identitas nasional bansa indonesia

author photo May 14, 2012

A.         Pendahuluan
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi dewasa ini mendapat tantangan yang sangat kuat, terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalis Revolution, era globalisasi dewasa ini ideologi kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu parsatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, sosial, politik dan kebudayaan.
Tentunya dengan kondisi seperti ini akan menimbulkan dampak yang negative bagi Negara-negara, yang kebangsaannya lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, ciri khas suatu bangsa yang merupakan lokal genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi challance dan response. Jikalau challance cukup besar sementara response kecil maka, bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangsa Indian di Amerika. Namun demikian jikalau challance kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi diberbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cendrung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.






B.         Pengertian Indentitas Nasional
Istilah “identitas nasional” secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian yang demikian ini maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Demikian pula hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis. Berdasarkan hakikat pengertian “identitas nasional” ialah suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau lebih popular disebut sebagai kepribadian suatu bangsa. .
 Setiap bangsa pasti butuh identitas. Paling tidak, dalam satu dua hal, berbeda satu dengan lainnya. Entah itu dari kebijakan politik, ekonomi, hukum, seni, terutama pada unsur yang lebih komprehensif, yakni kebudayaan selama ini, katakanlah sejak Sumpah Pemuda ,lalu dipertajam oleh polemik kebudayaan, Indonesia pun sudah menganggap memiliki identitas diri. Dan dalam perjalanan sebagai bangsa yang merdeka selama setengah abad ini, ternyata Indonesia terus bergolak dengan peristiwa-peristiwa kekerasan yang telah demikian banyak memakan korban fisik maupun psikis bangsa sendiri. Sepertinya Negara ini menjelma menjadi sebuah identitas besar, yakni sebagai Negara kekerasan. [1]
 Bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu “kesatuan nasional”. Para tokoh besar ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang hakikat kepribadian bangsa tersebut adalah dari beberapa disiplin ilmu, antara lain antropologi, psikologi dan sosiologi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Margareth Mead, Ruth Benedict, Ralph Linton, Abraham Kardiner, David Riesman. Menurut Mead dalam “Antropology to Day” (1954) misalnya, bahwa studi tentang “National Character” mencoba untuk menyusun suatu kerangka pikiran yang merupakan suatu konstruksi tentang bagaimana sifat-sifat yang dibawa oleh kelahiran dan unsur-unsur ideotyncrotie pada tiap-tiap manusia dan patroom umum serta patroom individu dari proses pendewasaannya diintegrasikan dalam tradisi sosial yang didukung oleh bangsa itu sedemikian rupa sehingga nampak sifat-sifat kebudayaan yang sama, yang menonjol yang menjadi ciri khas suatu bangsa tersebut (Kroeber, 1954; Ismaun, 1981:7).
Demikian pula tokoh antropologi Ralph Linton bersama dengan pakar Psikologi Abraham Kardiner, mengadakan suatu proyek penelitian tentang watak umum suatu bangsa dan sebagai objek penelitiannya adalah bangsa Maequesesas dan Tanala, yang kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam suatu buku yang bertitel “The Individual dan His Society” (1938). Dari hasil penelitian tersebut dirumuskan sebuah konsepsi tentang basic personality structure. Dengan konsepsi itu dimaksudkan bahwa semua unsur watak sama dimiliki oleh sebagian besar warga suatu masyarakat. Unsur watak yang sama seperti ini disebabkan oleh pengamalan-pengamalan yang sama yang telah di alami oleh warga masyarakat tersebut, karena mereka hidup di bawah pengaruh suatu lingkungan kebudayaan selama masa tumbuh dan berkembangnya bangsa tersebut.
Linton juga mengemukakan pengertian tentang status personality, yaitu watak individu yang ditentukan oleh statusnya yang didapatkan dari kelahiran maupun dari segala daya upayanya. Status personality seseorang mengalami perubahan dalam suatu saat, jika seseorang tersebut bertindak dalam kedudukanya yang berbeda-beda, misalnya sebagai ayah, sebagai pegawai, sebagai anak laki-laki, sebagai pedagang dan lain sebagainya. Berdasarkan pengertian tersebut maka dalam hal basic personality structure dari suatu masyarakat, seorang peneliti harus memperhatikan unsur-unsur status personality yang kemungkinan mempengaruhinya (ismaul, 1981:8).
