifat stubutiyah (Tetap) atau bisa di katakan dengan sifat Maknawiyah, yakni sifat hidup, menetahui, mendengar, melihat dan berfirman. Adapun sifat-sifat Af,al maka di devinisikan seperti sifat menciptakan, memberi rizqi, dalam rangkumannya adalah, setiap hala apaun yang berbawu dengan perbuatan maka itu di maksutkan dengan sifat Af,alnya Allah SWT[24].
Banyak para ulama yang tidak setuju dengan pendapat yang dimilki oleh Mu’tazilah. Al-Asy’ari membuat rumusan yang lain yaitu الصفات قائمة بالذات أزلية atau diringkaskan لا هي هو ولا هي غيره  artinya bahwa sifat – sifat ilahiyah itu bukan dzat-Nya, dan bukan selain dzat-Nya[25].
Dari pernyataan tersebut timbul pertanyaan, apakah sifat – sifat ilahiyah itu ain dzat, atau di luar dari dzat? Al-Syahrastani menjawab dengan menampilkan perkataan Al-Asy’ari dengan konsepnya yaitu هي هو, ولا غيره, ولا ولاهو, ولا لا غيره  artinya sifat adalah dzat dan bukan yang lainnya, bukan bukan, Ia bukan yang lain[26].
Dalam masalah sifat dan zat ini, Al-Asy’ari sependapat dengan Abdullah bin Kullab yang berpendapat
معنى ان الله عالم ان له علما و معنى انه قادران له قدرةو معنىانه حي ان له حياة....ان اسماءاللهوصفاته لذاته لاهى اللله و لاهى غيره وانها قا ﺌمة
            ”Pengertian Allah itu zat yang mengetahui adalah bahwa ilmu itu ada bagi Allah.......
            ”Sesungguhnya, asma dan sifat-sifat Allah itu ada pada zat-Nya. Sifat dan asma itu bukan Allah  (bukan zat, menurut konsep al-Asy’ari) namun sifat dan asma itu juga tidak lepas dari Allah bukan sesuatu yang lain yang berada di luar Allah”.[27]
            Dalam rumusan-rumusan tersebut, al-Asy’ari menjelaskan bahwa sifat-sifat Tuhan itu bukan sesuatu yang inheren ada di dalam zat. Rumusan yang diberikan oleh al-Asy’ari membuat kita bisa mengibaratkannya dengan seorang laki-laki, katakanlah si A. Wujud si A hanya satu, si A itu sendiri, tetapi ia memiliki sifat-sifat dan juga perbuatan-perbuatan, akan tetapi sifat-sifat itu tidak merupakan sesuatu yang berdiri sendiri diluar wujud si A, melainkan merupakan sesuatu yang melekat pada diri si A. Tetapi sifat itu bukanlah sebagai wujud si A. Pengkiyasan semacam ini tidak bisa diartikan sebagai mempersamakan Tuhan dengan manusia, melainkan harus dipahami sebagai suatu metode yang agak dekat bisa diterima secara rasio dalam menjelaskan tentang sifat dan zat Tuhan.
Kemudian Imam al-Sanusi salah  seorang  penerus Al-Asy’ari   melakukan
klasifikasi sifat-sifat Tuhan. Ia mengemukakannya dalam kitabnya, Ummu-Ibarahin dengan klasifikasiYaitu, Sifat nafsiyyah, Sifat salbiyyah, Sifat ma’ani dan Sifat ma’nawiyyah[28] .
Sifat nafsiyyah, yakni sifat untuk menegaskan adanya Allah SWT, dimana Allah SWT menjadi tidak ada tanpa adanya sifat tersebut. Yang tergolong sifat ini hanya satu, yakni sifat wujud.