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian kepribadian sebagai suatu identitas nasional suatu bangsa, adalah keseluruhan atau totalitas dari kepribadian individu-individu sebagai unsur yang membentuk bangsa tersebut. Oleh karena itu pengertian identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan pengertian “peoples Character”. “National Charaktar” atau “National Identity”. Dengan hubungannya dengan identitas nasional Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia kirannya sangat sulit jikalau hanya dideskripsikan berdasarkan ciri khas fisik. Hal ini mengingat bangsa Indonesia itu terdiri atas berbagai macam unsur etnis, ras, suku, kebudayaan, agama, serta karakter yang sejak asalnya memang memiliki suatu perbedaan. Oleh karena itu kepribadian bangsa Indonesia sebagai suatu identitas nasional secara historis berkembang dan menemukan jati dirinya setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun demikian identitas nasional suatu bangsa tidak cukup hanya dipahami secara statis mengingat bangsa adalah merupakan kumpulan dari manusia-manusia yang senantiasa berinteraksi dengan bangsa lain di dunia dengan segala hasil budayanya. Oleh karena itu identitas nasional suatu bangsa termasuk identitas nasional Indonesia juga harus dipahami dalam konteks dinamis. Menurut Robert de Ventos sebagaimana dikutip oleh Manuel Castells dalam bukunya, The Power of  Identity (dalam Suryo, 2002), mengemukakan bahwa selain factor etnisitas, teritorial, bahasa, agama serta budaya, juga factor dinamika suatu bangsa tersebut dalam proses pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu identitas nasional bangsa Indonesia juga harus dipahami dalam arti dinamis, yaitu bagaimana bangsa itu melakukan akselerasi dalam pembangunan, termasuk proses interaksinya secara global dengan bangsa-bangsa lain di dunia internasional.
Sebagaimana kita ketahui di dunia internasional bahwa bangsa-bangsa besar yang telah mengembangkan identitasnya secara dinamis  membawa nama bangsa tersebut baik dalam khazanah dunia ilmu pengetahuan maupun dalam khazanah dunia pergaulan antara bangsa di dunia. Bagi bangsa Indonesia dimensi dinamis identitas nasional Indonesia belum menunjukkan perkembangan kearah sifat kreatif serta dinamis. Setelah bangsa Indonesia mengalami kemerdekaan 17 Agustus 1945, berbagai perkembangan kearah kehidupan kebangsaan dan kenegaraan mengalami kemerosotan dari segi identitas nasional. Pada masa mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dihadapkan pada kemelut kenegaraan sehingga tidak membawa kemajuan bangsa dan negera.
Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 bangsa Indonesia kembali ke UUD 1945. Pada saat itu dikenal periode orde lama dengan penekanan kepada kepemimpinan yang sifatnya sentralistik. Pada periode tersebut partai komunis semakin berkembang dengan subur, bahkan tatkala mencapai kejayaannya berupaya untuk menumbangkan pemerintahan Indonesia, yang ditandai dengan timbulnya gerakan G 30 S. PKI. Rakyat Indonesia semakin tidak menentu. Identitas dinamis bangsa Indonesia saat itu ditandai dengan perang saudara yang memakan banyak korban rakyat kecil. Maka muncullah gerakan aksi dari para pemuda, pelajar dan mahasiswa untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya Negara atheistik.