Sifat salbiyyah, yaitu sifat yang digunakan untuk meniadakan sesuatu yang tidak layak bagi Allah SWT. Sifat salbiyyah ini ada 5 sifat, yakni : 1) Qidam, 2) Baqo’, 3) Mukhalafatu lil hawaditsi, 4) Qiyamuhu binafsihi, dan 5) Wahdaniyyah
Sifat ma’ani, adalah sifat yang pasti ada pada Dzat Allah awt. Terdiri dari tujuh sifat, yakni : 1) Qudrat, 2) Iradah, 3) Ilmu, 4) hayat, 5) Sama’,6) Bashar dan 7) Kalam
Sifat ma’nawiyyah, adalah sifat yang mulazimah (menjadi akibat) dari sifat ma’ani, yakni : 1) Qodiran, 2) Muridan, 3) Aliman, 4) Hayyan, 5) Sami’an,6) Bashiran dan 7) Mutakalliman.
            Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak membatasi sifat-sifat Allah menjadi dua puluh sifat. Ahlussunnah Wal Jama’ah menetapkan sifat dua puluh karena sifat dua puluh itu adalah sifat Dzat Allah yang menjadi syarat ketuhanan (syarthul uluhiyyah). Sedangkan sifat-sifat Allah yang lain adalah shifat af’al (sifat yang berkaitan dengan perbuatan) Allah. Dan shifat al-afal Allah itu jumlahnya banyak serta tidak terbatas.
Adanya wasiat tentang amanat Khalifah yang diberikan Rasulullah Shallallohu’alaihi wa salalm. kepada Ali Bin Abi Thalib sebelum meningnya beliau. Dengan anggapan seperti itu akhirnya kelompok Syi’ah mengangap bahwa khalifah rasyidah sebelum Ali merampas hak khalifah yang seharusnya dimiliki oleh Ali Radhiallohu’anh, Mereka juga menganut faham wihdatul wujud, yaitu bersatunya dzat imam mereka dengan Allah[29].
Aliran salaf telah menganggaf sesat atas golongan filosop, aliran Mu’tazilah dan golongan taswuf. Karena mereka mempercayai bahwa adanya persatuan diri mereka dengan Dzatd tuhan (Ittihat) atau peleburan diri dengan dzat tuhan (Fana)[30]
Dalam masalah sifat-sifat tuhan, al-Maturidy sependafat dengan al-Asy’ari bahwa tuhan mempunyai sifat, akan tetapi mereka menafikan namun bukan sebagai dzat, tetapi juga tidak lain dari tuhan[31].
Pemahaman tentang Qadariyah ini jangan dikacaukan dengan pemahaman tentang sifat al-Quradat yang dimiliki oleh Allah, karena pemahaman terhadap sifat al-Qur'an ini lebih ditujukan kepada upaya ma'rifat kepada Allah. Sedangkan paham Qadariyah lebih ditujukan kepada qudrat yang dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara quradat yang dimiliki manusia dengan quradat yang dimiliki Tuhan. Quradat Tuhan adalah bersifat abadi, kekal, berbeda pada Dzat Allah, tunggal. Tidak terbilang dan berhubungan dengan segala yang dijadikan objek kekuatan (al-Maqdurat). Serta tidak berakhir dalam hubungannya dengan Dzat. Sedangkan qudrat manusia adalah sementara, berproses, bertambah dan berkurang, dapat hilang.
Dengan demikian paham Qadariyah di samping berbeda dengan paham tentang sifat quradat Allah, juga berbeda dengan pemahaman takdir yang umumnya dipahami masyarakat, yaitu paham yang berpendapat bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu sejak azali. Dan bahwa manusia dalam perbuatannya hanya bertindak manurut nasib yang telah ditentukan oleh Tuhan terhadap dirinya. Demikian juga aliran Jabaryah memilki pemikiran yang sama dengan Qadariyah.
F. KESIMPULAN
Dengan demikian islam adalah agama yang mempunyai unsur-unsur yang tidak dappat terhitung oleh rasio, sekian banyak perbedaan pendapat, dan sekkian banyak pola pikir yang kritis mengkritisi apa sebenarnya di balik Dzat, Sifat, Af,al.