Kejatuhan kekuasaan Orde lama diganti dengan kekuasaan Orde Baru dengan munculnya pemimpin kuat yaitu Jendral Soeharto. Pada periode Orde Baru Soeharto banyak mengembangkan program pembangunan nasional yang sangat populer dengan program Repelita. Memang sudah banyak yang dilakukan Soeharto melalui pembangunan yang banyak dinikmati rakyat, namun dalam kenyataannya pemerintah saat itu banyak melakukan hutang ke dana moneter internasional, sehingga rakyat kembali dihadapkan pada beban yang sangat berat yaitu menanggung hutang negara. Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun Soeharto berkuasa seakan-akan bangsa Indonesia menunjukkan kepada masyarakat dunia internasional bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang demokratis. Namun dalam kenyataannya hanya semu belaka, pemerintah melakukan pemilu memilih wakil-wakil rakyat namun secara langsung atau tidak langsung juga mengarah kepada model kepemimpinan yang sentralistik bahkan juga ditandai dengan kekuasaan militer. Pada saat itu bangsa Indonesia berupaya secara dinamis akan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui menristek, bahkan juga dikembangkannya teknologi modern dengan mengembangkan perusahaan pesawat terbang “Nurtanio” yang dipelopori oleh B.J. Habibie. Meskipun seakan-akan pemerintah saat itu mengembangkan teklologi modern, namun dalam kenyataannya industri pesawat tersebut belum memberikan peningkatan kesejahteraan rakyat. Yang paling memprihatinkan saat ini adalah perkembangan budaya korupsi,  kolusi dan nepotisme (KKN), yang mengakar pada pejabat pemerintahan Negara, sehingga konsekuensinya identitas nasional Indonesia saat ini dikenal sebagai bangsa yang “korupsi”. Selain itu penguasa Orde Baru saat itu menempatkan filsafat Negara pancasila yang sekaligus juga sebagai identitas bangsa dan Negara Indonesia, sebagai alat legitimasi politis untuk mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu akibatnya saat ini sebagian rakyat bahkan banyak kalangan elit politik memiliki pemahaman epistemologis yang sesat yaitu pancasila sebagai dasar filsafat Negara dan kepribadian bangsa Indonesia, seakan-akan identik dengan kekuasaan Orde Baru.
Pasca kekuasaan Orde Baru bangsa Indonesia melakukan suatu gerakan nasional yang populer dewasa ini disebut sebagai gerakan “repormasi”. Rakyat dengan ditokohi oleh kalangan elit politik, para intelektual termasuk mahasiswa melakukan repormasi dengan tujuan seharusya adalah meningkatkan kesejahteraan atas kehidupan rakyat. Di harapkan pada era repormasi dewasa ini kehidupan rakyat menjadi semakin bebas, demokratis, dan yang terlebih penting lagi adalah meningkat kesejahteraannya baik lahir maupaun batin. Sudah banyak memang yang dilakukan pemerintahan Negara Indonesia dalam melakukan repormasi, baik dibidang politik, hukum, ekonomi, militer, pendidikan serta bidang-bidang lainnya. Satu hal yang sangat memprihatinkan dewasa ini adalah seharusnya kita bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa, kita dikaruniai kesempatan untuk melakukan suatu repormasi dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan, namun saat ini kita lupa akan tujuan hidup berbangsa dan bernegara, arah kehidupan kita tidak jelas, ideologi dan filsafat bangsa dan Negara hanya sebagai simbol kosong belaka. Konsekuensinyang dewasa ini ideologi kebangsaan dan kenegaraan bangsa Indonesia adalah repormasi itu sendiri, sementara arah dan makna repormasi juga dimaknai secara baragam. Unsur-unsur filosofi bangsa Indonesia yang menekankan kebangsaan dalam hidup berbangsa dan bernegara di samping berbagai perbedaan, dewasa ini di anggap kosong belaka. Akibatnya dalam era repormasi dewasa ini muncullah berbagai konflik perbedaan yang bahkan ditandai dengan konflik fisik diantara elemen-elemen masyarakat berbagai pembentuk bangsa Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita konflik, Ambon,Sampit antara suku Madura dengan Dayak, Sambas, Kalimantan Barat, Poso, konflik antar daerah di berbagai wilayah, konflik antar pemeluk agama, misalnya kasus Achmadiyah, kasus Salafiyah, serta kasus konflik antar pemeluk agama lainnya. Selain itu juga konflik politik baik dalam tubuh partai politik, proses pilkada, bahkan ironisnya juga terjadi di dunia kehidupan kampus.
Nampaknya makna dalam kebebasan dalam era repormasi dewasa ini dimaknai lain oleh sebagian besar masyarakat, bahkan kadangkala aparat penegak hukum serta peraturan perundang-undangan dibuat tidak berdaya. Berbagai konflik tersebut di atas memakan banyak korban nyawa anak-anak bangsa yang tidak berdosa, dan anehnya tidak ada seorangpun yang mau bertanggungjawab atas musibah tersebut. Bahkan tatkala terjadi konflik etnis di Kalimantan dimana antar suku saling membantai, bangsa Indonesia di dunia internasional mendapat identitas yang negative sebagai bangsa yang berbudaya dan beradab.
Dalam hubungan dengan konteks identitas nasional secara dinamis dewasa ini nampaknya bangsa Indonesia tidak merasa bangga dengan bangsa dan negaranya di dunia internasional. Akibatnya dewasa ini semangat patriotisme, semangat kebangsaan, semangat untuk mempersembahkan karya terbaik bagi bangsa dan Negara di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, bangsa Indonesia belum menunjukkan ekselerasi yang berarti, pada hal jikalau kita lihat sumber daya manusia Indonesia ini juga seharusnya dapat dibanggakan sebagai contoh fakta kongkrit, anak-anak kita sering berprestasi internasional dalam Olympiade ilmu pengetahuan. Terlebih lagi dewasa ini muncul budaya “mudah menyalahkan orang lain” tanpa diimbangi dengan ide serta solusi yang realistik.
Oleh karena itu dalam hubungannya dengan identitas nasional secara dinamis, dewasa ini bangsa Indonesia harus memiliki visi yang jelas dalam melakukan repormasi, melalui dasar filosofi bangsa dan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang terkandung dalam filosofi pancasila. Masyarakat harus semakin terbuka, dan dinamis namun harus berkeadaban serta kesadaran akan tujuan hidup bersama dalam berbangsa dan bernegara. Dengan kesadaran akan kebersamaan dan persatuan tersebut maka Insya Allah bangsa Indonesia akan mampu mengukir identitas nasionalnya secara dinamis di dunia internasional.
C.       Faktor-faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional
Kelahiran identitas nasional suatu bangsa memiliki sifat, ciri khas serta keunikan sendiri-sendiri, yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional tersebut. Adapun faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi (1) faktor objektif, yang meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis, (2) faktor subjektif, yaitu faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia (Suryo, 2002)
Kondisi geografis-ekologis yang membentuk Indonesia sebagai wilayah kepulauan yang beriklim tropis dan terletak di persimpangan jalan komunikasi antar wilayah dunia di Asia Tenggara, ikut mempengaruhi perkembangan kehidupan demografis, ekonomis, sosial dan kultural bangsa Indonesia. Selain itu faktor historis yang dimiliki Indonesia ikut memengaruhi proses pembentukan masyarakat dan bangsa Indonesia beserta identitasnya, melalui interaksi berbagai faktor yang ada didalamnya. Hasil dari interaksi dari berbagai faktor tersebut melahirkan peroses  pembentukan masyarakat, bangsa, dan negara  bangsa beserta identitas bangsa Indonesia, yang muncul tatkala nasionalisme berkembang di Indonesia pada awal abad XX.
Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells dalam bukunya, The Power of Identity (Surya,2002), mengemukakan teori tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis antara empat factor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik dan faktor reaktif. Faktor pertama, mencakup etnisitas, teritoral, bahasa, agama, dan yang sejenisnya. Bagi bangsa Indonesia yang tersusun atas berbagai macam etnis, bahasa, agama wilayah serta bahasa daerah, merupakan suatu kesatuan meskipun berbeda-beda dengan kekhasan masing-masing. Unsur-unsur yang beraneka ragam yang masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri menyatukan diri dalam suatu persekutuan hidup bersama yaitu bangsa Indonesia. Kesatuan tersebut tidak menghilangkan keberanekaragaman, dan hal inilah yang dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika. Faktor kedua, meliputi pembangunan komonikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan lainnya dalam kehidupan negara. Dalam hubungan ini bagi suatu bangsa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan negara dan bangsanya juga merupakan suatu identitas nasional yang bersifat dinamis. Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia proses pembentukan identitas nasional yang dinamis ini sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dan prestasi bangsa Indonesia dalam membangun bangsa dan negaranya. Dalam hubungan ini sangat diperlukan persatuan dan kesatuan bangsa, serta langkah yang sama dalam memajukan bangsa dan negara Indonesia. Faktor ketiga, mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Bagi bangsa Indonesia unsur bahasa telah merupakan bahasa persatuan dan kesatuan nasional, sehingga bahasa Indonesia telah merupakan bahasa resmi negara dan bangsa Indonesia. Bahasa Melayu telah dipilih sebagai bahasa antar etnis yang ada di Indonesia, meskipun masing-masing etnis atau daerah di Indonesia telah memiliki bahasa daerah masing-masing. Demikian pula menyangkut birokrasi serta pendidikan nasional telah dikembangkan sedemikian rupa meskipun sampaai saat ini masih senantiasa dikembangkan. Faktor keempat, meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat. Bangsa Indonesia yang hampir tiga setengah abad dikuasai oleh bangsa lain sangat dominan dalam mewujudkan faktor keempat melalui memori kolektif  rakyat Indonesia. Penderitaan, dan kesengsaraan hidup serta semangat bersama dalam memperjuangkan kemerdekaan merupakan faktor yang sangat strategis dalam membentuk memori kolektif rakyat. Semangat perjuangan, pengorbanan, menegakkan kebenaran dapat merupakan identitas untuk memperkuat  persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia, yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain. Pencarian identitas nasional bangsa Indonesia pada dasarnya melekat erat dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk membangun bangsa dan negara dengan konsep nama Indonesia. Bangsa dan negara Indonesia ini dibangun dari unsur-unsur masyarakat lama dan dibangun menjadi suatu kesatuan bangsa dan negara dengan prinsip nasionalisme modern. Oleh karena itu pembentukan identitas nasional Indonesia melekat erat dengan unsur-unsur lainnya seperti sosial, ekonomi, budaya, etnis, agama serta geografis, yang saling berkaitan dan terbentuk melalui suatu proses yang cukup panjang.
D.       Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat internasional, memiliki sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia berkembang menuju fase nasionalisme modern, diletakkanlah prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam hidup berbangsa dan bernegara. Para pendiri negara menyadari akan pentingnya dasar filsafat ini, kemudian melakukan suatu penyelidikan yang dilakukan oleh badan yang akan meletakkan dasar filsafat bangsa dan negara yaitu BPUPKI. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa tersebut yang di angkat dari filsafat hidup atau pandangan hidup bangsa Indonesia,  yang kemudian diabsraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat negara yaitu Pancasila. Jadi dasar filsafat suatu bangsa dan negara berakar pada pandangan hidup yang bersumber kepada kepribadiannya sendiri. Hal inilah menurut Titus dikemukakan bahwa salah satu fungsi filsafat adalah kedudukannya sebagai suatu pandangan hidup masyarakan (Titus, 1984). 
Dapat pula dikatakan bahwa pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan  negara Indonesia pada hakikatnya bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi filsafat pancasila itu bukan muncul secara tiba-tiba dan dipaksa oleh suatu rezim atau penguasa melainkan melalui suatu fase historis yang cukup panjang. Pancasila sebelum dirumuskan secara formal yuridis dalam penggunakan UUD 1945 sebagai dasar filsafat negera Indonesia, nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu pandangan hidup, sehingga materi pancasila yang berupa nilai-nilai tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri. Dalam pengertian seperti ini menurut Notonegoro bangsa Indonesia adalah sebagai kaus materialis Pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Proses perumusan materi pancasila secara formal tersebut dilakukan dalam sidang-sidang BPUPKI  pertama, sidang “ panitia 9”, sidang BPUPKI  kedua, akhirnya di syahkan secara formal yuridis  sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia.