Qadariyah, Jabariyah, Asy’riyah, Maturidiyah, Syiah, Ahlus-sunah, semuanya mempunyai argumen yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist, walaupun mereka berbeda dalam pola pemikiran tetapi mereka satu dalam niat dan keyakinan yanitu membesarkan Allah SWT. Kita sebgai umat yang mengetahu tentang semua ini mampu mengambil kesimpulan bahwa agama islam adalah agama yang mempunyai wawasan yang sangat luas, kita jadikan semuanya sebagai modal keyakinan dalam kehidupan, hingga mempunayi iman yang sangat kuat dan kokoh.
DAFTAR PUTAKA

Abi Al Fath Muhammad Abd. Al Karim Ibn Abi Bakr Al Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal, Darl Al Fikr, t,t.
Fathullah Amal Zarkasyi,  Ilmu Al- Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa Qodloyaha Al-Kalamiyyah, Ponorogo: Darussalam University Press, 2006.
-------- , Kuliah Tentang Konsep Tauhid Dalam Perspektif Filsafat, Ilmu Kalam dan Tasawwuf, Ponorogo: Fakultas Ushuluddin ISID, 2006.
Fukuyama Francis, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam, 2001.
Hanafi A., Pengantar Theology Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, cet. ke V, 1989.
Hasan Abul Ali bin Ismail al-Asy’ari, Al-Ibanah an al-Diyanah al-Diyanah, Madinah: al-jami’ah al-Islamiyah Markaz su’untuk al-dakwah, 1409.
Hanafi Ahmad, Teologi Islam (Ilmu kalam), jakarta: Bulan Bintang, cet,2, 2010.
As’ari, Prinsip-prinsip dasar aliran teologi islam, Buku 2, terj. Rosihan Anwar dan Taufik Rahman, Pustaka Setia:Bandung,2000.
Al-Jabbar Abd. Adlan et.al. Dirasah Islamiyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam, Surabaya: CV Anika Bahagia Offset, 1995.
Jibouri Yasin T., Konsep Tuhan Menurut Islam. Terjemahan oleh Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera Basritama, cet  ke I, 2003.
Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab.Terjemahan oleh A.M.Baslamah, Jakarta: Gema Insani Press, cet.ke II, 1995.
Nasution Harun, Teologi Islam, Cet V. Jakarta: UI Press, 1986.
--------, Teologi islam:Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, UI Press: Jakarta, 1986
Sabiq Sayyid, Aqidah Islam, Pola Hidup Manusia beriman, Bandung:CV,Diponegoro, 2010.
Asy-Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal: Aliran-aliran Theologi dalam sejarah umat manusia, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003.
-------- , Al-mihal wa An-Hilal, Dar Al-Fikri, Beirut, t,t.
Takhir Taib Mu’in, Ilmu kalam, Jakarta: Pt. Wijaya, 1980.
At-Tamimi Muhammad, Kitab tauhid, Jakarta: Darul Haq, 1999.
Wardani, epistemologi Kalama abad pertengahan, Yogyakarta: LKis,2003.



[1] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, cet. ke V, 1989),hal.12.
[2] Yasin T. Al-Jibouri, Konsep Tuhan Menurut Islam. Terjemahan oleh Ilyas Hasan. (Jakarta: Lentera Basritama, cet  ke I, 2003),hal.231.
[3] Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab.Terjemahan oleh A.M.Baslamah, (Jakarta: Gema Insani Press, cet.ke II, 1995),hal. 26.
[4] Thaaha : 14.
[5] Asy Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal: Aliran-aliran Theologi dalam sejarah umat manusia, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur, ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003) . hal.
[6] Maksudnya: kaum muslimin waktu itu berada di pinggir lembah yang dekat ke Madinah, dan orang-orang kafir berada di pinggir lembah yang jauh dari Madinah. sedang kafilah yang dipimpin oleh Abu Sofyan itu berada di tepi pantai kira-kira 5 mil dari Badar.