E.        Pancasila Sebagai Identitas Diri Bangsa Indonesia
Menurut sejarahnya, sejauh pengandaian yang ada diterima. Pancasila dirumuskan berdasarkan keyakianan bahwa  sudah terdapat nilai-nilai meskipun masih secara samar-samar, tertanam dan berakar di masa lampau dan tetap berlaku dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Pancasila sebagai rumusan memang tidak terjadi sebelum tanggal 1 Juni 1945. Namun nilai-nilai yang terkandung didalamnya sudah erat terpadukan dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang hidup di seluruh kepulauan nusantara.
Dengan demikian, pancasila bukanlah melulu merupakan hasil pikiran atau penalaran murni yang kemudian dijabarkan, diterapkan, atau (setengah) dipaksakan bagi kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila diyakini sebagai hasil penggalian dan perumusan dari nilai-nilai yang telah ada tersebut. “Pemikiran mengenai pancasila itu tidak terjadi exnihilo tetapi dalam sejarah masyarakat Indonesia sebagai bagian dari sejarah dan perkembangan masyarakat dan kebudayaan Indonesia.[2] 
F.Sejarah Budaya bangsa sebagai Akar  Identitas Nasional
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang. Berdasarkan kenyataan objektif tersebut maka untuk memahami jati diri bangsa Indonesia serta identitas nasional Indonesia maka tidak dapat dilepaskan dengan akar-akar budaya yang mendasari identitas nasional Indonesia. Kepribadian, jati diri, serta identitas nasional Indonesia yang terumuskan dalam filsafat Pancasila harus dilacak dan dipahami melalui sejarah terbentuknya bangsa Indonesia sejak zaman,  Kutai, Sriwijaya, Majapahit serta kerajaan lainnya sebelum penjajahan bangsa asing di Indonesia.
Nilai-nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila yaitu: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan, dalam kenyataannya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan negara. Proses terbentuknya bangsa dan negara Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman kerajaan-kerajan pada abad ke IV, ke V kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak pada abad ke VIII, yaitu ketika timbulnya kerajaan Sriwijaya dibawah Wangsa Syailendra di Palembang, kemudian kerajaan Airlangga dan Majapahit di Jawa Timur serta kerajaan-kerajaan lainnya. Proses terbentuknya nasionalisme yang berakar pada budaya ini menurut Yamin diistilahkan sebagai fase terbentukny nasionalisme lama, dan oleh karena itu secara objektif sebagai dasar identitas nasionalisme Indonesia.
Dasar-dasar pembentukan nasionalisme modern menurut Yamin dirintis oleh para pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oleh para tokoh pejuang kebangkitan nasional  pada tahun 1908, kemudian dicetuskan pada sumpah pemuda pada tahun 1928. Akhirnya titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk menemukan identitas nasionalnya sendiri, membentuk suatu bangsa dan Negara Indonesia tercapai pada tanggal 17 Agustus 1945 yang kemudian di proklamasikan sebagai suatu kemerdekaan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu akar-akar nasionalisme Indonesia yang berkembang dalam perspektif sejarah sekaligus juga merupakan unsur-unsur identitas nasional, yaitu nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah terbentuknya bangsa Indonesia.[3]

F.           Identitas kebudayaan
            Menata kembali garis besar tata hubungan antara teknologi dengan kebudayaan, akan berarti perama-tama keharusan untuk menemukan identitas kebudayaan umat manusia. Kesulitan terpenting dari pekerjaan semacam ini adalah ketiadaan model kebudayaan tertentu di antara bangsa-bangsa yang kemudian dapat diteladani oleh yang lain, atau yang serupa proposal bagi corak kebudayaan dimasa mendatang. Hal ini dapat dipahami karena kebudayaan merupakan segugus system nilai dan ide vital yang diyakini sebenarnya oleh (hanya) sekelompok orang atau masyarakat. Namun demikian, justru disinilah teknologi menyajikan solusi dan pada titik tertentu intervensi, bagi jalan keluar dari ketertutupan masing-masin corak kebudayaan ragional dan kebudayaan lokal. Peranan penting teknologi kontekstual dapat diterima oleh janji kemudahan-kemudahan dalam kebersamaan mondial hidup manusia. Di sini saling berhubungan antara   teknologi dan kebudayaan menjadi pernyataan penting akan kulturasi kehidupan manusia.
            Di lain pihak ketika teknologi semakin bergerak kea rah kelipatgandaan liberasi dan malahan arogansi yang seakan inheren dalam setiap modernitas kehadirannya, menemukan kembali identitas kebudayaan menjadi syarat pokok, agar saling berhubungan di antara keduanya yang kemudian timpang itu, mendapatkan kembali eksplisitas dalam redefinisi dan reinterpretasi kebudayaan itu sendiri. Kecendrungan terakhir inilah yang menjadi focus operatif tesis yang diteteapkan dalam diskusi porsi saya ini. Kecendrungan yang akan dan telah ditandai oleh banyaknya teknologi baru yang sering kali sifatnya social distruptive, sedemikian rutinnya sehingga dalam banyak hal ia menjadi determinan, lebih dari peran yang seharusnya, yakni sebagai alat semata. Nilai instrumental teknologi kemudian beralih teleologis, yang membuat banyak manusia terutama didunia ketiga terpesona sekaligus runtuh oleh kehadiran teknologi yang sangat ofensif. Demikian pun rusaknya lingkungan, terkurasnya sumber daya alam, yang semua itu di akibatkan oleh petualangan teknologi maju yang dapat mengganggu stabilitas kosmos.
Sebagaimana ditinjau oleh Donald Wilhelm dalam Creative Alternatives to Communism (1977), yang memberikan kesaksian mulai bangkrutnya tiga aliran filsafat mutakhir Eksisensialisme Operasionalisme, dan Positivisme Logis, maka hemat saya perlu diperhatikan dengan seksama merajalelamya pragmatism “ideology” baru yang secara cerdik mengabaikan ideologo-ideologi tradisional bangsa-bangsa. Teknologi yang pada dirinya pragmatis merupakan (semula) jawaban dan sekaligus tantangan berat terutama bagi negeri-negeri yang sedang berkembang. Banyak negeri dunia ketiga inilah yang praktis tak mampu menghindarkan diri dari serbuan teknologi, sementara dilain pihak disadari bahwa keterbelakangannya tidak cukup dipecahkan hanya oleh teknologi.[4] 
G.Kesimpulan
          Identitas Nasional adalah jati diri suatu bangsa, suatu kesatuan yang terikat oleh wilayah dan selalu memiliki wilayah (tanah tumpah darah mereka sendiri), kesamaan sejarah sistem hukum/perundang-undangan, hak dan kewaiban serta pembagian kerja berdasarkan profesi.
Hakekat Bangsa adalah sekelompok manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah sebagai suatu “kesatuan nasional”.
Hakekat Negara adalah merupakan suatu wilayah dimana terdapat sekelompok manusia melakukan kegiatan pemerintahan.
Bangsa dan Negara Indonesia adalah sekelompok manusia yang mempunyai persamaan nasib sejarah dan melakukan tugas pemerintahan dalam suatu wilayah “Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA



                                                      
Hadi, P. Hardono. Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, Yogyakarta: kanisus (Anggota IKAPI), 1994.
M.S, Kaelan. Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta: Paradigma, 2010.
Rozak, Abdul. dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Jakarta: Prenada Media, 2004.
Sutrisno, Slamet. Pancasila:Kebudayaan dan Bangsa,Yogyakarta: Liberty, 1988


[1] . Abdul Rozak, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), ( Jakarta: Prenada Media, 2004),H.1.
[2]P. Hardono Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, ( Yogyakarta: Kanisus (Anggota IKAPI, 1994), H. 69.
[3]Kaelan, M.S. Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Paradigma, 2010). H. 42
[4] Slamet Sutrisno, PANCASILA, Kebudayaan dan kebangsaan, (Yogyakarta: Liberty, 1988). H. 175

This post have 0 komentar


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
Previous article Previous Post