[7] Maksudnya: kemenangan kaum muslimin dan kehancuran kaum musyrikin.
[8] Maksudnya: agar orang-orang yang tetap di dalam kekafirannya tidak mempunyai alasan lagi untuk tetap dalam kekafiran itu, dan orang-orang yang benar keimanannya adalah berdasarkan kepada bukti-bukti yang nyata
[9] Wardani, epistemologi Kalama abad pertengahan,(Yogyakarta: LKis,2003).hal.
[10] Muhammad At-Tamimi, Kitab tauhid, (Jakarta: Darul Haq, 1999). H. 12.
[11] Q.S. As-Syura : 11.
[12] Muhammad At-Tamimi, Kitab tauhid, h. 13.
[13] Harun Nasution, Teologi islam:Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, (UI Press: Jakarta, 1986).,h.135.
[14] Asy-Syahrastani, Al-mihal wa An-Hilal, (Dar Al-Fikri, Beirut, t,t).,h.46.
[15] Abi Al Fath Muhammad Abd. Al Karim Ibn Abi Bakr Al Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal, Darl Al Fikr h, 116.
[16] Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. (Yogyakarta: Qalam, 2001), hal. 10
[17] Al-As’ari, Prinsip-prinsip dasar aliran teologi islam, Buku 2, terj. Rosihan Anwar dan Taufik Rahman, (Pustaka Setia:Bandung,2000)
[18] Dia adalah salah seorang tokoh Mu,Tazilah terkemuka. Nama lengkapnya adalah Muhammad Al-Hudzail bin Abdillah Al-Bashri al-Allaf. Ia adalah murid abu Ustman Al-Za’fari (salah seorang murid Washil Atha) sebutan Al-Allaf diperolehnya karna tempat tinggalnya di basrah terletak di kampung tempat orang menjual hewan ternak, Ia lahir pada tahun 135 H di Bashrah dan wafat pada tahun
[19] Amal Fathullah Zarkasyi,  Ilmu Al- Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa Qodloyaha Al-Kalamiyyah, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2006) hal. 47.
[20] Amal Fathullah Zarkasyi,  Ilmu Al- Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa Qodloyaha Al-Kalamiyyah, h, 50.
[21] Amal Fathullah Zarkasyi, Kuliah Tentang Konsep Tauhid Dalam Perspektif Filsafat, Ilmu Kalam dan Tasawwuf, (Ponorogo: Fakultas Ushuluddin ISID, 2006) hal. 7.
[22] Asy Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal: Alliaran-aaliran teologi dalah sejarah umat manusia di terjemahkan oleh Asywadie Sykur, (Pt.Bintang Ilmu: Surabaya, 2003),. h.
[23] Harun Nasution, Teologi Islam, (Cet V. Jakarta: UI Press, 1986), h. 76-77.
[24] Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, Pola Hidup Manusia beriman, (Bandung:CV,Diponegoro, 2010),.h.114.
[25] Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, Pola Hidup Manusia beriman, 12.
[26] Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, Pola Hidup Manusia beriman, 13.
[27] Abd. Jabbar Adlan et.al. Dirasah Islamiyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam (Surabaya: CV Anika Bahagia Offset, 1995), h, 39.
[28] Abd. Jabbar Adlan et.al. Dirasah Islamiyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam, h, 21.
[29] Taib Takhir Mu’in, Ilmu kalam, (Jakarta: Pt. Wijaya, 1980), h. 92.
[30] Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu kalam), (jakarta: Bulan Bintang, cet,2, 2010), 143.
[31] Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Al-Ibanah an al-Diyanah al-Diyanah, (Madinah: al-jami’ah al-Islamiyah Markaz su’untuk al-dakwah, 1409), h. 16.

This post have 0 komentar


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
Previous article Previous Post